Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Diantara Kaki Seorang Penjambret

Polisi menembak 2 orang penjambret salah satu diantaranya, Abdulgani Latief sampai buntung kakinya. Ia mempersoalkannya dengan mengirim surat ke Kapolri, Kadapol dan Kejati Jakarta.(krim)

7 Juli 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

IA buntung sebatas lutut. Hadir di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, bersama 6 kawan penjambret lainnya, 20 Juni lalu, Abdulgani Latif menyeret tongkat penyangga sebagai ganti kaki kanannya. Keadaannya menarik perhatian Hakim Heru Gunawan SH yang bertugas mengadilinya. "Mengapa kakimu itu?" tanya hakim. Gani, 27 tahun, menjawab tegas: "Ditembak seorang informan yang menangkap saya . . . dari jarak dekat sekali." Di mana? "Di kuburan Cina Kebun Nanas," lanjut Gani. "Wah, saudara berusaha melarikan diri?" desak hakim. "Tidak, pak. Sengaja ditembak," sahut Gani pula. Tanya jawab soal kaki buntung selesai begitu saja. Hakim Heru Gunawan beralih ke pokok acara hari itu menyidangkan 7 orang kawanan yang dituduh mengganggu keamanan, menjambret dan menodong, di sekitar Jembatan Cideng, Roxy dan Jembatan Jeling. Kejahatan mereka lakukan, menurut jaksa, dengan cara menodongkan pisau ke leher para korbannya sebelum merampas arloji atau barang perhiasan lainnya. Dan hasilnya, seperti diakui para tertuduh sendiri, dihabiskan untuk foya-foya. Putusan hakim mereka peroleh hari itu juga setahun penjara potong masa tahanan sementara. Gani dkk tak usah harus masuk bui -- bahkan tekor. Karena, biasa terjadi pada pesakitan kelas teri, penahanan mereka alami lebih lama -- daripada kewajiban masuk penjara yang dibebankan pengadilan. Gani memang tak bermaksud mempersoalkannya. Ada yang dianggap lebih penting dia sudah mengirim surat ke Kapolri, Kadapol dan Kejaksaan Tinggi Jakarta mempersoalkan perihal kebuntungan kakinya. Dia menunjuk seorang yang dikenalnya sebagai informan polisi, bernama Sur, yang terang-terangan menembak kakinya tanpa alasan berat. Kuburan Ceritanya begini. Selepas azan Subuh 14 Juni tahun lalu, 6 orang yang memperkenalkan diri sebagai petugas kepolisian Kodak Metro Jaya, menjemput Gani dari rumahnya di Cengkareng -- Jakarta Barat. Gani langsung diseret naik jip. Di sana sudah bertumpuk kawankawannya seperti Ansori, Ridwan, Sangkut, Asudi, Gatot dan Lukman yang ditangkap duluan. Dikawal beberapa orang informan dan polisi. Dari Cengkareng, menurut Gani, polisi membawa mereka ke Kodak Metro Jaya di Semanggi. Di situ pesakitan diturunkan. Yang harus tetap di atas, "saya sendiri, Sangkut dan Asudi," kata Gani menerangkan. Ketiganya dibawa ke kuburan di Kebon Nanas di Jakarta Timur. Gani ingat betul ke mana dia dan teman-temannya dibawa oleh petugas polisi yang kemudian dikenalnya bernama Sur, Djam, Abd. Kar, Ol dan Djael. Mereka digiring masuk ke dalam, sekitar 300 meter dari jalan, kata Gani. Di situ polisi memaksakan pengakuan: Gani dan kawan-kawan harus mengaku melakukan berbagai aksi perampokan. Padahal, "saya memang tak melakukannya," kata Gani. "Waktu di mobil saya sebenarnya sudah mengakui semua perbuatan saya. Yaitu hanya menjambret dua jam tangan di Roxy saja." Tuduhan selebihnya dibantah. Tapi bantahan itulah rupanya pangkal sial bagi penjambret ini. Dengan tangan terikat tali sepatu ke belakang, "saya disuruh jalan kira-kira semeter membelakangi mobil," cerita Gani. Dari belakang seorang petugas, yang oleh Gani disebut bernama Sur, jongkok sambil menempelkan ujung laras pistol persis di belakang lutut kaki kanannya. Gani hanya sempat mendengar bunyi "dor!" Setelah itu tak ingat apa-apa sampai. Tahu-tahu, terbaring kesakitan di zal Rumahsakit Persahabatan. Asudi, teman Gani, menyaksikan sendiri penderitaan temannya. Hampir saja dia mendapat giliran yang sama. Tapi cepat-cepat dia merangkul Sur sambil memohon "Jangan tembak, pak. Saya nyerah . . . saya minta nyawa, pak." Begitu tutur Asudi. "Permintaan nyawa" Asudi dipenuhi. Dia hanya disuruh menggotong Gani naik ke mobil. Bukan Yang Pertama Penembakan terhadap Abdulgani ternyata bukan yang pertama terjadi pagi itu. Temannya, Sangkut, lebih dulu mengalaminya. Sebelum menciduk Gani, rupanya, serombongan petugas Kodak yang tengah mengadakan pembersihan bandit telah lebih dulu menangkap Asudi dan Sangkut. Mereka dibawa keliling ke Tanjung Duren, Senayan, Pos Duri (Grogol) dan kembali ke Senayan. Di situ, seingat Sangkut di sekitar Jalan Patal Senayan, "saya dibawa ke semak-semak di pinggir jalan," tutur Sangkut. Dari belakang seorang polisi, yang diyakininya bernama Djam, menempelkan ujung pistol di kaki kanannya sambil memaksa menyebutkan alamat Gani. "Saya tidak mau menjawab," kata Sangkut, tapi mendadak: "dor!" Kaki Sangkut bolong. Luka Sangkut tak begitu parah rupanya. Sebulan di rumahsakit Sangkut sudah dapat diboyong ke Nusakambangan sebagai residivis bersama Asudi. Nasib Gani memang parah. Pertama, baru saja siuman dari pingsan, ("saraf saya rasanya masih tegang" tutur Gani), ia sudah disodori berita acara pengakuan yang harus ditanda-tanganinya. "Saya masih ingat, waktu itu tangan saya ditarik dan ibu jari saya ditekan ke tinta dan ditempelkan ke selembar kertas." Itulah, katanya, cara polisi memperoleh pengakuannya. Kedua, seminggu dirawat di rumahsakit, ternyata luka di kaki kanannya membusuk. Mau tak mau harus dipotong. Sebab, "waktu itu kalau kaki saya dicubit, dagingnya ikut terbawa," kata Gani. Lalu tambah anak Palembang ini: "Sebenarnya bagi saya lebih baik ditembak mati saja daripada cacad begini." Bagaimana versi Polisi? Kalau cerita Gani dkk itu benar, menurut Kepala Dinas Penerangan Polri Kolonel Pol. Darmawan, "ya, tidak berperikemanusiaan." Tapi, Darmawan berharap, "agar masyarakat tetap waspada terhadap ucapan penjahat sebab norma yang dipakai penjahat itu lain . . . " Begitupun pendapat Kepala Dinas Penerangan Kodak Metro Jaya Letkol Pol. RA Tonang. Pengalaman Gani, menurut Tonang, "banyak yang tidak benar." Penembak Gani bukan dilakukan seorang informan, kata Tonang. Karena sejak beberapa tahun ini polisi tak meminjamkan pistolnya kepada petugas yang bukan anggota kepolisian. Djam? Mengutip Laporan-Polisi yang dibuat Letda Sinaga, pada hari kejadian, Rabu 14 Juni 1978, terlihat cerita lain versi polisi. Antara lain: Waktu itu kepolisian memang sedang beroperasi membersihkan daerah Grogol, Roxy dan Tanjungduren dari bandit yang biasa merampok dengan menodongkan senjata tajam. Para pelakunya, berdasarkan informasi yang cukup, diketahui tinggal di sekitar Cengkareng. Penggerebegan yang dilakukan sejak pukul 02.00 pagi berhasil menangkapi beberapa orang tersangka kegiatan banditisme. Antara lain Gani, Sangkut dan yang lain itu. Semuanya, katanya, mengaku, bahwa mereka biasa mengancam korbannya dengan pisau dan celurit. Untuk menjemput teman lainnya, Gani diminta turun dari mobil untuk menunjukkan rumah Kadir. Gani, begitu laporan polisi, bukannya membantu polisi tapi memanfaatkan kesempatan untuk melarikan diri. Peringatan sudah diberikan, termasuk peringatan terakhir dengan tembakan ke langit sampai dua kali. Tapi Gani mencoba kabur ke tempat gelap dan becek. Dengan begitu Djam punya alasan untuk mengarahkan tembakannya ke arah kaki buronannya. Siapa yang dibenarkan? Nampaknya, tak banyak harapan bagi Gani. Sukar membayangkan para pejabat peradilan kini menguntungkan posisi seorang penjambret dengan memojokkan polisi. Juga masyarakat umumnya mungkin lebih melihat hasilnya: biarlah penjambret Gani kapok. Tapi tetap menarik, bahwa orang seperti Gani "nekad" berkirim surat ke atas, -- semacam kesadaran akan haknya juga.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus