NAMANYA Mudi alias Jakfar bin Jaka. Menurut surat nikah sudah
berusia 21 tahun. Tapi tampang anak Kampung Tengah Jakarta Timur
ini, masih seperti bocah umur belasan tahun saja. Yang menarik,
anak muda ini bulan lalu telah membikin cerita unik hanya dalam
tempo dua jam saja, yaitu 21 September antara jam 16.00 s/d
18.00, ia menikahi 3 orang gadis.
Sore 21 September itu, keluarga Rasyim sibuk. Segenap famili dan
orang-orang Kampung Gedong, Kecamatan Pasar Rebo (Jakarta)
diundang Rasyim kenduri dan menyaksikan upacara akad nikah
puteri sulungnya, Sri Batini (18 tahun), dengan perjaka top dari
Kampung Tengah. Penghulu F. Wachid, Kepala KUA (Kantor Urusan
Agama) Pasar Rebo, didatangkan untuk memimpin upacara dengan
biaya Rp 20 ribu.
Tepat jam 16.00 segala sesuatunya berlangsung tanpa ada aral
melintang. Penghulu Wachid telah menikahkan pasangan muda-mudi
menurut tatacara agama Islam dan memenuhi Undang-Undang
Perkawinan. Mas kawinnya gelang emas berat 10 gram, seharga Rp
27.500, tapi masih dihutang oleh pengantin laki-laki. Uang
belanja pernikahan Rp 110 ribu telah dibayar tunai oleh keluarga
Jaka kepada besannya keluarga Rasyim.
Tak begitu jelas kapan malam pertama kedua mempelai Mudi dan
Batini ini. Sebab, belum lagi tamu bubaran, Mudi telah digiring
oleh rombongannya yang dipimpin oleh Namin, Ketua RT Kampung
Tengah, menuju rumah Noin.
Tukang Foto
Di rumah Noin, kira-kira 300 langkah dari rumah Rasyim yang
barusan mantu, juga lagi sibuk. Hayati (18 tahun), anak Noin,
telah siap menunggu pasangannya. Siapa mempelai prianya?
Ternyata si Mudi juga -- yang baru saja mengawini Batini.
Penghulu M. Zen Amin, pejabat KUA Kecamatan Kramatjati, telah
menyiapkan sebuah upacara. Hadirin menyaksikan ijab kabul dalam
upacara akad nikah sore itu. Mas kawinnya Rp 5000, dibayar
kontan oleh Mudi. Juga uang belanja pernikahan yang Rp 110 ribu.
Tak kurang-kurang juga petuah penghulu dijejalkan ke telinga
kedua mempelai.
Beres upacara di rumah Rasyim dan Noin, rombongan menuju rumah
Delan, yang cuma berjarak 200 langkah dari situ. Di sana
keluarga Delan sudah menyiapkan upacara pernikahan bagi anak
gadisnya, Romnah, yang juga berumur 18 tahun. Dalam upacara di
rumah Delan ini para hadirin juga menyaksikan apa-apa yang biasa
terjadi seperti lazimnya suatu akad nikah. Mudi bersanding
dengan Romnah di hadapan penghulu M. Zen Amin. Mas kawinnya uang
tunai Rp 2000. Hampir seluruh tamu melihat Mudi menukarkan
selembar uang ribuannya yang sobek sebelum membayar maskawinnya.
Belanja pernikahan Rp 50 ribu, juga ditunaikan saat itu juga.
Hebat juga si Mudi ini. Tapi mertua pertamanya, Rasyim, tak suka
akan kehebatan menantunya. Sebab ia rupanya tahu apa yang telah
dilakukan Mudi sesaat setelah menikahi anaknya. Rasyim 35 tahun,
tetap mengakui Mudi sebagai menantunya. Hanya, ia tak menyukai
Mudi menikahi kedua madu anaknya, selepas dari upacara di
rumahnya. Pagi-pagi ia sudah menyiapkan segala sesuatunya untuk
mengungkit-ungkit persoalan di kemudian hari. Tukang foto telah
dipersiapkan untuk memotret semua peristiwa di rumah Delan dan
Noin. Semacam press-release juga sudah dibikin untuk disebarkan
ke beberapa kantor surat kabar.
Rasyim pun faham sedikit peraturan perkawinan -- yang
dipergunakannya untuk pangkal persengketaan. Bukankah untuk
menikahi isteri kedua, ketiga dan seterusnya harus ada izin dari
isteri pertama? Surat pengaduan pun dilayangkan ke mana-mana ke
Pengadilan Agama, Kantor Wilayah Dep. Agama sampai ke Polisi
segala. Diminta agar instansi yang merasa berwenang turut
menyelesaikan persoalan menantu, anak dan madu-madunya
seadil-adilnya. Pokok persoalan hukumnya, katanya, anaknya si
Batini itu tak pernah memberi izin bagi suaminya, Mudi, untuk
menikahi Romnah dan Hayati.
Urusan tampaknya cukup kisruh. Kepala KUA Pasar Rebo, Wachid,
berani menjamin mempelai yang dinikahkannya di rumah Rasyim itu
sah adanya. Baik menurut tatacara agama maupun
perundang-undangan. Sebab segala syarat dan surat telah dipenuhi
sebagaimana mestinya. Juga, pernikahan Mudi dengan Batini, telah
tercatat di buku yang diperuntukkan untuk itu. "Kutipan akte
perkawinannya tinggal ambil saja di kantor," kata Wachid.
Bagaimana dengan pernikahan Mudi selanjutnya dengan Hayati dan
Romnah? Wachid geleng kepala. Ia tak tahu menahu.
Pejabat lain menjawab. Supriyadi Wakil Kepala KUA Kramatjati,
secara resmi memang tak mengetahui ada pernikahan Mudi dengan
Hayati maupun Romnah terjadi di wilayahnya. Sebab, begitu
kenyataannya, memang tak secuwil suratpun yang menyatakan hal
itu. Hanya, setelah melakukan penelitian, Supriyadi
berkesimpulan: diam-diam memang telah terjadi pernikahan yang
menghebohkan itu. Dua upacara akad nikah yang dipimpin oleh
penghulu M. Zen Amin, dinilai oleh Supriyadi, sah menurut hukum
agama Islam. Cuma tak sah menurut perundang-undangan negara.
Hanya Uang Pernikahan
Sedangkan M. Zen Amin, penghulu yang menikahkan Mudi dengan
isteri kedua dan ketiganya itu, tidak mengakui telah berbuat
begitu. Yang dilakukannya, katanya, hanya hadir dalam acara
penyerahan uang belanja pernikahan saja. Tak lebih dari itu.
Soal 'hanya menyerahkan uang pernikahan' begitu juga diakui oleh
Jaka, ayah Mudi, seperti yang ia nyatakan kepada TEMPO di
rumahnya di Kampung Tengah. Jaka menyangkal jika Mudi, anak
ketiga dari kesepuluh anak-anaknya, telah menikah tiga kali
dalam tempo dua jam. "Mudi hanya menikah sekali saja, yaitu
dengan anak Rasyim," kata Jaka. Upacara selebihnya, di rumah
Delan dan Noin, katanya "hanya upacara penyerahan belanja nikah
saja."
Sebenarnya, menurut cerita Jaka, anaknya hendak dinikahkan
dengan Hayati dan Romnah. Sri Batini sendiri yang kemudian
muncul dan tinggal di rumah Mudi antara 26 Agustus s/d 6
September, pernah menyatakan kesediaannya dimadu dengan Hayati
dan Romnah. Kesediaan Batini tersebut, kata Jaka, disaksikan
baik oleh Ketua RT maupun RW dan beberapa famili. Berdasarkan
kesediaan Batini sendiri itulah, katanya, Jaka telah minta
bantuan pak RT untuk membereskan persoalan Mudi dengan ketiga
gadisnya.
Mudi sendiri, pedagang dan petani muda ini, merasa berat untuk
melepaskan salah satu dari ketiga isterinya. "Soalnya
tiga-tiganya sendiri yang datang ke rumah minta dinikahi," kata
Mudi polos. Hanya siang hari ia berani mengunjungi isterinya,
Batini, yaitu ketika mertuanya tengah pergi menjaga kantin PAM
DKI di Jalan Panjaitan (Jakarta).
Lalu Romnah
Mudi juga mencintai isteri keduanya. Hayati dipacarinya lebih
lama dari Batini. Mereka sudah lama hendak menikah dengan restu
orang tua kedua belah pihak. Hanya, bulan puasa lalu, mendadak
muncul Romnah di sisi Mudi. Dengan sedikit 'ngebut' Romnah
berhasil pula mengikat janji Mudi untuk menikahinya kelak.
Belakangan Hayati memang datang menuntut janji setelah Mudi
lebih dulu dituntut oleh Batini. Dengan malu-malu, Hayati
menyatakan kesediaannya menjadi isteri Mudi yang kedua, setelah
Batini.
Begitulah keadaan, sambil menunggu keputusan yang berwajib.
Penilaian dan keputusan Pengadilan Agama-lah yang ditunggu Mudi
beserta isteri-isterinya. Namun Ketua Pengadilan Agama Jakarta
Timur, Asmui Kasim Lubis, hingga kini belum menerima pengaduan
dari pihak mana pun sehubungan dengan perkara Mudi. Tapi secara
umum Asmui Kasim Lubis berpendapat, bagaimanapun pelaksanaan
hukum perkawinan menurut agama Islam tak dapat dipisahkan dari
Undang-Undang Perkawinan yang berlaku. Sebab: "Undang-Undang
Perkawinan tidak bertentangan dengan hukum Islam." Sehingga,
andaikata kasus Mudi ini jatuh ke tangan pengadilan, tak lain
Kasim Lubis pun akan mempertimbangkan keabsahan pernikahan yang
dilaksanakan oleh penghulu Zen Amin, atas Mudi dengan Hayati
maupun Romnah, atas dasar agama dan perundang-undangan negara
yang berlaku.
Soal bagaimana bisa terjadi ketidakberesan pelaksanaan
pernikahan, misalnya yang menyangkut kewenangan penghulu atau
pejabat pencatat nikahnya, tentu seperti kata Kasim Lubis "itu
kemudian dapat ditangani oleh kejaksaan." Ancaman pidananya pun
jelas. Untuk penghulu atau pejabat pencatat nikah yang
salah-salah bekerja dapat dituntut melakukan pelanggaran hukum
dengan ancaman denda setinggi-tingginya Rp 7.500 dan kurungan
selama-lamanya 3 bulan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini