MERASA iseng menyuntikkan valium, ujung-ujungnya malah berhadapan dengan polisi. Itulah yang menimpa Teguh Aji Dewansyah, 18 tahun. Semula ia didakwa menyuntikkan obat keras ke tubuh rekannya, Muhamad Aji Pribadi. Buntutnya, anak berusia 16 tahun itu tewas awal Maret silam. Ia anak ketiga Ketua Organda DKI Jaya Aip Syarifuddin. Kini Dewansyah tidur di sel Kepolisian Resor Jakarta Selatan. Bala ini muncul di sebuah gedung SD di Kramat Pela, Jakarta Selatan, awal Maret lalu. Dewansyah, protolan sebuah SMA swasta ini, mencoba menyuntikkan valium di ujung kedua lengannya. Nyuut! Cairan masuk dengan lancar. Ia fly dan tertidur. Saat siuman, tiga rekan menghampirinya. Mereka rebahan dan minta disuntikkan cairan serupa. Giliran pertama tangan kiri Pribadi disepet Dewansyah. "Masuknya bagus," kata Dewansyah, seolah ikut menikmati jalannya obat. Lalu disambung kedua teman lainnya. Tapi cairan valium yang didapat dari sisa bius kakak Dewansyah itu keburu habis. Padahal nafsunya sudah menggebu. Mereka kecewa. Lalu Dewansyah, ditemani seorang cewek, membeli obat serupa di sebuah apotek di Melawai, Kebayoran Baru. Gagal, karena tak ada resep dari dokter. Keduanya balik menengok Pribadi yang masih terbaring lelap di atas bangku SD itu. Kemudian mereka beberapa kali membangunkannya, tapi Pribadi tak menyahut. Mereka panik. Di sudut lengan kanan siswa kelas 3 SMP itu ada bekas sundutan rokok. Dewansyah menelepon orang tua rekan mainnya itu. Sesampai di rumah, Pribadi yang sudah tidak sadar itu dilarikan ke Rumah Sakit Fatmawati di Jakarta Selatan. Anak ketiga dari lima bersaudara, yang menurut sang ibu "pergaulannya dikontrol ketat" itu, akhirnya tewas. Dan Dewansyah ditahan polisi, akhir Maret lalu. Semula polisi memperkirakan Dewansyah dapat disalahkan. Tapi hasil visum yang keluar pekan silam (setelah diteliti sebulan) rupanya berbicara lain. Pribadi, menurut visum, bukan tewas lantaran suntikan valium itu. "Tapi akibat serangan jantung akut," kata sumber TEMPO di Bagian Ilmu Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Yang mengherankan, di tubuh korban sama sekali tidak terdeteksi unsur valium - atau jenis obat tidur lain. Bekas penganiayaan dan suntikan juga tidak tampak. Yang ditemukan hanya lebam mayat. Ini wajar, karena gravitasi. Setelah temuan ini, menurut Kepala Kepolisian Resor Jakarta Selatan Letnan Kolonel Adang Rismanto, "Agaknya dia tidak bisa dikenai pidana." Dan si bontot Dewansyah, yang mengaku baru sebulan ini aktif ngeboat, kemudian menyunggingkan senyum di bibirnya. Selesai? "Tunggu dulu," ujar Adang. Sebab, tidak tertutup kemungkinan tersangka yang bertubuh ceking dan berambut plontos itu dijaring dengan Pasal 359 KUH Pidana - yang karena kelalaiannya mengakibatkan kematian seseorang. Jika terbukti, pelakunya bisa diganjar penjara lima tahun. Toh kini polisi menangguhkan menahan Dewansyah. Namun, dengan adanya kasus ini, setidaknya tergambar tindakan "iseng" melanda sekelompok remaja di Jakarta. "Itu baru yang ketahuan," kata Adang Rismanto. Dewansyah, misalnya, mengaku kepada TEMPO akrab dengan pil-pil keras macam Rohipnol, Dumolit, atau BK. Ia melihat Pribadi menelan Dumolit sebelum minta diinjeksi valium setengah ampul, 5 miligram itu. Gambaran ini mungkin akan jelas lagi setelah dilihat ke hasil penelitian di Fakultas Kedokteran Universitas Atmajaya, Jakarta. Menurut Dokter Satya Joewana, Kepala Seksi Medik dan Ketergantungan Obat yang ikut meneliti kasus ini, sekitar 70% - dari 151 responden pada 1993 - pengguna narkotik (termasuk psikotropika dan zat adiktif lainnya) di Jakarta adalah pelajar dan mahasiswa. Bahkan ada yang mengenal obat ini sejak di SD. Tapi hasil penelitian Atmajaya ini ditangkis Badan Koordinasi Pelaksana Inpres Nomor 6 Tahun 1971. "Hasil tersebut terlalu dini dan tidak representatif," ujar Brigadir Jenderal Tony Sidharta, Kepala Staf Harian di lembaga yang banyak menangani kasus narkotika di Jalan Sumenep, Jakarta. Wahyu Muryadi dan Taufik T. Alwie
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini