IA buntung sebatas lutut. Hadir di Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat, bersama 6 kawan penjambret lainnya, 20 Juni lalu,
Abdulgani Latif menyeret tongkat penyangga sebagai ganti kaki
kanannya.
Keadaannya menarik perhatian Hakim Heru Gunawan SH yang bertugas
mengadilinya. "Mengapa kakimu itu?" tanya hakim. Gani, 27 tahun,
menjawab tegas: "Ditembak seorang informan yang menangkap saya .
. . dari jarak dekat sekali." Di mana? "Di kuburan Cina Kebun
Nanas," lanjut Gani. "Wah, saudara berusaha melarikan diri?"
desak hakim. "Tidak, pak. Sengaja ditembak," sahut Gani pula.
Tanya jawab soal kaki buntung selesai begitu saja. Hakim Heru
Gunawan beralih ke pokok acara hari itu menyidangkan 7 orang
kawanan yang dituduh mengganggu keamanan, menjambret dan
menodong, di sekitar Jembatan Cideng, Roxy dan Jembatan Jeling.
Kejahatan mereka lakukan, menurut jaksa, dengan cara menodongkan
pisau ke leher para korbannya sebelum merampas arloji atau
barang perhiasan lainnya. Dan hasilnya, seperti diakui para
tertuduh sendiri, dihabiskan untuk foya-foya.
Putusan hakim mereka peroleh hari itu juga setahun penjara
potong masa tahanan sementara. Gani dkk tak usah harus masuk bui
-- bahkan tekor. Karena, biasa terjadi pada pesakitan kelas
teri, penahanan mereka alami lebih lama -- daripada kewajiban
masuk penjara yang dibebankan pengadilan.
Gani memang tak bermaksud mempersoalkannya. Ada yang dianggap
lebih penting dia sudah mengirim surat ke Kapolri, Kadapol dan
Kejaksaan Tinggi Jakarta mempersoalkan perihal kebuntungan
kakinya. Dia menunjuk seorang yang dikenalnya sebagai informan
polisi, bernama Sur, yang terang-terangan menembak kakinya tanpa
alasan berat.
Kuburan
Ceritanya begini. Selepas azan Subuh 14 Juni tahun lalu, 6 orang
yang memperkenalkan diri sebagai petugas kepolisian Kodak Metro
Jaya, menjemput Gani dari rumahnya di Cengkareng -- Jakarta
Barat. Gani langsung diseret naik jip. Di sana sudah bertumpuk
kawankawannya seperti Ansori, Ridwan, Sangkut, Asudi, Gatot dan
Lukman yang ditangkap duluan. Dikawal beberapa orang informan
dan polisi.
Dari Cengkareng, menurut Gani, polisi membawa mereka ke Kodak
Metro Jaya di Semanggi. Di situ pesakitan diturunkan. Yang harus
tetap di atas, "saya sendiri, Sangkut dan Asudi," kata Gani
menerangkan. Ketiganya dibawa ke kuburan di Kebon Nanas di
Jakarta Timur. Gani ingat betul ke mana dia dan teman-temannya
dibawa oleh petugas polisi yang kemudian dikenalnya bernama Sur,
Djam, Abd. Kar, Ol dan Djael. Mereka digiring masuk ke dalam,
sekitar 300 meter dari jalan, kata Gani.
Di situ polisi memaksakan pengakuan: Gani dan kawan-kawan harus
mengaku melakukan berbagai aksi perampokan. Padahal, "saya
memang tak melakukannya," kata Gani. "Waktu di mobil saya
sebenarnya sudah mengakui semua perbuatan saya. Yaitu hanya
menjambret dua jam tangan di Roxy saja." Tuduhan selebihnya
dibantah.
Tapi bantahan itulah rupanya pangkal sial bagi penjambret ini.
Dengan tangan terikat tali sepatu ke belakang, "saya disuruh
jalan kira-kira semeter membelakangi mobil," cerita Gani. Dari
belakang seorang petugas, yang oleh Gani disebut bernama Sur,
jongkok sambil menempelkan ujung laras pistol persis di belakang
lutut kaki kanannya. Gani hanya sempat mendengar bunyi "dor!"
Setelah itu tak ingat apa-apa sampai. Tahu-tahu, terbaring
kesakitan di zal Rumahsakit Persahabatan.
Asudi, teman Gani, menyaksikan sendiri penderitaan temannya.
Hampir saja dia mendapat giliran yang sama. Tapi cepat-cepat dia
merangkul Sur sambil memohon "Jangan tembak, pak. Saya nyerah .
. . saya minta nyawa, pak." Begitu tutur Asudi. "Permintaan
nyawa" Asudi dipenuhi. Dia hanya disuruh menggotong Gani naik ke
mobil.
Bukan Yang Pertama
Penembakan terhadap Abdulgani ternyata bukan yang pertama
terjadi pagi itu. Temannya, Sangkut, lebih dulu mengalaminya.
Sebelum menciduk Gani, rupanya, serombongan petugas Kodak yang
tengah mengadakan pembersihan bandit telah lebih dulu menangkap
Asudi dan Sangkut. Mereka dibawa keliling ke Tanjung Duren,
Senayan, Pos Duri (Grogol) dan kembali ke Senayan. Di situ,
seingat Sangkut di sekitar Jalan Patal Senayan, "saya dibawa ke
semak-semak di pinggir jalan," tutur Sangkut. Dari belakang
seorang polisi, yang diyakininya bernama Djam, menempelkan ujung
pistol di kaki kanannya sambil memaksa menyebutkan alamat Gani.
"Saya tidak mau menjawab," kata Sangkut, tapi mendadak: "dor!"
Kaki Sangkut bolong.
Luka Sangkut tak begitu parah rupanya. Sebulan di rumahsakit
Sangkut sudah dapat diboyong ke Nusakambangan sebagai residivis
bersama Asudi. Nasib Gani memang parah. Pertama, baru saja
siuman dari pingsan, ("saraf saya rasanya masih tegang" tutur
Gani), ia sudah disodori berita acara pengakuan yang harus
ditanda-tanganinya. "Saya masih ingat, waktu itu tangan saya
ditarik dan ibu jari saya ditekan ke tinta dan ditempelkan ke
selembar kertas." Itulah, katanya, cara polisi memperoleh
pengakuannya.
Kedua, seminggu dirawat di rumahsakit, ternyata luka di kaki
kanannya membusuk. Mau tak mau harus dipotong. Sebab, "waktu itu
kalau kaki saya dicubit, dagingnya ikut terbawa," kata Gani.
Lalu tambah anak Palembang ini: "Sebenarnya bagi saya lebih
baik ditembak mati saja daripada cacad begini."
Bagaimana versi Polisi? Kalau cerita Gani dkk itu benar,
menurut Kepala Dinas Penerangan Polri Kolonel Pol. Darmawan,
"ya, tidak berperikemanusiaan." Tapi, Darmawan berharap, "agar
masyarakat tetap waspada terhadap ucapan penjahat sebab norma
yang dipakai penjahat itu lain . . . "
Begitupun pendapat Kepala Dinas Penerangan Kodak Metro Jaya
Letkol Pol. RA Tonang. Pengalaman Gani, menurut Tonang, "banyak
yang tidak benar." Penembak Gani bukan dilakukan seorang
informan, kata Tonang. Karena sejak beberapa tahun ini polisi
tak meminjamkan pistolnya kepada petugas yang bukan anggota
kepolisian.
Djam?
Mengutip Laporan-Polisi yang dibuat Letda Sinaga, pada hari
kejadian, Rabu 14 Juni 1978, terlihat cerita lain versi polisi.
Antara lain: Waktu itu kepolisian memang sedang beroperasi
membersihkan daerah Grogol, Roxy dan Tanjungduren dari bandit
yang biasa merampok dengan menodongkan senjata tajam. Para
pelakunya, berdasarkan informasi yang cukup, diketahui tinggal
di sekitar Cengkareng.
Penggerebegan yang dilakukan sejak pukul 02.00 pagi berhasil
menangkapi beberapa orang tersangka kegiatan banditisme. Antara
lain Gani, Sangkut dan yang lain itu. Semuanya, katanya,
mengaku, bahwa mereka biasa mengancam korbannya dengan pisau dan
celurit.
Untuk menjemput teman lainnya, Gani diminta turun dari mobil
untuk menunjukkan rumah Kadir. Gani, begitu laporan polisi,
bukannya membantu polisi tapi memanfaatkan kesempatan untuk
melarikan diri. Peringatan sudah diberikan, termasuk peringatan
terakhir dengan tembakan ke langit sampai dua kali. Tapi Gani
mencoba kabur ke tempat gelap dan becek. Dengan begitu Djam
punya alasan untuk mengarahkan tembakannya ke arah kaki
buronannya.
Siapa yang dibenarkan? Nampaknya, tak banyak harapan bagi Gani.
Sukar membayangkan para pejabat peradilan kini menguntungkan
posisi seorang penjambret dengan memojokkan polisi. Juga
masyarakat umumnya mungkin lebih melihat hasilnya: biarlah
penjambret Gani kapok. Tapi tetap menarik, bahwa orang seperti
Gani "nekad" berkirim surat ke atas, -- semacam kesadaran akan
haknya juga.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini