Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Sepekan menjelang purna tugas dari jabatan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Alexander Marwata mulai merapikan ruang kerja yang dia tempati sembilan tahun terakhir. Wakil Pimpinan KPK dua periode itu menyatakan tak banyak barang-barang pribadinya yang harus dibawa pulang ke rumah. “Ketika pimpinan baru sudah mulai aktif dan menggunakan ruang kerja saya, ruangannya sudah bersih,” ujar Alex kepada Tempo, 14 Desember 2024.
Tak hanya membereskan barang, Alex bersama Ketua KPK sementara Nawawi Pomolango, serta dua wakil lainnya yakni Johanis Tanak dan Nurul Ghufron menggelar konsolidasi dengan para staf. “Saya bilang, hentikanlah segala bentuk polemik itu karena kita enggak mungkin bisa mengganti mereka. Saya berharap mereka yang nanti mengawal pimpinan baru,” ucapnya.
Masa tugas Alexander Marwata bersama tiga koleganya yakni Nawawi Pomolango, Nurul Ghufron, dan Johanis Tanak sebagai pimpinan KPK periode 2019-2024 berakhir per 20 Desember 2024. Mereka akan digantikan lima pimpinan yang baru dilantik Presiden Prabowo Subianto pada Senin, 16 Desember lalu yakni Setyo Budiyanto, Fitroh Rohcayanto, Agus Joko Pramono, Ibnu Basuki Widodo, dan Johanis Tanah yang terpilih kembali. Setyo yang merupakan pensiunan komisaris jenderal polisi itu didapuk Komisi III DPR menjadi Ketua KPK. Sisanya menjabat wakil ketua.
Alex mengakui selama lima tahun terakhir pegawai KPK tak lagi vokal sebagaimana mestinya dulu. “Baru akhir-akhir ini ada yang kirim email internal menyatakan keprihatinan atas kekalahan KPK di beberapa kasus,” ujar Alex. KPK memang belakangan ini kalah praperadilan atas penetapan tersangka Gubernur Kalimantan Selatan Sahbirin Noor. KPK juga kalah praperadilan dari mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Eddy Hiariej serta kekalahan-kekalahan lainnya. “Aku bilang, ini sudah terlambat kalian, kenapa baru sekarang?” ujar Alex.
Alexander Marwata sepatutnya mengingat para pegawai KPK selama lima tahun terakhir tidak berani bersuara lantang sebagaimana mestinya untuk mekanisme kontrol lembaga antikorupsi itu karena kebijakan pimpinan. KPK berubah drastis saat dinakhodai mantan Kepala Badan Pemeliharaan dan Keamanan Polri Komisaris Jenderal (purn) Firli Bahuri dengan empat wakilnya yakni Alexander Marwata, Nawawi Pomolango, Lili Pintauli Siregar, dan Nurul Ghufron yang dilantik Presiden Joko Widodo pada 20 Desember 2019.
Saat awal menjabat, Firli Bahuri cs membuat gebrakan dengan menggelar Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) terhadap seluruh pegawai KPK dengan dalih peralihan menjadi Aparatur Sipil Negara sebagaimana mandat dari revisi UU KPK yang diketok pada 2019. Sekitar 57 pegawai yang selama ini memiliki peran penting di komisi antikorupsi itu seperti penyidik Novel Baswedan, Rizka Anungnata, Praswad M. Nugraha, Ahmad Dedy Nainggolan, penyelidik yang juga memiliki julukan raja operasi tangkap tangan Harun Al Rasyid, dan lainnya didepak. Mereka dinyatakan tidak lolos TWK karena dianggap mendapat penilaian merah.
Mantan Kepala Biro Sumber Daya Manusia KPK yang kini bergabung di IM57+ Institute Chandra Sulistio Reksoprodjo mengatakan orang-orang kritis di komisi antirasuah itu justru didepak oleh Firli Bahuri. Selain itu, kata dia, para pegawai yang masih di dalam tak bakal berani menjalankan mekanisme saling mengawasi lantaran status mereka yang dari pegawai KPK menjadi ASN sangat berpengaruh.
Saat berstatus pegawai KPK, kata Chandra, mereka bisa mengkritisi kebijakan atasannya maupun pimpinan yang dianggap salah. Kritikan itu biasanya disampaikan secara terbuka di mailing list internal KPK. Sayangnya, budaya itu hilang lantaran dengan status ASN ini, atasan atau pimpinan KPK bisa sewaktu-waktu memutasi pegawai yang kritis tersebut. “Kalau dulu, memang kami mendapat pesan dari pimpinan KPK untuk merekrut orang-orang kritis supaya bisa menyentuh ‘menara gading’ untuk memberantas korupsi,” ujar Chandra yang juga dianggap tak lolos TWK itu.
Selepas orang-orang kritis disingkirkan dari KPK, beberapa pimpinan komisi antikorupsi bermanuver dan menegasikan muruah pemberantasan rasuah. Misalnya pada pertengahan Juli 2022, Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar tersandung kasus penerimaan fasilitas tiket menonton MotoGP dan akomodasinya dari Pertamina. Padahal perusahaan pelat merah itu kasusnya tengah diusut oleh Kedeputian Penindakan KPK.
Lili juga diduga mengintervensi penanganan kasus korupsi yang menjerat Bupati Labuhanbatu Utara. Ketika kasus ini ditangani oleh Dewan Pengawas KPK, Lili Pintauli menyatakan mundur dari KPK. Koordinator ICW Agus Sunaryanto mengatakan persoalan-persoalan internal KPK itu menunjukkan kelemahan kelemahan lembaga antikorupsi itu. Agus pun masih mempertanyakan KPK yang enggan menelusuri dugaan gratifikasi untuk Lili Pintauli. “Aspek pidananya tidak diselidiki, ini kan kacau,” ujar Agus.
Atas kursi yang ditinggalkan oleh Lili, Presiden Joko Widodo melantik Johanis Tanak, yang saat itu lolos 10 besar calon pimpinan komisi antikorupsi, sebagai Wakil Ketua KPK pada 28 Oktober 2022. Belum genap enam bulan menjabat, Johanis Tanak juga memunculkan polemik. Viral percakapan antara Tanak dan pejabat Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Muhammad Idris Froyoto Sihite. Obrolan itu diduga saat ada proses penyelidikan kasus dugaan korupsi di Kementerian ESDM pada Maret 2023. Potongan percakapan di WhatsApp itu berisi, “bisalah kit acari duit.” Kasus ini kemudian diproses oleh Dewas KPK. Dalam sidang putusan 21 September 2023, Dewas KPK menyatakan Johanis Tanak tidak terbukti bersalah melanggar kode etik. Sebab, bukti percakapan Johanis Tanak sudah lebih dulu dihapus sehingga Dewas KPK tidak mengantongi alat bukti.
Rampung urusan Tanak, KPK kembali diguncang dengan kasus yang menjerat pucuk pimpinannya. Polda Metro Jaya menetapkan Firli Bahuri sebagai tersangka kasus dugaan pemerasan terhadap Menteri Pertanian ketika itu, Syahrul Yasin Limpo, saat menangani kasus dugaan korupsi di Kementan. Pengumuman tersangka Firli Bahuri pada Kamis sore, 23 November 2023.
Adapun Syahrul Yasin Limpo mengaku telah memberikan uang Rp 1,3 miliar kepada Firli Bahuri. Dia juga membenarkan pernah bertemu Firli di GOR Tangki, Tamansari, Jakarta Barat, saat pimpinan KPK itu bermain bulutangkis.Tetapi pemberian uang itu hanya dianggap sebagai wujud persahabatan. “Saya pikir persahabatan saja saya dengan Pak Firli,” ujar SYL. Meski setahun berlalu, kasus tersebut hingga kini masih dalam proses penyidikan di Polda Metro Jaya.
Menurut penegak hukum, sesungguhnya kasus Firli Bahuri ini merupakan bentuk saling sandera antar-penegak hukum. Pada Kamis, 23 November 2023, KPK menjadwalkan gelar perkara pengembangan kasus dugaan korupsi Direktorat Jenderal Perkeretaapian (DJKA) Kementerian Perhubungan dan menetapkan Muhammad Suryo, pihak swasta, sebagai tersangka. Kabar ekspose ini ditengarai bocor ke Kapolda Metro Jaya Inspektur Jenderal Karyoto sehingga Firli langsung ditetapkan tersangka juga. Suryo memang santer dikabarkan dekat dengan Karyoto sejak kasus dugaan tambang pasir ilegal di wilayah Magelang dan Yogyakarta sejak lama.
Menurut Koordinator ICW Agus Sunaryanto, era kepemimpinan Firli Bahuri memang yang paling bobrok. Bahkan, pegawai KPK yang mengurusi rumah tahanan juga melakukan pungutan liar (pungli). “Orang-orang penjaga rutan itu dari Ditjen Pemasyarakatan Kumham, kemudian menyebar kena pegawai KPK yang lain,” ujar Agus.
Agus menilai robohnya KPK di era Firli Bahuri juga terlihat dari persepsi publik dari tahun ke tahun kian menurun kepercayaannya terhadap komisi antirasuah itu. Penanganan kasus juga banyak yang menggantung seperti perburuan tersangka kasus suap Harun Masiku yang masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) dan kasus-kasus besar lainnya. “KPK merosot di peringkat tujuh, bahkan di bawah kepolisian,” ujarnya.
Sama dengan Agus, peneliti Transparency International Indonesia (TII) Izza Akbarani juga menilai kepemimpinan Firli Bahuri memang yang paling buruk. Menurut dia, hal ini juga implikasi dari revisi UU KPK yang menggembosi kewenangan pemberantasan korupsi dari tubuh KPK. Selain itu, Indeks Persepsi Korupsi Indonesia pada 2023 stagnan sebesar 34 sama seperti pada 2022. Namun peringkat Indonesia melorot dari posisi 110 pada 2022 menjadi peringkat 115 pada 2023.
Ketua IM57+ Institute Lakso Anindito mengatakan KPK memang mengalami kemerosotan selama lima tahun terakhir. Ia juga tidak melihat masa depan yang cerah terhadap lima pimpinan baru. Sebab, kata dia, komposisi kelima komisioner itu sama sekali tak ada perwakilan masyarakat sipil. Latar belakang lima pimpinan terpilih dari penegak hukum yakni Setyo Budiyanto dari Polri, Fitroh Rohcayanto dan Johanis Tanak merupakan jaksa, Agus Joko Pramono dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan Ibnu Basuki Widodo sebelumnya menjabat pemilah perkara pidana di Mahkamah Agung. Sementara tugas komisi antikorupsi di dalam pembukaan UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK disebutkan bahwa KPK dibentuk karena aparat penegak hukum tidak berjalan dengan efektif. "Sementara pimpinan KPK yang baru terpilih dari penegak hukum semua, ini paradoks," ujar Lakso.
Bahkan sampai sekarang, Lakso belum mendengar pimpinan KPK yang masih aktif di lembaga asalnya seperti Fitroh, Agus, dan Ibnu belum mengundurkan diri dari instansi lamanya. "Kekhawatiran kita, mereka akan loyal ke KPK atau loyal ke instansi asalnya? Jika mau independen, mereka harus berhenti dari instansi asalnya," ujarnya.
Ketua KPK periode 2024-2029, Setyo Budiyanto, mengatakan bersama empat pimpinan lainnya bakal berkoordinasi terlebih dulu untuk memutuskan bagaimana mereka memimpin KPK ke depannya. Menurut Setyo, masing-masing lima pimpinan pasti punya program di benaknya. “Saya ingin konsolidasi karena lima pimpinan ini satu keutuhan. Tidak akan bisa lima pimpinan ini jalan masing-masing,” ujar Setyo. Ia tidak ingin membingungkan pegawai KPK nantinya jika lima pimpinan ini membuat kebijakan yang kemudian turunannya dijabarkan berbeda-beda oleh masing-masing pimpinan. “Apa pun yang terjadi ya saya berharap kami berlima itu solidlah. Ini modal dasar gitu modal dasar buat lembaga buat organisasi kami,” katanya.
Ketua KPK terpilih Komjen Pol Setyo Budiyanto (kanan) bersama wakil ketua KPK Fitroh Rohcahyanto (kedua dari kanan), Agus Joko Pramono, Ibnu Basuki Widodo, dan Johanis Tanak setelah serah terima jabatan pimpinan KPK dan Dewas KPK di Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, 20 Desember 2024. TEMPO/Imam Sukamto
Usai koordinasi dengan pimpinan, Setyo baru akan konsolidasi dengan pegawai dengan emnggali apa yang terjadi selama ini. Meski Setyo juga sempat lama di KPK di antaranya menjadi Direktur Penyidikan Kedeputian Penindakan, ia ingin mendengar permasalahan internal belakangan ini. “Mungkin ada sesuatu yang selama ini terjadi permasalahan internal. Mungkin ada ketidakpercayaan dan lain-lain,” ujarnya. Karena itu, ia ingin bersama-sama pimpinan dan pegawai membangun pondasi KPK agar kembali dipercaya publik.
Seiring dengan langkah awal Setyo, Wakil Ketua KPK Alexander Marwata berharap masyarakat lebih ketat mengawal dan mengawasi pimpinan KPK dan pegawai. Menurut dia, risiko intervensi antar-lembaga lebih tinggi. Ketika ada kasus yang menyangkut elite pemerintahan maupun elite partai, Alex berpesar agar masyarakat ramai-ramai turun ke depan KPK menuntut komisi antikorupsi mengusut kasus tersebut dengan berani, transparan, dan akuntabel. Menurut dia, masing-masing pimpinan KPK punya pikiran sendiri dan menyatukan lima kepala dalam satu visi-misi itu bukan hal yang mudah. “Itu pengalaman saya. Saya mungkin bisa ngotot, belum tentu yang lain sejalan dengan saya dan saya kan enggak mungkin juga membuat keputusan sendiri, kan terikat oleh kolektif kolegial,” ujar Alex.
Mutia Yuantisya, Sultan Abdurrahman, Amelia Rahima Sari, Ade Ridwan, dan Jihan Ristiyanti berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan Editor: Mengapa KPK Royal Menerbitkan SP3?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini