DI Pura Besakih di kaki Gunung Agung, pada Purnama Kedasa, Senin pekan lalu, ada upacara Betara Turun Kabeh. Pada hari itu "Betara Kalki" juga diturunkan dari Gunung Agung. Ia, istri, dan tiga pengikutnya ditangkap Brigade Mobil Kepolisian Daerah Nusa Tenggara. "Betara Kalki" itu Wayan Arta, 35 tahun, dituduh menggerakkan sekitar 50 pengikutnya menyerang Banjar Selat, 16 April lalu. Aksi dendam buntut pesta ogoh-ogoh itu merenggut seorang meninggal, enam luka-luka, dan tiga rumah, enam warung, serta tiga sepeda motor dibakar. Arta kabur. Setelah ditangkap, Arta membantah melarikan diri. "Kami kemari bukan untuk sembunyi, tapi untuk bertapa," katanya. Dengan dalih bersemadi itulah warga Desa Kedampal, Karangasem tak keberatan menyuplai makanan pada mereka kendati harus berjalan lima jam ke puncak Gunung Agung. Di tengah kabut bersuhu 12 derajat Celsius itu, Arta yang mengaku anak "Betara Indra" dan punya nama kebesaran Betara Maha Agung Dalem Maha Wiyasa Indrapati Awatara Kalki Wahana itu dibekuk tanpa perlawanan. Hingga Jumat pekan lalu, telah 31 tersangka diselkan di Polres Gianyar. Arta, si sulung dari sembilan bersaudara anak Wayan Rana - pensiunan sopir militer. Sejak kecil ia suka belajar kebatinan dan meditasi. Sering membaca kitab lontar, empat tahun lalu ia membuka pondok perdukunan. Pengikutnya puluhan orang. Berita tertangkapnya Arta sangat menarik warga untuk melongok ke Polres Gianyar. Tapi pria gemuk, kepala botak, dan berjenggot jarang itu disembunyikan polisi. Kendati sedang diperiksa, Arta dianggap otak penyerbuan. Bahkan, sebelum bertindak, ia mengumpulkan anak buahnya untuk diberi air suci untuk menyihir. Dalam penyerbuan itu, disebut sebagai pengaturnya adalah Sersan Dua Putu Ardana. Dan sebelum semua jelas, ia ditemukan tewas bunuh diri di selnya, di Detasemen Zeni Tempur Gianyar, Kamis dua pekan silam (TEMPO, 30 April 1994). Keluarganya juga yakin Ardana bunuh diri. Lidahnya menjulur kendati jeratan tali tak ditemukan. Sebab itu, jenazahnya tak di-aben karena nyalah pati, meninggal secara tidak wajar. Namun, sebelum tewas, jejaka berusia 31 tahun ini, konon, menulis surat berisi kisah "Betara Kalki". Ketika hal ini ditanyakan pada keluarganya, mereka tak tahu-menahu. Tentang kematiannya yang tanpa divisum itu? "Saya pasrah," kata ibunya, Ni Wayan Damuh. Walau demikian, ada bisik-bisik menganggap kematian Ardana tak wajar. Beberapa pelayat yang memandikan mayatnya mengatakan, di mulut korban ditemukan darah kering. Selain itu, menurut Ketut Merta, tetangga Ardana, kuku di jari tangannya utuh - membantah isu kukunya copot disiksa pemeriksanya. Sementara itu, sumber di Rumah Sakit Umum Sanglah meragukan korban mati bunuh diri. Di leher korban tak ada jejak. Sebab, orang yang gantung diri itu selalu meninggalkan tanda. "Bekasnya bisa dilihat dengan mata orang awam, seperti kulit yang baru selesai dikerok," katanya. Soal keraguan Ardana bunuh diri atau terbunuh dijawab sumber di Kodam Udayana. "Ia bunuh diri. Motifnya karena menyesal atas keterlibatannya dalam kasus Banjar Selat. Jadi, semacam harakiri seperti di Jepang," kata sumber tersebut. Ayah dan adiknya juga jadi tersangka. Ardana bunuh diri dengan seutas tali plastik jemuran dibenarkan sumber TEMPO yang lain. Itu dilakukannya, sebab ia tak tahan menderita: dipukuli dadanya, disuruh menelan kembali muntahannya, dan diancam disetrum. Karena merasa tidak terlibat, ia memilih gantung diri. Ardana mengaku disuruh memutuskan aliran listrik ke Banjar Selat, tapi ia keberatan. Kemudian, tugasnya itu diberikan pada orang lain. Ardana, anak sulung dari tujuh bersaudara. Tahun 1984 ia jadi anggota ABRI, dan terakhir bertugas di Zipur Gianyar. Soal hubungannya dengan Wayan Arta? "Tolong saya tidak diganggu. Saya tidak tahu apa-apa," kata Ni Wayan Damuh. Lain lagi menurut tetangganya. Keluarga Wayan Damuh, konon, dekat dengan Wayan Arta. "Kalau kemari, Wayan Damuh dan anak- anaknya menyembah kaki Betara Kalki," kata seorang tetangganya. Bahkan, sebelum peristiwa di Banjar Selat itu meledak, di depan pintu rumah Damuh terpampang tulisan besar: "Betara Kalki Awatara ke-10". Tetangga itu tak tahu maksud pemasangan tulisan tersebut. Tapi, setahunya, "Betara" itu tak lebih dari manusia biasa. "Betara jalan di tanah, dan kawin," katanya sembari tertawa. Putu Ardana disebut-sebut sebagai murid yang rajin mengabdi. "Ia paling sering belanja untuk keperluan Betara Kalki," kata pemilik warung di depan rumah dukun itu, di Banjar Selat. Selain Putu Ardana, ada pula Sersan Satu (polisi) Surinda yang diduga sebagai kaki tangan Kalki. Surinda dituduh menyembunyikan puluhan senjata tajam bekas menebas beberapa korban di Banjar Selat. Oleh Surinda, senjata itu dibuang di Tukad Sangsang, Bangli. "Surinda berusaha melenyapkan barang bukti," kata sumber di kepolisian. Belakangan, 17 senjata itu ditemukan. Tapi, Kapolres Gianyar, Letnan Kolonel Zainoorosyidin, membantah oknum polisi dari Polres Bangli terlibat. Katanya, malam itu Surinda tidak berada di rumah. Begitu ia menemukan tumpukan senjata tajam di depan kamar tidurnya, lalu dibuang. Mengapa ia tidak melapor ke pihak berwajib, mengingat senjata itu berbekas darah? "Waktu itu, ia agak terpengaruh, dan di bawah tekanan," kata Kapolres. Tekanan, dan siapa yang menekan Surinda? Untuk menemukan jawabannya yang pasti, kini Wayan Arta dan beberapa pengikutnya sedang diperiksa intensif. WY, Kelik M. Nugraha, dan Putu Wirata (Bali)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini