Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Bukan Adegan Drama

Christine Faridah Suwantika, 22, tewas di Singapura. Meskipun Faridah dinyatakan bunuh diri, banyak orang sangsi. Tapi persoalan ternyata sudah berakhir. (krim)

7 Juli 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMAN-teman almarhumah menuntut pada pengadilan, supaya tertuduh dijatuhi hukuman yang berat. Beberapa kali memang hakim terteror ketika hendak mengambil keputusan. Tapi pada hari itu akhirnya hakim tadi menjatuhkan putusan yang mengejutkan. "Lalu saya jatuhkan putusan. Ali, putera bapak Gubernur, dibebaskan dari tuduhan pembunuhan keji. Tanpa syarat. Supaya orang banyak tersinggung, marah dan meletup mengganyang Ali dengan hukuman yang lebih tepat," kata hakim. Itu adalah sebagian percakapan dalam drama DCR karya Putu Wijaya. Beberapa hari sebelum State Coroner Singapura, Chang Kok Ming memutuskan dua pekan lalu sebab kematian Faridah adalah bunuh diri, Tika Juwena menelepon Putu Wijaya. Ia menyatakan minatnya untuk membaca naskah drama itu. Meskipun Tika tahu betul William Loh Shou Lian bukan Ali, dan hakim itu bukanlah Chang Kok Ming. Jadi benarkah Christine Faridah Suwantika, 22 tahun, puteri Tika Juwena tewas karena bunuh diri? (TEMPO 30 Juni). Masih banyak orang menyangsikan termasuk ahli kedokteran kehakiman dr. Handoko Tjondroputranto dari Lembaga Kriminologi UI. Setelah melihat keanehan dari proses pemeriksaan polisi dan juga persidangan ia tetap yakin Faridah tewas karena pembunuhan. "Seharusnya polisi menaruh curiga terhadap keadaan yang tidak normal dari persangkaan bunuh diri. Tapi dalam kasus ini malah sebaliknya," sebut dr. Handoko "Polisi justru berusaha menormalkan hal-hal yang tidak normal itu." Dr. Handoko mengecam kecerobohan polisi setempat dalam melakukan penyidikan di tempat kejadian. Beberapa barang bukti yang sangat berharga seperti selimut ternyata lenyap. Bahkan posisi korban yang telungkup dengan tubuh terbungkus selimut itu, tidak sampai membuat polisi curiga. "Posisi korban yang telungkup di lantai dapur, sangat jauh dari teori kebiasaan orang bunuh diri dengan gas," kata dr. Handoko. "Karena seseorang yang bunuh diri dengan gas selalu memilih posisi yang enak (TEMPO 2 Juni). Ada juga pendapat bahwa polisi setempat tak berhasil menjejaki ceceran darah Faridah, yang berjalan dari ruang tamu ke dapur. Pun tampaknya polisi tidak berusaha mencari sidik jari seseorang yang patut dicurigai -- siapakah yang membuka kran gas dan memegang alat suntik itu? Tak Ada Bekas Obat Tidur Beberapa jam sebelum hari naas pada subuh 25 Agustus itu, menurut pembantu rumahtangga Parmi, Faridah minum 3 pil obat tidur. Almarhumah juga sempat berpesan, "jaga baik-baik Jacqueline, karena ini adalah hari penghabisan." Parmi memang malam itu tidur di sisi si orok di kamar tidur majikannya. Tapi dr Wee Keng Poh yang melakukan bedah mayat atas tubuh korban ternyata tidak menemukan tanda-tanda Faridah pernah minum obat tidur. Baik itu jenis berbiturat, methaqualone, diazepan, chlorpromazine, chlorsdiazepoxide, antihistamine, alkaloid atau jenis obat sakit kepala yang mengandung salicylates di lambung almarhumah. Hanya pada penelitian toksikologik terhadap darahnya ditemukan senyawaan karbon monoksida yang sudah terikat menjadi carboxyhaemoglobine, dalam jumlah 80%. Sebab kematian dari visum dr Wee Keng Poh, yang juga bisa diterima akal sehat dr Handoko, adalah benar korban keracunan karbon monoksida -- atau gas dapur. Yang masih membuat gusar Handoko adalah pemusatan perhatian Department of Scientific Service, pada kemungkinan racun mengeram di lambung. "Ini sangat aneh, karena pada tubuh korban jelas ditemukan bekas-bekas suntikan, jadi obatnya akan langsung ke darah, tidak ke lambung," sebutnya pekan lalu kepada wartawan TEMPO Karni Ilyas. Seperti diketahui di punggung tangan, lipatan siku, dan beberapa tempat di tubuh korban ditemui bekas suntikan yang jumlahnya 10 buah dengan luka memar. Apakah itu dilakukan orang lain? Seorang dokter yang tak mau disebut namanya menduga itu dilakukan Faridah sendiri. Ia menyebutnya haemotoma, yaitu akibat suntikan meleset tidak masuk pembuluh darah. "Karena panik dan belum berpengalaman, suntikan dilakukan di beberapa bagian tubuhnya," kata dokter itu. Tapi barangkali itu dilakukan orang lain? Dan cairan apa yang diinjeksikan? Tidak jelas. Pengadilan tidak meminta kesaksian dari farmakolog, untuk mengidentifikasi cairan itu. Hanya disebut di ujung jarum itu ada darah golongan 0, sesuai dengan golongan darah korban. Kejangalan Benarkah obat itu berhasil diinjeksikan? Kalau melihat luka memar itu, obat tadi mungkin tidak berhasil diinjeksikan. Jadi ada kesimpulan, bahwa setelah korban tidak berhasil menginjeksi sendiri, lalu menyayat tubuhnya di beberapa bagian. Inipun menunjukkan almarhumah tidak pengalaman. Bersandar pada visum dr Wee Keng Poh itu memang bisa disimpulkan korban bunuh diri. Meskipun bisa juga ada kecurigaan terhadap luka memar pada paha kiri sebelah luar dan kaki kanan bagian tengah, yang tak disebut-sebut meninggalkan bekas luka suntik. Apakah itu suatu pertanda bahwa sebelum maut menjemput korban melakukan perlawanan? Sulit memang melakukan pemeriksaan ulang. "Sebab tidak akan ditemukan petunjuk baru," kata dr. Handoko. VB Da Costa, anggota DPR RI yang sedang berada di Singapura dan secara tidak resmi mengikuti jalannya hearing untuk menentukan sebab kematian Faridah, menemui beberapa kejanggalan. Loo Choon Beng orang yang pertama datang di tempat kejadian tidak diajukan sebagai saksi, tapi malah maju sebagai pembela William Loh. Begitu juga ibu Loh -- Yosephine Loh -- yang membawa pisau lipat berdarah tidak dipanggil. Alasannya pergi ke Amerika. "Padahal setelah diselidiki ternyata ada di Singapura," kata Da Costa. "Keterangan Parmi dan William Loh itu sebenarnya satu-satu. Jadi tidak bisa dipakai untuk memastikan Faridah bunuh diri." Tapi persoalan ternyata sudah berakhir. "Kalau state coroner menyatakan sudah puas dengan pemeriksaannya dan menyatakan putus, maka itu sudah final," kata Daniel Tan -- perwira hubungan masyarakat Kepolisian Singapura kepada wartawan TEMPO Khoe Hak Lep "Itu artinya selesai juga buat polisi."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus