Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Medan - Majelis hakim Pengadilan Negeri Simalungun menyatakan Ketua Komunitas Adat Dolok Parmonangan Sorbatua Siallagan bersalah telah menduduki kawasan hutan dan membakar hutan negara yang diklaim konsesinya PT Toba Pulp Lestari atau PT TPL. Sorbatua divonis dua tahun bui, denda Rp 1 miliar, subsider enam bulan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Persidangan diiringi ritual adat, tabur bunga, dan orasi dari Aliansi Gerak Tutup TPL di depan gedung pengadilan. Ada juga papan bunga bertuliskan: turut berduka cita atas matinya keadilan di negara ini dan terima kasih kepada hakim atas nilai keadilan untuk masyarakat adat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sorbatua didakwa menduduki kawasan hutan dan membakar hutan negara. Melalui nota pembelaannya, Sorbatua membantah. Menurutnya, tanah itu merupakan wilayah adat Ompu Umbak Siallagan yang sudah dikuasai dan diusahai 11 generasi. Tim Advokasi Masyarakat Adat Nusantara (TAMAN) sebagai kuasa hukum tidak menerima putusan tersebut.
Salah satu tim advokasi, Nurleli Sihotang, mengapresiasi hakim Agung Corry Laia yang melakukan perbedaan pendapat atau disenting opinion bahwa Sorbatua harusnya bebas. Alasannya, perkara ini masalah sengketa lahan yang secara administrasi harus diselesaikan dulu konfliknya. "Perjuangan ini masih panjang..." kata Nurleli, Kamis, 14 Agustus 2024.
Jerni Elisa Siallagan, putri Sorbatua, merasa kecewa dengan putusan hakim. Menurutnya, ini kelalaian negara yang belum mengesahkan kebijakan agar mengakui dan melindungi hak masyarakat adat. "Bapakku dikriminalisasi, kami keluarga akan tetap melawan," ujarnya.
Pada 2019, Sorbatua dan beberapa komunitas masyarakat adat pernah bertemu langsung Menteri KLHK Siti Nurbaya Bakar. Saat itu, Siti mengeluarkan surat keputusan tentang penyelesaian konflik antara masyarakat adat dan PT TPL. Namun, sampai hari ini belum juga dilaksanakan. Sorbatua dan keturunan Ompu Umbak Siallagan akan terus mempertahankan wilayah adatnya dari rampasan PT TPL.
Lagi-lagi Kriminalisasi
Aliansi Gerak Tutup TPL dalam orasinya menyebut polisi melakukan kriminalisasi kepada masyarakat adat. Selain Sorbatua, pada 22 Juli 2024, lima warga yaitu Thomson Ambarita, Jonny Ambarita, Giofani Ambarita, Parando Tamba dan Dosmar Ambarita pun merasakan hal yang sama.
Kepala Seksi Pidana Umum Kejaksaan Negeri Simalungun yang juga Jaksa Penuntut Umum (JPU) kasus Sorbatua, Yoyok Adi Syahputra menjawab, persidangan sesuai KUHAP dan pembebasan Sorbatua berada di tangan hakim. Dia menuntut Sorbatua dengan empat tahun penjara, denda Rp 1 miliar atau menjalani enam bulan penjara.
TAMAN menyatakan Undang-Undang Cipta Kerja yang menjadi bahan dakwaan sudah dicabut dan tidak berlaku lagi. Tim kuasa hukum pun mendaftarkan gugatan pra peradilan terkait sah atau tidaknya penangkapan lima masyarakat adat ke PN Simalungun.
"Mereka diculik, ditendang, dipukuli bahkan disetrum saat penangkapan. Ini tidak sesuai prosedur penangkapan seseorang, tidak ada surat penangkapan dan dilakukan dini hari. Kami ingin ini ditindaklanjuti agar tak ada lagi narasi masyarakat adat diculik. Negara sangat abai akan hal ini," ujar Nurleli.
Ketua adat keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita Sihaporas Mangitua Ambarita mengaku komunitasnya sering mendapat kriminalisasi dari aparat kepolisian. Pada 2019, Thomson dan Jonny Ambarita dikriminalisasi. Bahkan, anaknya sendiri menjadi korban. Menurutnya, perlakuan ini harus ditindaklanjuti karena masyarakat adat bukan penggarap. "Kami sudah ada sebelum negara merdeka," kata Mangitua.
Sorbatua mengatakan ditangkap orang tidak dikenal dengan pakaian biasa dari jalan raya. Sedih dan bingung karena meninggalkan istrinya sendirian sambil menangis. Dia merasa tidak menduduki lahan siapa pun. Setahunya, tanah yang diusahainya milik Ompu Umbak Siallagan. Mei lalu, harusnya dilakukan ritual adat Manganjab.
"Tidak kami lakukan karena saya di penjara. Padahal saya tidak pernah melakukan kejahatan dan tindakan kriminal," ucap Sorbatua.
Hendra Sinurat, tim kuasa hukum dari TAMAN menyampaikan, tuntutan jaksa tidak dapat diterima karena aturan yang digunakan tidak memiliki kekuatan mengikat sehingga bertentangan dengan asas legalitas. Fakta persidangan juga tidak menemukan bukti yang jelas dan menyakinkan.
"Fakta-fakta persidangan tidak ditemukan bukti bahwa Sorbatua membakar hutan dan menduduki kawasan hutan. Dia tidak menduduki kawasan siapa pun, sehari-hari mengusahai wilayah adatnya sendiri," katanya.
Proses hukum yang dilakukan, lanjut Hendra, juga terkesan dipaksakan dan melanggar hak asasi. Upaya membungkam terdakwa selaku pemangku masyarakat adat, diduga merupakan tindakan kriminalisasi yang dilakukan negara.
Sorbatua ditangkap delapan orang tak dikenal saat membeli pupuk bersama istrinya dari jalan raya pada 22 Maret 2024. Tidak ada surat penangkapan yang diberikan, istrinya ditinggalkan sendiri dengan mobil dan pupuk.