(In Memoriam Prof. Dr. Nathanael Iskandar)
WAKTU itu saya barer duduk di Tingkat II Fakultas Ekonomi:
Universitas Indonesia. Salahsatu matakuliah yang diikuti. yang
kata banyak "veteran" sama sulitnya dengan anatomi di Fakultas
'Kedokteran, adalah Pengantar Teori Ekonomi.
Kuliah berjalan lancar tanpa banyak selingan. Serius dari ujung
ke ujung. Diagram demi diagram berlewatan di papan bestir di
muka aula yang penuh dengan ratusan mahasiswa FEUI. Untuk
sekitar satu setengah jam dosen yang berambut putih dan berkaca
mata dengan pakaian rapih yang, biasa-biasa saja dengan suara
menawan berusaha untuk memikat perhatian para mahasiswa. Kuliah
Pak Tan sedang berlangsung.
Saya selalu duduk paling depan, dan bila ada giliran, saya pun
mengajukan peranyaan. Ia, berusaha untuk menjawab. Dengan
serius. Pak Tan memang tak pernah mennganggap remeh pertanyaan
Mahasiswa. Sesudah kuliah tak jarang ia menyapa dan sambil
berjalan kembali ke kantor menambah keterangan-keterangan yang
dirasanya perlu.
Begitulah, sesudah beberapa bulan: saya mulai menerima
matakuliah yang kering ini. Seperti sang dosen, matakuliah yang
tampak angker dari luar ini ternyata menyimpan banyak aspek
kehidupan manusia yang menarik. Lama kemudian, sesudah saya
sendiri jadi down, saya sadari bahwa guru ini sanggup
menerangkan soal-soal yang kering karena kemampuannya, untuk
`menghidupi" masalah yang bersangkutan.
Ini, terjadi juga dengan masalah demografi, yang ditanganinya
bertahun kemudian. Jarang ada ekonom, di mana pun, yang mau
menangani masalah itu. "Masalah penduduk, meski pun merupakan
masalah yang besar dalam pembangunan ekonomi, tapi sebagai
cabang, ilmu ia tidak menarik. Terlampau besar persoalannya,
terlampau panjang jangkauan waktu yang dirangkumnya, dan buat
mereka yang tak mau repot cukup jadi akuntan, manajer, atau
kepala jawatan - terlampau jauh dari masalah hari ke hari yang
teknis.
Melihat riwayat hidupnya, saya mulai menyadari betapa uniknya
guru yang satu ini. Mulai dari pendidikan guru di zaman Belanda,
lewat pengalaman mengajar di tingkatan SD, SMP dan SMA, dari
satu kota ke kota lainnya, dan akhirnya jadi guru besar di
perguruan tinggi. Bukan'karena senioritas, bukan karena politik,
tapi atas dasar kemampuan, di bidangnya semata.
Di lingkungan UI, paling tidak, ia unik, luar biasa. Dan lebih
lagi, karena ia mencapai, itu semua dengan belajar sendiri. Baik
demografinya, matematikanya, maupun statistiknya.
Dan kentudian, dengan kemampuannya untuk menghidupkan masalah
ini, almarhum, berhasil menarik perhatian kalangan lebih luas
baik di lingkungan UI maupun perguruan tinggi lainnya di
Indonesia: Kalangan internasional pun mendatangi lembaga yang
dipimpinnya, baik untuk data maupun pengetahuan.
Tawaran pada saya untuk mengambil profesi mengajar datang
pertama kali dari beliau sesudah saya selesai dengan Tingkat II
FEUI. Ia, bercerita panjang lebar tentang profesi yang
dicintainya, tentang tantangan-tantangannya, tentang arti
sumbangannya pada kemajuan masyarakat. Ia pun bercerita tentang
Alfred Marshall, seorang ekonom Inggeris yang kenamaan, yang
lewat pengaruhnya sebagai gurubesar pada akhir abad ke-19,
menghasilkan sederetan ekonom, Inggeris yang kenamaan - Keynes,
Robinson dan lain-lain.
Murid-murid Marshall inilah yang mendobrak ilmu ekonomi dan
menjadikannya seperti yang kita dapati dewasa ini: berpengaruh.
jadi pusat perdebatan, dan membawa dunia modern ke berbagai
kemajuan serta - ironisnya -- ketidakadilan, ketidak-seimbangan
ekologis, dan materialisme yang vulgar.
Tak pernah saya lupa akan situ ucapannya, waktu-itu: "Seorang
guru yang baik haruslah seperti, sebuah potion yang baik yakni
menghasilkan buah-buah yang kwalitas baik."
Guru yang baik ini sekarang telah pergi, untuk selama-lamanya.
Tapi, dengan keunikannya dan rasa kemanusiaannya yang, mendalam,
ia telah meninggalkan satu tonggak di bidang ilmu ekonomi di
Indonesia, yakni perhatian yang serius atas masalah
kependudukan:
Saya yakin, bidang ini tidak dipilihnya "as a matter of
convenience." yang tak pernah dilakukannya: Tapi sebagai satu
pilihan yang dipikirkannya secara serius, sesudah melihat dan
menilai masalah Indonesia dalam-usaha pembangunannya.
Ia memilih masalah yang besar, sulit, dan kadang-kadang tampak
tak terpecahkan. Perhatian yang timbul di Indonesia dewasa ini
yang tak pernah sebesar, seperti sebelumnya, menunjukkan bahwa
sumbangan "pohon yang produktif" ini tak sia-sia.
Semoga keyakinannya yang tak pernah goncang, bahwa masalah
penduduk Indonesia akan bisa dihadapi, akan terpenuhi pada masa
mendatang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini