TAK seperti semasa Orde Baru, DPR sekarang mestinya tak lagi cuma menjadi "tukang stempel" undang-undang. Dan pemerintah pun seharusnya tak sekadar memproduksi rancangan undang-undang (RUU) untuk masalah yang sesungguhnya menjadi urusan rakyat. Itulah salah satu perubahan penting yang seyogianya terjadi pada era reformasi.
Tapi harapan itu tampaknya belum terwujud. Setidaknya hal itu terjadi pada RUU Yayasan yang diajukan pemerintah ke DPR. Meski RUU itu belum dibahas DPR, kalangan lembaga swadaya masyarakat di Jakarta dan Bandung menuntut agar RUU tersebut dirombak total. Soalnya, RUU itu mengukuhkan kembali kontrol negara, sebagaimana intervensi pemerintah Orde Baru terhadap partai politik, organisasi masyarakat, dan pers.
Sebetulnya, hasrat pemerintah untuk mengatur yayasan terhitung suatu kemajuan. Sebab, sejak Indonesia merdeka, bahkan setelah kasus berbagai yayasan yang diketuai mantan presiden Soeharto mengguncang republik ini, belum ada undang-undang yayasan. Padahal, sudah banyak terjadi penyalahgunaan yayasan, yang dijadikan kendaraan bisnis. Itu tentu menyimpang dari maksud yayasan, yang seharusnya hanya organisasi nirlaba bertujuan sosial.
Selain yayasan-yayasan Soeharto, memang banyak yayasan lain yang berkedok sosial meski telah berwujud raksasa bisnis, di bidang kesehatan, pendidikan, ataupun pers. Demikian juga yayasan di departemen-departemen serta di lingkungan TNI dan kepolisian. Malah, menurut praktisi hukum T. Mulya Lubis, ada yayasan yang menjadi pemilik bank komersial, perusahaan pengelola jalan tol, dan perusahaan ekspor-impor.
Memang, tak semua yayasan menelikung khitahnya. Sangat banyak juga yayasan yang benar-benar bergerak di bidang sosial, bahkan turut membangun masyarakat madani, di antaranya Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Pengembangan Ekonomi dan Sosial, serta Indonesia Center of Environmental Law.
Namun, kebobrokan yayasan-yayasan di atas, yang amat merugikan masyarakat, tentu tak bisa ditolerir lagi. Sampai-sampai Dana Moneter Internasional pun meminta agar pemerintah Indonesia membuat undang-undang yayasan. Persoalannya, kini RUU Yayasan dinilai oleh organisasi nonpemerintah mengandung campur tangan negara yang berlebihan.
Contohnya, kata Direktur Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Irianto Subiyakto, adanya kewenangan pemerintah melalui Menteri Kehakiman untuk mengesahkan akta pendirian yayasan. "Itu sudah mengurangi hak asasi masyarakat untuk bebas berorganisasi," ujar rekan Irianto, M. Taufan Suranto, yang juga Ketua Wahana Lingkungan Hidup Jawa Barat.
Seharusnya, menurut Irianto, wewenang pemerintah hanya sebagai pendukung bagi pendirian dan keberhasilan yayasan. Dengan kalimat lain, dalam hal pendirian yayasan, pemerintah hanya sebagai pencatat. Hal itu tak berbeda dengan praktek pendirian yayasan selama ini, yang cukup dengan mendaftar ke pengadilan.
Irianto dan Taufan juga menyoroti aturan tentang hak pemerintah untuk menolak pengurus suatu yayasan. Siapa yang akan menjadi pengurus suatu yayasan, menurut mereka, tak perlu diatur negara. Sebab, itu menjadi urusan internal yayasan. Kalau tidak, "Begitu terjadi konflik kepengurusan yayasan, pemerintah bisa masuk dan menentukan pengurus baru," kata Irianto.
Irianto menambahkan, masalah tanggung jawab pengurus yayasan kepada masyarakat, terutama dalam soal keuangan, justru tak diatur secara rinci dalam RUU. Padahal, penyimpangan dana yayasan itulah yang sering terjadi, sehingga masyarakat ataupun para anggota yayasan tak bisa menikmatinya.
Toh, kritikan keras dari kalangan lembaga swadaya masyarakat ditanggapi secara lugas oleh staf ahli Menteri Kehakiman, Ratnawati Wijaya. "Seharusnya kalangan LSM membaca dulu RUU itu secara benar. Jangan asal mengatakan bahwa RUU melanggar hak asasi manusia," kata ketua tim penyusun RUU Yayasan itu.
Ratnawati juga membantah tudingan bahwa RUU tersebut terlalu memuat campur tangan negara. Menurut dia, setiap orang boleh mendirikan yayasan, asalkan memenuhi beberapa persyaratan, misalnya pendiri yayasan tak boleh menikmati harta kekayaan yang sudah disisihkannya untuk yayasan. Orang yang menurut pengadilan pernah menyebabkan bangkrutnya suatu yayasan juga tak bisa lagi menjadi pengurus yayasan. "Itu kan persyaratan logis saja. Jadi, tak ada intervensi negara," ujar Ratnawati.
Hps, Arif A. Kuswardono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini