Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Mantan petinggi Lippo Group, Eddy Sindoro tidak hadir dalam pemeriksaan sebagai saksi terkait dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang melibatkan eks Sekretaris Mahkamah Agung, Nurhadi, di KPK pada Selasa lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Juru Bicara KPK, Tessa Mahardhika, menyatakan pada hari Selasa, 13 Agustus 2024, bahwa "saksi tidak hadir tanpa memberikan keterangan."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemeriksaan terhadap Eddy Sindoro semula dijadwalkan berlangsung di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, namun Eddy tidak memberikan alasan atas ketidakhadirannya kepada penyidik. Penyidik KPK akan menjadwalkan ulang pemeriksaan tersebut, tetapi belum ada kepastian mengenai jadwal baru.
Pada April 2021, KPK mengumumkan bahwa mereka memulai penyidikan baru terkait dugaan suap, penerimaan gratifikasi, serta pencucian uang oleh Eddy Sindoro alias ES.
Dikutip dari Antara, Kepala Bagian Pemberitaan KPK, Ali Fikri, pada saat itu mengatakan bahwa "KPK telah meningkatkan status penyidikan terkait dugaan penerimaan hadiah atau janji terkait pengurusan perkara dari ES dan kawan-kawan. Selain itu, penyidikan juga mencakup dugaan penerimaan gratifikasi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU)."
Namun, detail perkara serta identitas tersangka dalam penyidikan tersebut belum dijelaskan. Ali menyebutkan, penerapan TPPU diduga terjadi karena adanya perubahan bentuk dan penyamaran dari hasil tindak pidana korupsi ke dalam bentuk aset-aset bernilai ekonomis seperti properti atau aset lainnya.
Ali menambahkan bahwa KPK akan memberikan informasi kepada publik apabila ada perkembangan dalam penyidikan ini.
Pada 6 Maret 2019, Eddy Sindoro telah divonis 4 tahun penjara dan didenda Rp200 juta dengan subsider 3 bulan penjara. Hakim menyatakan bahwa Eddy terbukti menyuap mantan panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Edy Nasution, sebesar Rp150 juta dan 50 ribu dolar AS (senilai total Rp877 juta).
Perbuatan tersebut dilakukan bersama-sama dengan beberapa pihak, yakni Wresti Kristian Hesti Susetyowati, Ervan Adi Nugroho, Hery Soegiarto, dan Doddy Aryanto Supeno.
Uang tersebut diberikan kepada Edy Nasution untuk mengurus dua perkara. Dalam perkara pertama, yakni PT Metropolitan Tirta Perdana (MTP) melawan PT Kwang Yang Motor Co. Ltd (KYMCO) pada 2013-2015, Edy Nasution diminta menunda proses pelaksanaan aanmaning terhadap PT MTP dengan imbalan Rp150 juta.
Dalam perkara kedua, Edy Nasution terbukti menerima pendaftaran Peninjauan Kembali PT Across Asia Limited (PT AAL) meskipun telah lewat batas waktu yang ditentukan oleh undang-undang. Untuk ini, Edy mendapat imbalan 50 ribu dolar AS.
Selama persidangan, terungkap bahwa Eddy Sindoro pernah bertemu dengan Nurhadi untuk menanyakan alasan keterlambatan pengiriman berkas perkara. Nurhadi kemudian menghubungi Edy Nasution untuk mempercepat pengiriman berkas PK.
Dalam kasus suap dan gratifikasi yang terkait dengan perkara di MA pada 2011-2016, KPK juga telah memproses Nurhadi dan menantunya, Rezky Herbiyono, dari pihak swasta. Keduanya terbukti menerima suap dari Direktur PT Multicon Indrajaya Terminal (MIT), Hiendra Soenjoto.
Nurhadi dan Rezky dijatuhi hukuman 6 tahun penjara dan denda Rp500 juta, dengan ketentuan apabila tidak dibayar akan diganti dengan pidana kurungan selama 3 bulan.
Berdasarkan putusan kasasi MA pada 24 Desember 2021, keduanya dinyatakan terbukti menerima suap sejumlah Rp35,726 miliar serta gratifikasi dari berbagai pihak sebesar Rp13,787 miliar.
ANGELINA TIARA PUSPITALOVA I ANTARA