DRS. Nur Usman, bekas pejabat Pertamina yang dituduh mendalangi pembunuhan anak tirinya, Roy Bharya, akhirnya menjadi orang pertama yang melewati batas waktu penahanan sebagaimana ditentukan KUHAP. Hari Minggu lalu, ia terpaksa dilepaskan dari Rumah Tahanan Salemba, yang sudah 151 hari dihuninya. Sebab, sampai masa tahanannya habis, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, yang memeriksa perkaranya, tidak berhasil memvonisnya. Berbaju biru muda dan celana hitam, Nur Usman, yang sebelumnya berhasil 13 kali menunda sidang dengan alasan sakit, terlihat ceria dan segar meninggalkan rumah tahanan. Begitu keluar dari selnya, sekitar pukul 9.30, dengan senyum berkembang ia menyalami beberapa petugas dan rekan sesama tahanan yang satu blok dengannya. "Terima kasih . . ., terima kasih," katanya. Melewati ruangan registrasi, bersama tujuh orang tahanan lain yang juga bebas hari itu, ia diambil sidik jarinya. Dan dengan lancar ia menyebutkan identitas dan lamanya ia ditahan ketika dicek oleh petugas LP yang melepaskannya. Setelah itu, diiringi pengacaranya, Hotma Sitompul, dan beberapa keluarga dekatnya, Nur Usman melewati pintu terakhir rumah tahanan, disambut jepret-jepret kamera wartawan yang sudah menunggu saat bebasnya di hari itu. "Semuanya ini karena kebesaran Tuhan. Syukur alhamdulillah," ujar Nur, kepada wartawan yang segera mengerumuninya. Sementara itu, tangan kirinya terus-menerus memainkan seuntai tasbih putih yang dibawanya. Kemudian ia melambaikan tangannya dan duduk di samping Hotma yang mengemudikan mobil BMW merah. Di sebuah rumah besar di bilangan Tebet Barat Raya, BMW berhenti. Ciuman mendarat di pipi kanan kiri Nur Usman dari anak-anaknya. Salah seorang anaknya, gadis remaja, Dara Amalia. "Ini dia anak saya, yang sekolah di Amerika dan yang suka menjenguk ke rutan, sampai-sampai saya diisukan suka menerima cewek cantik di tahanan," seloroh Nur Usman. Lepasnya Nur Usman sudah menjadi gunjingan sejak akhir November lalu. Sebab, ketika itu, sudah ditahan sejak 9 Agustus lalu, ia sudah belasan kali menunda sidang. Hanya secarik surat keterangan dokter Rutan Salemba, Wunardi, yang selalu sampai ke meja hijau. Keterangan sakit, yang anehnya selalu tepat muncul di hari sidang, dicurigai pihak kejaksaan sebagai ulah untuk memperlambat sidang agar bisa lepas dari tahanan demi hukum. Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta PusatBob Nasution, misalnya, terus terang meragukan keterangan dokter itu. Sebab, Bob mendapat informasi bahwa Nur sehat-sehat saja di tahanan. "Misalnya, pagi hari ia joggng, kemudian menerima tamu. Baru, kalau petugas kejaksaan datang, ia buru-buru menarik selimut dan pura-pura sakit," ujar Bob. Kecurigaan serupa juga diungkapkan ayah Mendiang Roy, dr M. Bharya, setelah mendapat hasil pemeriksaan laboratorium mengenai kesehatan, yang menyimpulkan bahwa Nur Usman tidak menderita sakit apa pun. Bharya bahkan sempat mengingatkan Mahkamah Agung tentang masa penahanan Nur Usman yang hampir habis karena terdakwa dianggap memperlambat sidang. Sementara itu, ibu kandung Roy, Nyonya Thea Kirana, terang-terangan menuduh bekas suaminya itu berbohong: "Kalau ia ingin ngibul, ya ngibul, tapi jangan keterlaluan," (TEMPO, 30 November 1985). Apa pun gunjingan orang, tampaknya, Nur Usman bersikeras bahwa ia benar-benar sakit. Sementara itu, dr. Wunardi tetap berkesimpulan bahwa pasiennya itu menderita sakit ginjal, liver, empedu, dan darah tinggi. Sebab itu, Wunardi meminta mejelis mengizinkan pasiennya diperiksa secara mendalam oleh tim dokter RSPAD. Akhirnya, majelis yang diketuai Oemar Sanusi mengijinkan Nur Usman diperiksa tim dokter RSPAD, yang diketuai dr. Gani Thaher. Ternyata, kesimpulan pemeriksaan dokter itu, akhir November, menyebutkan bahwa Nur tidak perlu diopname dan cukup kuat untuk hadir di sidang. Tapi, lagi-lagi, ia tidak datang dengan keterangan Wunardi bahwa ia sakit. Bahkan, belakangan, Wunardi menyebutkan pula bahwa pasiennya itu menderita kekacauan mental. Sebab itu, Wunardi meminta pasiennya itu diopname oleh RSCM. Oemar Sanusi kembali mengabulkan permintaan Wunardi. Tapi, seperti diduga, tim dokter RSCM yang dipimpin Prof. Roekmono menyatakan bahwa Nur tidak perlu dirawat. Tegas pula tim dokter itu menyebutkan, pertengahan bulan lalu, terdakwa mampu menghadiri sidang. Roekmono mengambil kesimpulan itu setelah melakukan pemeriksaan lengkap. Kendati begitu, Wunardi tetap bertahan bahwa pasiennya menderita berbagai penyakit berat. Tapi, ia tidak lagi memberikan surat keterangan. Sebab, kata sebuah sumber di kejaksaan, tanpa itu pun Nur Usman sudah habis masa tahanannya. Satu-satunya harapan kejaksaan menjelang tahun baru itu adalah keluarnya surat penetapan Mahkamah Agung untuk memperpanjang masa penahanan. Sebab, menurut surat edaran bersama Mahkamah Agung dan Ditjen Pemasyarakatan, 19 November 1983, peradilan tertmggi bisa memperpanjang masa tahanan untuk terdakwa-terdakwa yang perkaranya menarik perhatian masyarakat. Rupanya, harapan kejaksaan itu hampa. Sabtu pagi, Ketua Mahkamah Agung Ali Said menegaskan bahwa pihaknya tidak akan mencampuri perkara Nur Usman: "Kalau masa penahanannya sudah habis, ya keluar. Masa harus ditahan terus." Sebab itu, keesokan harinya, Nur Usman lepas dari tahanan demi hukum. Persoalannya, kini, salah siapakah persidangan menjadi berlarut-larut. "Yang jelas, bukan salah kami - kami sudah berusaha semaksimal mungkin. Semua itu bisa terjadi akibat ulah Wunardi dan pengacara Nur Usman," tuding Bob Nasution. Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat itu menyebutkan bahwa ulah Nur Usman - dengan bantuan pengacara dan dokter rutan - menunda 13 kali sidang. "Bayangkan, 13 kali ia mengirimkan surat sakit, bagaimana jadwal sidang tidak melewati batas waktu?" ujar Bob Nasution. Nur Usman dan pengacaranya, Hotma, tentu saja membantah tuduhan itu. Sampai keluar dari tahanan, Nur Usman bersiteguh bahwa ia benar-benar sakit. "Rencana saya akan kembali ke dokter pribadi saya, Zubaeri, untuk mengobati penyakit saya sampai tuntas," ujar Nur. Sementara itu, Pengacara Hotma Sitompul menyatakan bahwa pemeriksaan kesehatan kliennya di tahanan tidak manusiawi. Karena itu pula, katanya, Nur Usman kesal dan tidak datang ke sidang. "Mau apa saya,itu haknya," ujar Hotma. Dokter Wunardi, sebaliknya, menyalahkan hakim yang tidak cepat-cepat memeriksakan Nur Usman ke dokter ahli. "Dari dulu saya sudah minta dia diperiksa dokter ahli. Sebab, menurut pemeriksaan saya, ia benar-benar sakit," ujar Wunardi. Ia bahkan bersedia dituntut bila salah satu saja dari surat keterangannya itu dibuat-buat. Tentang kesimpulan tim dokter RSPAD dan RSCM, Wunardi tidak menanggapinya dengan alasan ia belum pernah mendapat laporan resmi dari hasil pemeriksaan itu. Kecuali itu, Wunardi juga mengatakan, hakim tidak harus menunda sidang walau seorang dokter mengatakan pasiennya sakit. "Jangan salah tafsir tidak setiap surat saya menjadi keharusan hakim menunda sidang. Hakim bisa saja mengharuskan terdakwa datang ke sidang. Jadi, semuanya tergantung hakimnya, dong," ujar Wunardi. Ternyata, di situlah soalnya. Sebab, Ketua Majelis Hakim, Oemar Sanusi, menuding 13 surat Dokter Wunardi sebagai penyebab pemeriksaan perkara Nur Usman menjadi berlarut-larut. Sebab, bagi Oemar Sanusi, keterangan dokter tahanan - sesuai dengan PP no. 27/1983 - adalah sah untuk menentukan sakit atau tidaknya seorang terdakwa yang masih diadili. "Persoalannya adalah kode etik dokter. Kalau begitu terus semua tahanan bisa memanfaatkannya," ujar Oemar lagi. Semula, tutur Oemar, keterangan-keterangan sakit dari Wunardi itu tidak terbayangkan oleh majelis akan bisa memperlambat persidangan sampai habis masa waktu penahanan. Tentu saja, katanya, harapan itu berdasarkan keyakinan bahwa seorang dokter akan memberikan keterangan yang benar. "Tapi perkembangan menjadi lain, sehingga bagi masyarakat terlihat tidak adil," tambah Oemar lagi. Apa yang dikatakan hakim itu ada benarnya. Seorang sumber menyebutkan, wibawa pengadilan menjadi turun akibat kasus itu. Sebab, untuk kasus subversi yang menyangkut A.M. Fatwa dan Abdul Qadir Djaelani di pengadilan yang sama, hakim memaksakan sidang sampai malam hari, walau terdakwa sakit - dan bahkan sampai pingsan. "Kesannya, untuk Nur Usman, yang kaya, sidang bisa ditunda-tunda," ujar sumber itu. Padahal, kata sumber itu, hakim terpaksa menunda sidang hanya akibat wewenang dokter rutan itu saja. Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Pusat, dr. Kartono Mohamad, melihat PP no. 27/1983 terlalu besar memberikan wewenang kepada dokter rumah tahanan untuk menentukan sakit atau tidaknya seorang terdakwa. Sebab itu, kata Kartono, peraturan pemerintah itu perlu diberi petunjuk pelaksanaan. Misalnya, untuk memberikan keterangan bahwa terdakwa sakit, seharusnya dilakukan pemeriksaan laboratorium atau konsul dengan sebuah rumah sakit. MENURUT Kartono, sesuai dengan kode etik kedokteran, setiap surat keterangan sakit dari dokter seharusnya dapat dibuktikan kebenarannya. Tapi, sehubungan dengan masalah jangka waktu penahanan, seakan-akan surat keterangan itu bisa diperalat oleh orang-orang tertentu. Sebab itu, saya usulkan agar dibuat petunjuk pelaksanaan dari PP itu, agar surat itu tidak sampai dimanfaatkan untuk yang tidak benar," tutur Kartono lagi. Tapi, apalah artinya sebuah petunjuk pelaksanaan, kalau aparat yang melaksanakannya bisa goyah? Karni Ilyas Laporan Didi P. & Happy S. (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini