Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Jejak Insiden Manggarai

Polisi mengakui adanya pelanggaran kemanusiaan dalam "Insiden Manggarai". Katanya, karena terpaksa.

7 Juni 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TIADA pilihan lain, akhirnya Brigadir Jenderal Edward Aritonang mengakui kesalahan anak buahnya. Sebagai Kepala Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Timur, ia membenarkan adanya pelanggaran hak asasi manusia dalam "Insiden Manggarai" yang meletik pada 11 Maret silam. "Kami tidak akan menutup diri. Silakan Komnas HAM datang dan menyidiknya," ujar Edward Aritonang awal Juni lalu.

Sebuah temuan penting telah dimaklumatkan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia beberapa waktu silam. Setelah mewawancarai sejumlah saksi dan korban, lembaga ini menyimpulkan adanya indikasi pelanggaran hak asasi manusia dalam insiden tersebut. Kesimpulan inilah yang mendorong Kepala Polda Nusa Tenggara Timur berkomentar.

Insiden bermula dari penangkapan terhadap tujuh petani yang dinilai merambah hutan lindung di sentra kopi Colol, Kecamatan Pocoranaka, Manggarai. Kebetulan saat itu rombongan Bupati Anthony Bagul Dagur sedang berkunjung ke sana.

Nah, sehari berselang, tepatnya pada 11 Maret 2004, sekitar 100 orang merangsek ke Kantor Kepolisian Resor Manggarai. Mereka meminta agar kawannya, tiga lelaki dan empat perempuan, yang ditangkap dibebaskan. Di mata para petani itu, mereka tidak bersalah karena tanah yang digarapnya termasuk dalam tanah adat.

Pembebasan direncanakan berjalan damai, tapi tiba-tiba dirobek oleh letusan senapan yang menyalak dari dalam markas polisi, yang disusul dengan kericuhan dan tembakan beruntun. Lima orang tewas saat itu juga, satu orang meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit, dan puluhan lainnya luka-luka. Belakangan, korban tewas bertambah dua orang karena mereka tidak dirawat secara memadai.

Menurut seorang saksi mata, kata M.M. Billah dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang meneliti insiden itu, letusan senapan terjadi di depan mata Kepala Polres Manggarai, Ajun Komisaris Besar Bonifasius Tompoi, yang berada di halaman markas.

Kepolisian sendiri telah menghukum Tompoi dengan dibebastugaskan dari jabatannya. Sebagai atasan, ia dinilai tidak dapat menjalankan kendali komando dan lambat dalam mengambil tindakan pencegahan. Dua perwira di polres itu mendapat teguran tertulis. Sedangkan 16 bintara yang terlibat dalam penembakan tersebut dijatuhi hukuman kurungan masing-masing enam hari.

Hanya, sanksi internal tersebut tentu belum memadai. Kepolisian juga menetapkan Tompoi sebagai tersangka kendati berkasnya belum dilimpahkan ke kejaksaan.

Di mata Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), semestinya para tersangka kelak diseret ke pengadilan hak asasi manusia. Soalnya, penembakan di kebun kopi itu bukan sekadar tindak pidana biasa. "Jelas ada pelanggaran hak asasi," kata Ori Rahman, Ketua Presidium Kontras.

Saat kejadian, menurut versi Kontras, massa tak berani masuk markas. Mereka didorong-dorong oleh polisi saat berupaya merangsek masuk bersama tim negosiator. Saat itulah polisi melepas tiga tembakan peringatan, yang dibalas dengan lemparan batu. Setelah situasi kacau, polisi melepas tembakan bertubi-tubi.

Dalam penyidikan Markas Besar Kepolisian RI, Bonifasius Tompoi mengaku memerintahkan agar anak buahnya menembak karena tak siap menghadapi massa. Ini dibenarkan oleh Edward Aritonang. "Polisi terpaksa menembak karena dalam keadaan kepepet, untuk mempertahankan diri," ujarnya. Menurut dia, penduduk yang datang ke markas polisi bertindak brutal dan merangsek ke gudang senjata sehingga Tompoi memerintahkan segera mempertahankan diri dengan senjata.

Demi mengungkapkan insiden tersebut secara lebih gamblang, mungkin Komisi Nasional Hak Asasi Manusia perlu membentuk tim untuk menyelidikinya lebih jauh. Menurut Billah, hal ini sedang dipikirkan oleh Komisi. "Kami akan membicarakannya dalam rapat pleno," ujarnya.

Yang pasti, Komisi telah mengirim surat kepada Markas Besar Polri agar diberi akses untuk memeriksa para anggotanya yang ditengarai melanggar hak asasi manusia. Hanya, hingga akhir pekan lalu, belum ada jawaban.

Endri Kurniawati, Jems de Fortuna (Kupang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus