TOKO Kurnia di ujung Jalan Embong Malang, Surabaya, menjelang tutup ketika Nyonya Herpariningdiyah, 33 tahun, keluar dari situ, setelah membeli benang kristik. Waktu menunjukkan pukul 12.20 ketika Her menuju ke kendaraannya, minibus Suzuki Carry warna putih. Di mobil, suaminya, Nurdayadi (39 tahun), menunggu bersama ketiga anak mereka. Nur di belakang kemudi, Anofan (11 tahun) di sampingnya, Alin (8 tahun) di jok belakang dan si bungsu Sabrina atau Nia (4 tahun) di bagian tengah mobil. Ketika tangan Her membuka pintu bagian tengah, tempat Nia duduk, tiba-tiba seorang lelaki berwajah angker mendorong tubuh wanita itu. Tamu tak diundang itu memaksa masuk mobil dengan ancaman pisau pemotong daging sepanjang 30 sentimeter. Her terkesiap ketika orang bertubuh kekar itu menyergap Nia dengan tangan kirinya. Kepala Nia diapitnya erat-erat, dan pisaunya mendarat di leher bocah kelas nol kecil itu. Dengan nada membentak, lelaki itu -- belakangan diketahui bernama Siregar -- memerintahkan Nur menjalankan mobil. Tetapi Nur tak peduli. Nekat, ia melompat ke bagian tengah mobil, berusaha membebaskan si cilik. Baku hantam terjadi. Ibu Nia pun cekatan. ADoteker itu melompat ke bagian muka, menarik tangan Anofan keluar mobil. Sementara Alin menghambur lewat pintu belakang. Sayangnya, Nur gagal menyelamatkan Nia. Kakinya ditarik oleh dua orang komplotan Siregar. Ia terjatuh, tapi Her dan kedua anaknya sempat berteriak minta tolong. Ketika massa mulai berdatangan, kawanan itu kabur meninggalkan Siregar. Tak sampai setengah jam, wilayah di sekitar itu mendadak padat oleh kerumunan manusia. Antrean mobil dari arah Tunjungan Plaza menumpuk sepanjang 500 meter. Polisi dari seluruh resort Surabaya turun ke tempat kejadian, termasuk Wakapolda Ja-Tim Brigjen. Indarmawan. Tapi tak ada yang bisa menolong balita yang pintar menyanyi itu. "Jangan bunuh Nia, Oom, jangan bunuh Nia, Oom," pinta Nia dengan suara lirih. Ia tak menjerit. Hanya air mata berlelehan di wajahnya yang ketakutan. Polisi mencoba mendekati minibus itu. Tapi, sreet. Siregar membalasnya dengan sayatan pisau ke telunjuk kiri Nia. Anak itu menjerit lirih. Bajingan itu malah mempertontonkan jari mungil Nia yang mengucurkan darah. "Akan saya bunuh anak ini," teriak Siregar. Menurut catatan harian Jawa Pos, pukul 13.25 Siregar menyampaikan tuntutan bagi pembebasan sandera: kendaraan taksi untuk mengantarnya ke pelabuhan Tanjungperak, uang Rp 500.000, dan jaminan keselamatan sampai ke tujuan. Keadaan Nia makin mengkhawatirkan. Jari manis dan tengahnya disayat lagi, menyusul jemari tangan kanan. Jok berwarna cokelat telah bercampur darah Nia. Juga kaca mobil. Rambutnya yang tipis dijambak bangsat berambut keriting itu. Sekali lagi polisi mencoba menyelamatkan anak balita itu. Kali ini petugas mencoba merangkak. Sayang, ketahuan. Amarah Siregar meledak. Bajingan itu keluar dari mobil menjinjing tubuh Nia dalam keadaan terbalik. Sebelah tangannya mencengkeram kedua kaki anak malang itu -- sehingga kepala Nia terjuntai ke jalanan beraspal -- sementara tangannya yang lain menghunuskan pisau ke leher Nia. Para wanita di antara kerumunan massa tak tahan melihat adegan itu. Sebagian menutup muka. Yang lain menjerit. Tapi bocah empat tahun itu masih sempat memohon. "Jangan bunuh, Oom, jangaaan." Polisi, yang semula berniat menembak pelaku, mengurungkan niatnya karena khawatir keselamatan anak itu. Akhirnya taktik diubah. Polisi berpakaian dinas diperintahkan minggir. Diganti tiga petugas berpakaian preman serta dua orang perunding, Basri Oesman --seorang sukarelawan -- dan Lettu. Sofyan yang bisa berlogat Batak. Basri dengan gagah berani memasuki arena perundingan. Ia masuk ke dalam mobil dan duduk di kursi pengemudi. Siregar mengamuk. Nia dilempar ke atas jok. "Mundur kau, atau aku bunuh anak ini," hardiknya. Tapi Basri kalem. "Nama aku Lubis. Aku zuga dari Medan. Soal kau mau bunuh anak itu, itu urusan kau. Tapi kau jangan bikin malu orang Medan," tutur Basri, yang sungguh aslinya Makassar. Setelah yakin Basri bukan polisi, Siregar melunak. Basri melanjutkan, "Kau punya anak?" Siregar mengangguk. "Kalau anak kau dijungkir dan ditodong pisau begitu, bagaimana. Macam mana kau ini?" ujar Basri. Siregar pun bertekuk lutut. Pipi kanan Nia diciumnya. Ia juga minta minum. Ketika sebotol air putih disodorkan kepadanya, minuman itu diberikannya kepada Nia. Dengan sisa air itu, ia juga menyeka wajah Nia, yang belepotan keringat dan darah. Setelah itu, Siregar memohon. "Aku mau pulang dan tak punya uang. Aku butuh uang Rp 500.000," katanya. Permintaan disanggupi. Sebuah taksi disiapkan. Jaraknya dua meter dari Carry tersebut -- sesuai dengan permintaan Siregar. Pukul 14.50, Siregar turun sambil membopong Nia dan tetap menghunus pisaunya. Tapi polisi lebih cerdik. Begitu kaki bandit itu menginjak tanah, Sertu. Sigit menghajar bahu kanan Siregar, disambung terkaman Sertu. Agus Soekamto ke tangan Siregar yang menghunus pisau. Nahas, pisau berbalik dan menusuk dada Siregar sendiri. Basri menambah dengan jurus terakhir: menjegal kakinya. Ketika itulah Koptu. Hartono berhasil merenggutkan Nia dari cengkeraman Siregar. Massa bertepuk tangan dan rebutan menyalami para pahlawan itu. Sebagian tak bisa menahan emosi, mencoba mengeroyok Siregar. Tapi lelaki itu segera diamankan dan dibawa ke Rumah Sakit dr. Soetomo karena dadanya robek kena pisaunya sendiri. Ketika wartawan TEMPO mengunjungi Nia di rumah kakeknya, anak itu tampak sedang menonton film kartun di televisi, dalam gendongan ibunya. Kedua tangannya terbalut. Dia, yang biasa lincah, kini lebih banyak diam. Wajahnya belum lagi bersinar. Drama berdarah itu telah berakhir. Tapi sebuah kenangan pahit mungkin akan lama berbekas pada anak itu. Bagai mimpi buruk. Bunga Surawidjaja dan Biro Surabaya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini