Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Sebuah pohon yang produktif

Dosen pengantar ekonomi feui nathanael iskandar, seorang ekonom yang mampu menangani masalah demografi. kemampuannya menarik perhatian kalangan dalam dan luar negeri. ia guru menghasilkan buah yang baik.

7 April 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

(In Memoriam Prof. Dr. Nathanael Iskandar) WAKTU itu saya barer duduk di Tingkat II Fakultas Ekonomi: Universitas Indonesia. Salahsatu matakuliah yang diikuti. yang kata banyak "veteran" sama sulitnya dengan anatomi di Fakultas 'Kedokteran, adalah Pengantar Teori Ekonomi. Kuliah berjalan lancar tanpa banyak selingan. Serius dari ujung ke ujung. Diagram demi diagram berlewatan di papan bestir di muka aula yang penuh dengan ratusan mahasiswa FEUI. Untuk sekitar satu setengah jam dosen yang berambut putih dan berkaca mata dengan pakaian rapih yang, biasa-biasa saja dengan suara menawan berusaha untuk memikat perhatian para mahasiswa. Kuliah Pak Tan sedang berlangsung. Saya selalu duduk paling depan, dan bila ada giliran, saya pun mengajukan peranyaan. Ia, berusaha untuk menjawab. Dengan serius. Pak Tan memang tak pernah mennganggap remeh pertanyaan Mahasiswa. Sesudah kuliah tak jarang ia menyapa dan sambil berjalan kembali ke kantor menambah keterangan-keterangan yang dirasanya perlu. Begitulah, sesudah beberapa bulan: saya mulai menerima matakuliah yang kering ini. Seperti sang dosen, matakuliah yang tampak angker dari luar ini ternyata menyimpan banyak aspek kehidupan manusia yang menarik. Lama kemudian, sesudah saya sendiri jadi down, saya sadari bahwa guru ini sanggup menerangkan soal-soal yang kering karena kemampuannya, untuk `menghidupi" masalah yang bersangkutan. Ini, terjadi juga dengan masalah demografi, yang ditanganinya bertahun kemudian. Jarang ada ekonom, di mana pun, yang mau menangani masalah itu. "Masalah penduduk, meski pun merupakan masalah yang besar dalam pembangunan ekonomi, tapi sebagai cabang, ilmu ia tidak menarik. Terlampau besar persoalannya, terlampau panjang jangkauan waktu yang dirangkumnya, dan buat mereka yang tak mau repot cukup jadi akuntan, manajer, atau kepala jawatan - terlampau jauh dari masalah hari ke hari yang teknis. Melihat riwayat hidupnya, saya mulai menyadari betapa uniknya guru yang satu ini. Mulai dari pendidikan guru di zaman Belanda, lewat pengalaman mengajar di tingkatan SD, SMP dan SMA, dari satu kota ke kota lainnya, dan akhirnya jadi guru besar di perguruan tinggi. Bukan'karena senioritas, bukan karena politik, tapi atas dasar kemampuan, di bidangnya semata. Di lingkungan UI, paling tidak, ia unik, luar biasa. Dan lebih lagi, karena ia mencapai, itu semua dengan belajar sendiri. Baik demografinya, matematikanya, maupun statistiknya. Dan kentudian, dengan kemampuannya untuk menghidupkan masalah ini, almarhum, berhasil menarik perhatian kalangan lebih luas baik di lingkungan UI maupun perguruan tinggi lainnya di Indonesia: Kalangan internasional pun mendatangi lembaga yang dipimpinnya, baik untuk data maupun pengetahuan. Tawaran pada saya untuk mengambil profesi mengajar datang pertama kali dari beliau sesudah saya selesai dengan Tingkat II FEUI. Ia, bercerita panjang lebar tentang profesi yang dicintainya, tentang tantangan-tantangannya, tentang arti sumbangannya pada kemajuan masyarakat. Ia pun bercerita tentang Alfred Marshall, seorang ekonom Inggeris yang kenamaan, yang lewat pengaruhnya sebagai gurubesar pada akhir abad ke-19, menghasilkan sederetan ekonom, Inggeris yang kenamaan - Keynes, Robinson dan lain-lain. Murid-murid Marshall inilah yang mendobrak ilmu ekonomi dan menjadikannya seperti yang kita dapati dewasa ini: berpengaruh. jadi pusat perdebatan, dan membawa dunia modern ke berbagai kemajuan serta - ironisnya -- ketidakadilan, ketidak-seimbangan ekologis, dan materialisme yang vulgar. Tak pernah saya lupa akan situ ucapannya, waktu-itu: "Seorang guru yang baik haruslah seperti, sebuah potion yang baik yakni menghasilkan buah-buah yang kwalitas baik." Guru yang baik ini sekarang telah pergi, untuk selama-lamanya. Tapi, dengan keunikannya dan rasa kemanusiaannya yang, mendalam, ia telah meninggalkan satu tonggak di bidang ilmu ekonomi di Indonesia, yakni perhatian yang serius atas masalah kependudukan: Saya yakin, bidang ini tidak dipilihnya "as a matter of convenience." yang tak pernah dilakukannya: Tapi sebagai satu pilihan yang dipikirkannya secara serius, sesudah melihat dan menilai masalah Indonesia dalam-usaha pembangunannya. Ia memilih masalah yang besar, sulit, dan kadang-kadang tampak tak terpecahkan. Perhatian yang timbul di Indonesia dewasa ini yang tak pernah sebesar, seperti sebelumnya, menunjukkan bahwa sumbangan "pohon yang produktif" ini tak sia-sia. Semoga keyakinannya yang tak pernah goncang, bahwa masalah penduduk Indonesia akan bisa dihadapi, akan terpenuhi pada masa mendatang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus