SEPI menggigit. Tengah malam menyentuh. Dalam kegelapan yang pekat itu, serombongan penduduk tampak menyusuri tepi hutan. Setelahi berhenti di tepi parit itu, mereka mengucap Allahuakbar tiga kali. Lalu sebilah golok di tangan si algojo menebas. "Craak". Kepala Sarma menggelinding. Tamatlah riwayat lelaki tua itu. Bukan hanya dia yang dieksekusi pada malam itu. Barma, anak sulungnya, juga mengalami nasib serupa. Kemudian tubuh anak beranak tadi ditimbun dalam satu lubang. Begitulah gambaran rekonstruksi pembunuhan itu, Sabtu pekan lalu, di Desa Pasirdalem, Kecamatan Kadupandak, Cianjur, Jawa Barat. Di desa itu, sehari-hari Sarma, 65 tahun dikenal sebagai petani. Pertengahan Juli lalu ia dan Barma diminta datang ke balai desa, karena ada masalah penting yang akan dibicarakan. Mereka, rupanya, memang sedang dicurigai punya profesi sampingan sebagai tukang teluh di desa yang 100 km dari Cianjur itu. Kedatangan ayah-anak ini sudah ditunggu-tunggu oleh beberapa perangkat desa. Pembicaraan siang itu tampaknya tak mencapai kesepakatan. Karena itu, malam harinya Sarma dan Barma lagi-lagi dipanggil ke balai desa. Tanpa berprasangka keduanya memenuhi undangan itu. Entah bagaimana kemudian muncul keinginan dari sejumlah pamong: mereka sepakat mau mengantar Sarma dan Barma pulang ke rumah. Rombongan lalu dibagi dua. Tetapi, itulah saat-saat terakhir ayah dan anak tersebut terlihat hidup. Mula-mula tangan dan kaki Barma, 40 tahun, diikat dengan tali. Dalam keadaan tak berdaya, lehernya dijerat. Kemudian dipukuli beramai-ramai, hingga mereka tak berkutik. Tubuh ayah tiga anak itu lalu dilempar begitu saja ke sebuah lubang bekas saluran air. Setelah itu menyusul tubuh Sarma yang juga sekarat. Namun, karena ayah delapan anak itu, konon, disebut-sebut punya "ilmu pancasona" -- ajian yang membuat manusia tak bisa mati -- mereka lalu memperlakukan dia secara khusus. "Agar ia tak hidup lagi, harus dipancung hingga kepalanya putus," kata Sukmaja, 35 tahun yang malam itu bertindak sebagai algojo. Tubuh-tubuh tak bernyawa itu selanjutnya ditimbun dengan tanah dan dedaunan. Ketika siang itu Sarma dan Barma diundang ke balai desa, sedikit pun keluarganya tak punya firasat buruk. Setelah ditunggu-tunggu tak kunjung pulang, Eman anak keempat Sarma, lalu menyusul ke kelurahan. Tapi, beberapa kali mondar-mandir ke balai desa menanyakan nasib ayah dan kakaknya, malah tak secuil pun keterangan yang ia peroleh. Dua hari setelah kejadian itu, seorang polisi berkunjung ke Kadupandak. Alat negara inilah yang melaporkan ke markasnya bahwa ada orang hilang di daerah itu. Dan tanpa menunggu waktu Kapolres Cianjur segera memerintahkan sejumlah penyidik ke Kadupandak. Ternyata, tak begitu sulit melacak jejak Sarma dan Barma. Sebab, informasi diperoleh langsung dari Sumirta. Dan dari dialah kemudian terungkap bahwa kedua warga desa itu dibunuh memang setahu Sumirta. Kenapa ia tak mencegah? Karena, konon, eksekusi itu ada "restu" dari seorang oknum alat negara dan Pembina Desa. Alasannya, Sarma dan Barma dianggap meresahkan penduduk Desa Pasirdalem. "Saya punya bukti Sarma dan Barma itu tukang teluh orang," kata Sumirta, 37 tahun. "Setiap yang ada masalah dengan mereka, buntutnya orang itu sakit dan meninggal," kata Kepala Desa Pasirdalem itu. Menuru Oka, Ketua RT Cikawung, Sarma dan Barma tak pernah membantah tuduhan itu. "Mereka malah memperlihatkan alatnya, berbentuk sebutir batu sebesar telur ayam," cerita Oka. Tingkah laku mereka sebenarnya sudah dilaporkan ke pihak yang berwajib, pertengahan tahun lalu. Namun, Sarma dan anaknya menolak datang ke Koramil setempat. Belakangan, Sarma malah titip uang Rp 200 ribu ke Oka untuk disampaikan ke Danramil. Begitu pula Barma. Ia menitipkan Rp 150 ribu. Tapi, ujar Oka, uang tersebut kemudian diserahkan kepada polisi desa. Setelah itu ia tak menggubris lagi. Tetapi sikap tak senang dan pengaduan penduduk kian gencar, hingga muncul kesepakatan: habisi Sarma dan Barma. Mereka lalu mengumpulkan uang Rp 70 ribu. Rupanya, uang tersebut dipersiapkan untuk sebuah peristiwa berdarah. Tuduhan Sarma sebagai tukang santet dibantah oleh Eman, anaknya. "Saya tidak rela kalau ayah saya dituduh punya ilmu hitam," kata anggota Hansip yang punya empat anak ini. Lebih dari itu ia tak pernah melihat alat yang kira-kira menunjukkan tanda-tanda ayahnya tukang teluh. Begitu pula dengan Jua, istri Barma. "Saya tidak menyangka Barma dibunuh," kata Jua, 30 tahun, dengan wajah memelas. Selama ini suaminya dikenal tidak pernah ribut dengan tetangga. Yang ia tahu, sehari-hari Barma berjualan dulang -- tempat mendinginkan nasi -- selain sesekali pergi ke sawah. Ada dugaan bahwa Sarma dan Barma dibantai karena sering mengkritik kebijaksanaan kepala desa. "Mungkin karena pernah membeberkan penyelewengan kepala desa beserta aparatnya, mereka harus dibunuh," kata Kapolres Cianjur, Letkol Yun Mulyana. Tetapi Kepala Desa Pasirdalem itu membantah bahwa pembunuhan itu atas perintah dia. "Saya tak ikut hadir ketika itu. Saya ada di rumah," kata Sumirta. Karena itu, ia tidak ditahan, berkat jaminan Rp 250 ribu dari Camat Kadupandak. Sementara itu, 13 tersangka menginap dalam tahanan. Dan dua orang lagi dinyatakan buron. Sumirta boleh saja berdalih tak terlibat langsung. Tapi, di depan pihak yang berwenang, Sukmaja, si pejagal, mengatakan: malam itu Sumirta turut menyaksikan eksekusi dari kejauhan. Bahkan, begitu kata Sukmaja, ia dan kawan-kawannya ditraktir Pak Lurah di sebuah warung kopi -- setelah mereka menghabisi nyawa Sarma dan Barma. Juga karena direstui? Laporan Agung Firmansyah dan Riza Sofyat (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini