Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Dua jam tiga cinta

Mudi, 21, mula-mula dinikahkan dengan sri batini, 18. selesai upacara, ia dinikahkan dengan hayati, 18, lalu dengan romnah, 18, di tempat-tempat yang berbeda. mertua pertama tak senang dengan ulah mudi, mengadukan ke pengadilan.(hk)

21 Oktober 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NAMANYA Mudi alias Jakfar bin Jaka. Menurut surat nikah sudah berusia 21 tahun. Tapi tampang anak Kampung Tengah Jakarta Timur ini, masih seperti bocah umur belasan tahun saja. Yang menarik, anak muda ini bulan lalu telah membikin cerita unik hanya dalam tempo dua jam saja, yaitu 21 September antara jam 16.00 s/d 18.00, ia menikahi 3 orang gadis. Sore 21 September itu, keluarga Rasyim sibuk. Segenap famili dan orang-orang Kampung Gedong, Kecamatan Pasar Rebo (Jakarta) diundang Rasyim kenduri dan menyaksikan upacara akad nikah puteri sulungnya, Sri Batini (18 tahun), dengan perjaka top dari Kampung Tengah. Penghulu F. Wachid, Kepala KUA (Kantor Urusan Agama) Pasar Rebo, didatangkan untuk memimpin upacara dengan biaya Rp 20 ribu. Tepat jam 16.00 segala sesuatunya berlangsung tanpa ada aral melintang. Penghulu Wachid telah menikahkan pasangan muda-mudi menurut tatacara agama Islam dan memenuhi Undang-Undang Perkawinan. Mas kawinnya gelang emas berat 10 gram, seharga Rp 27.500, tapi masih dihutang oleh pengantin laki-laki. Uang belanja pernikahan Rp 110 ribu telah dibayar tunai oleh keluarga Jaka kepada besannya keluarga Rasyim. Tak begitu jelas kapan malam pertama kedua mempelai Mudi dan Batini ini. Sebab, belum lagi tamu bubaran, Mudi telah digiring oleh rombongannya yang dipimpin oleh Namin, Ketua RT Kampung Tengah, menuju rumah Noin. Tukang Foto Di rumah Noin, kira-kira 300 langkah dari rumah Rasyim yang barusan mantu, juga lagi sibuk. Hayati (18 tahun), anak Noin, telah siap menunggu pasangannya. Siapa mempelai prianya? Ternyata si Mudi juga -- yang baru saja mengawini Batini. Penghulu M. Zen Amin, pejabat KUA Kecamatan Kramatjati, telah menyiapkan sebuah upacara. Hadirin menyaksikan ijab kabul dalam upacara akad nikah sore itu. Mas kawinnya Rp 5000, dibayar kontan oleh Mudi. Juga uang belanja pernikahan yang Rp 110 ribu. Tak kurang-kurang juga petuah penghulu dijejalkan ke telinga kedua mempelai. Beres upacara di rumah Rasyim dan Noin, rombongan menuju rumah Delan, yang cuma berjarak 200 langkah dari situ. Di sana keluarga Delan sudah menyiapkan upacara pernikahan bagi anak gadisnya, Romnah, yang juga berumur 18 tahun. Dalam upacara di rumah Delan ini para hadirin juga menyaksikan apa-apa yang biasa terjadi seperti lazimnya suatu akad nikah. Mudi bersanding dengan Romnah di hadapan penghulu M. Zen Amin. Mas kawinnya uang tunai Rp 2000. Hampir seluruh tamu melihat Mudi menukarkan selembar uang ribuannya yang sobek sebelum membayar maskawinnya. Belanja pernikahan Rp 50 ribu, juga ditunaikan saat itu juga. Hebat juga si Mudi ini. Tapi mertua pertamanya, Rasyim, tak suka akan kehebatan menantunya. Sebab ia rupanya tahu apa yang telah dilakukan Mudi sesaat setelah menikahi anaknya. Rasyim 35 tahun, tetap mengakui Mudi sebagai menantunya. Hanya, ia tak menyukai Mudi menikahi kedua madu anaknya, selepas dari upacara di rumahnya. Pagi-pagi ia sudah menyiapkan segala sesuatunya untuk mengungkit-ungkit persoalan di kemudian hari. Tukang foto telah dipersiapkan untuk memotret semua peristiwa di rumah Delan dan Noin. Semacam press-release juga sudah dibikin untuk disebarkan ke beberapa kantor surat kabar. Rasyim pun faham sedikit peraturan perkawinan -- yang dipergunakannya untuk pangkal persengketaan. Bukankah untuk menikahi isteri kedua, ketiga dan seterusnya harus ada izin dari isteri pertama? Surat pengaduan pun dilayangkan ke mana-mana ke Pengadilan Agama, Kantor Wilayah Dep. Agama sampai ke Polisi segala. Diminta agar instansi yang merasa berwenang turut menyelesaikan persoalan menantu, anak dan madu-madunya seadil-adilnya. Pokok persoalan hukumnya, katanya, anaknya si Batini itu tak pernah memberi izin bagi suaminya, Mudi, untuk menikahi Romnah dan Hayati. Urusan tampaknya cukup kisruh. Kepala KUA Pasar Rebo, Wachid, berani menjamin mempelai yang dinikahkannya di rumah Rasyim itu sah adanya. Baik menurut tatacara agama maupun perundang-undangan. Sebab segala syarat dan surat telah dipenuhi sebagaimana mestinya. Juga, pernikahan Mudi dengan Batini, telah tercatat di buku yang diperuntukkan untuk itu. "Kutipan akte perkawinannya tinggal ambil saja di kantor," kata Wachid. Bagaimana dengan pernikahan Mudi selanjutnya dengan Hayati dan Romnah? Wachid geleng kepala. Ia tak tahu menahu. Pejabat lain menjawab. Supriyadi Wakil Kepala KUA Kramatjati, secara resmi memang tak mengetahui ada pernikahan Mudi dengan Hayati maupun Romnah terjadi di wilayahnya. Sebab, begitu kenyataannya, memang tak secuwil suratpun yang menyatakan hal itu. Hanya, setelah melakukan penelitian, Supriyadi berkesimpulan: diam-diam memang telah terjadi pernikahan yang menghebohkan itu. Dua upacara akad nikah yang dipimpin oleh penghulu M. Zen Amin, dinilai oleh Supriyadi, sah menurut hukum agama Islam. Cuma tak sah menurut perundang-undangan negara. Hanya Uang Pernikahan Sedangkan M. Zen Amin, penghulu yang menikahkan Mudi dengan isteri kedua dan ketiganya itu, tidak mengakui telah berbuat begitu. Yang dilakukannya, katanya, hanya hadir dalam acara penyerahan uang belanja pernikahan saja. Tak lebih dari itu. Soal 'hanya menyerahkan uang pernikahan' begitu juga diakui oleh Jaka, ayah Mudi, seperti yang ia nyatakan kepada TEMPO di rumahnya di Kampung Tengah. Jaka menyangkal jika Mudi, anak ketiga dari kesepuluh anak-anaknya, telah menikah tiga kali dalam tempo dua jam. "Mudi hanya menikah sekali saja, yaitu dengan anak Rasyim," kata Jaka. Upacara selebihnya, di rumah Delan dan Noin, katanya "hanya upacara penyerahan belanja nikah saja." Sebenarnya, menurut cerita Jaka, anaknya hendak dinikahkan dengan Hayati dan Romnah. Sri Batini sendiri yang kemudian muncul dan tinggal di rumah Mudi antara 26 Agustus s/d 6 September, pernah menyatakan kesediaannya dimadu dengan Hayati dan Romnah. Kesediaan Batini tersebut, kata Jaka, disaksikan baik oleh Ketua RT maupun RW dan beberapa famili. Berdasarkan kesediaan Batini sendiri itulah, katanya, Jaka telah minta bantuan pak RT untuk membereskan persoalan Mudi dengan ketiga gadisnya. Mudi sendiri, pedagang dan petani muda ini, merasa berat untuk melepaskan salah satu dari ketiga isterinya. "Soalnya tiga-tiganya sendiri yang datang ke rumah minta dinikahi," kata Mudi polos. Hanya siang hari ia berani mengunjungi isterinya, Batini, yaitu ketika mertuanya tengah pergi menjaga kantin PAM DKI di Jalan Panjaitan (Jakarta). Lalu Romnah Mudi juga mencintai isteri keduanya. Hayati dipacarinya lebih lama dari Batini. Mereka sudah lama hendak menikah dengan restu orang tua kedua belah pihak. Hanya, bulan puasa lalu, mendadak muncul Romnah di sisi Mudi. Dengan sedikit 'ngebut' Romnah berhasil pula mengikat janji Mudi untuk menikahinya kelak. Belakangan Hayati memang datang menuntut janji setelah Mudi lebih dulu dituntut oleh Batini. Dengan malu-malu, Hayati menyatakan kesediaannya menjadi isteri Mudi yang kedua, setelah Batini. Begitulah keadaan, sambil menunggu keputusan yang berwajib. Penilaian dan keputusan Pengadilan Agama-lah yang ditunggu Mudi beserta isteri-isterinya. Namun Ketua Pengadilan Agama Jakarta Timur, Asmui Kasim Lubis, hingga kini belum menerima pengaduan dari pihak mana pun sehubungan dengan perkara Mudi. Tapi secara umum Asmui Kasim Lubis berpendapat, bagaimanapun pelaksanaan hukum perkawinan menurut agama Islam tak dapat dipisahkan dari Undang-Undang Perkawinan yang berlaku. Sebab: "Undang-Undang Perkawinan tidak bertentangan dengan hukum Islam." Sehingga, andaikata kasus Mudi ini jatuh ke tangan pengadilan, tak lain Kasim Lubis pun akan mempertimbangkan keabsahan pernikahan yang dilaksanakan oleh penghulu Zen Amin, atas Mudi dengan Hayati maupun Romnah, atas dasar agama dan perundang-undangan negara yang berlaku. Soal bagaimana bisa terjadi ketidakberesan pelaksanaan pernikahan, misalnya yang menyangkut kewenangan penghulu atau pejabat pencatat nikahnya, tentu seperti kata Kasim Lubis "itu kemudian dapat ditangani oleh kejaksaan." Ancaman pidananya pun jelas. Untuk penghulu atau pejabat pencatat nikah yang salah-salah bekerja dapat dituntut melakukan pelanggaran hukum dengan ancaman denda setinggi-tingginya Rp 7.500 dan kurungan selama-lamanya 3 bulan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus