NYONYA Liem Djang Sing menggugat piutangnya kepada Nyonya Noor
Malia di Pengadilan Negeri Yogyakarta. Perkara itu saja memang
sederhana. Noor Malia mengakui ada berhutang Rp 14 juta.
Ruwetnya karena si penghutang merasa telah mellyerahkan barang
tanggungan, berupa emas berlian seharga Rp 11,5 juta, sebelum
menerima hutang dari Nyonya Liem. Tapi penggugat membantah
perihal barang tanggungan itu.
Berhubung bukti penyerahan barang tanggungan tak ada, maka hakim
minta agar tergugat melakukan sumpah. Sekedar sumpah pelengkap.
Artinya, walaupun Nyonya Noor telah berani disumpah, itu belum
berarti ia dapat dinilai benar tela}- menyerahkan sesuatu barang
tanggungan sebelum berhutang.
Upacara penyumpahan itulah yang agak menarik. Penggugat minta
agar tergugat 'bersumpah berat' yaitu sumpah pocong di masjid.
Bagi umumnya orang Solo atau Yogya, sumpah semacam itu tak aneh.
Yang ganjil ialah, jika penyumpahan itu - biasanya dilakukan
untuk memutuskan urusan di luar pengadilan - terbawa-bawa dalam
acara pengadilan.
Tergugat Noor Malia dibawa ke masjid Pakualaman akhir bulan
lalu. Setelah mandi, begitu salah satu syaratnya, ia dipocong:
diperlakukan seperti mayat lengkap dengan diselubungi kain
segala. Setelah dihadapkan ke kiblat, barulah ia bersumpah.
Dengan disaksikan oleh KH Abdul Affandi Pudjodiningrat, tergugat
mengikuti lafal sumpah yang dibacakan oleh hakim Sukartomo SH.
Kurang Bugil
JC Sudjami, kuasa penggugat Nyonya Liem, sebenarnya merasa masih
kurang lengkap dengan pelaksanl upacara sumpah begitu.
"Seharusnya sumpah dilakukan di masjidbeszr dan dipimpin oleh
seorang kyaidari Jombang - bukan oleh sembarang kyai saja." Lalu
lafal sumpalmya juga kurang afdol: tak mengandung sanksi. Sampai
soal mandinya si tersumpah pun belum dianggap cukup. Menurut dia
mestinya, "mandinya harus disaksikan - siapa tahu masih kurang
bersih," kata Sudjarni. Waktu dikafani pun, mustinya Nyonya Noor
tak boleh berpakaian lengkap seperti yang terjadi. Alias harus
benar-benar bugil.
Percaya atau tidak dengan mukjizat sumpah semacam itu, tergugat
sudah melaksanakan seperti apa yang diminta penggugat. Namun itu
belum berarti menyelesaikan urusan. Hakim tak tergantung
tusannya pada sumpah pelengkap begitu. Hakim baru akan
memutuskan perkara itu sekitar Desember mendatang.
Namun ada kejadian lain, di Sala tahun lalu (TEMPO, 11 Desember
1976) ketika hakim memperlakukan sumpah pocong untuk dasar
memutus perkara. Soalnya pembuktian lain memang tak ada.
Sumanto & Shinta
Adalah Sumanto yang digugat oleh mertuanya mengenai uang Rp 1
juta. Sumanto merasa, berani sumpah apa pun, tak pernah menerima
uang sekian itu dari ibu isterinya. Berani sumpah pocong?
Sumanto tak menolak. Sumpah dilakukan di masjid dan Sumanto
mengucapkan: "Bila saya bohong, saya akan menerima laknat dan
kutuk Tuhan. Bila saya benar, kutuk Tuhan akan jatuh pada diri
penggugat." Selesai, Tergugat pun menang.
Sumpah macam apa yang baik -- pocong di masjid atau potong ayam
di kelenteng? Entahlah. Karena bisa saja orang menganggap enteng
pengucapan sumpah di pengadilan sebagaimana lazimnya. Sanksinya
'kan di akherat nanti. Di samping itu kenyataannya memang,
sumpah di pengadilan tampak ala kadarnya dan jauh dari rasa
khusuk (atau menakutkan). Karenanya orang mencari jalan lain
yang dianggapnya lebih berwibawa. Dalam agama Islam memang tak
dikenal sumpah pocong. Konon sumpah begitu asli Jawa -- sudah
ada sejak zaman Mataram. Si pelanggar sumpah bisa kena kutuk:
sakit payah, lumpuh, gila atau mati. Siapa yang pernah dimakan
sumpah itu, tak pernah dikisahkan.......
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini