SELAMA 21 hari, ratusan orang berdiri berjejal di luar
pengadilan Sun Po Kong di Hongkong, mendengarkan cerita seram.
Dan han ke ari Lam merangkai pengakuan dan ditimpali berbagai
kesaksian. Terjalinlah sebuah cerita yang dapat mengikat para
pendengarnya - meski harus didengarkan dengan bulu kuduk
berdiri.
Lam Kor-wan, 28 tahun, sopir taksi BR 2212 yang divonis mati 8
April lalu itu, terbukti membunuh 4 wanita penumpang taksinya
pada sekitar Februari-Juli 1982. Bukti-bukti kejahatannya
terungkap dari pengakuan Lam sendiri dan 19 saksi setelah ia
ditangkap, 17 Agustus 1982, di Toko Kolak Far East Ltd.
Pengakuan Lam sebagai berikut: penumpang-penumpang taksi yang
dibunuhnya yakni pramuria Chan Say-lan, 21 tahun, kasir Chan
Wan-kit, 31 tahun, Leung Sauwan, 29 tahun, yang bekerja sebagai
pelayan klub malam dan terakhir mahasiswi Leung Wai-sum, 17
tahun. Setelah dibunuh, mayat mereka dibawa ke flat orangtuanya
di Tokwawan. Di sana mereka ditelanjangi dan di foto. Kemudian
ia membuat film paling mengerikan yang pernah dibuat di kota
industri film Hongkong: Ia sendiri berperan sebagai "bintang"
yang memotong organ-organ kewanitaan "para model" tadi. Ia
sempat merekamnya dalam 3 kaset video. Kaset tersebut belum
sempat diproses, tapi foto-foto porno dari model-model itu
dicetakkannya di Kodak, di tempat ia tertangkap kemudian.
Tak kurang dari 50 reserse dikerahkan melacak, berlangsung
sampai enam bulan, semenjak sisa-sisa tubuh korban pertama, Chan
Fung-lan, ditemukan di Sungai Satin Februari 1982. Semula
karyawan Kodak tidak mempedulikan foto-foto dan slide porno yang
dipesan Lam. Menjadi langganan mereka sejak Desember 1980, Lam
telah biasa memesan pemrosesan reproduksi close-up bagian-bagian
tertentu wanita, yang diambil dari majalah-majalah porno.
Kecurigaan muncul, sekitar Agustus 1982, ketika Lam minta
pembesaran satu set foto seorang wanita telanjang. Wajah model
ditutup majalah, tapi tampak tanda merah di bagian leher. Polisi
kemudian dihubungi dan menyergap Lam sewaktu datang mengambil
pesanannya. Penyergapan dipimpin dua perwira polisi: Superinten
dan George Brooke dan Inspektur Kepala John Strachan. Lam, tanpa
rewel, mengaku membunuhnya dan menunjukkan 3 mayat korban
terakhir yang dibuangnya di pebukitan di Jalan Tai Han.
Polisi juga menemukan ribuan barang bukti yang mengerikan di
kamar Lam. Bagian-bagian vital para korban disimpan dalam lemari
es di kolong tempat tidur. Foto-foto, slide dan film negatif
berjumlah 5.000 buah berikut 3 kaset "film horor" buatan sopir
taksi itu, juga. ditemukan di kamar Lam. Sebagian, yang belum
diproses dengan sinar infra-merah, harus diproses polisi ke AS
dengan biaya sekitar Rp 15 juta.
Untuk mencari identitas dari bagian-bagian tubuh para korban,
ahli patologi pemerintah, Dr. Yip Chipang, harus terbang ke AS
untuk meminta bantuan pemeriksaan ahli-ahli Amerika. Kerepotan
dan kesulitan pun terjadi di pengadilan. Bukti-bukti terlalu
mengerikan untuk ditampilkan, sehingga hakim cukup melihat
foto-foto, yang ternyata tak kurang pula menjijikkan. Karena
itulah sejak pagi-pagi pengadilan sengaja tidak menunjuk kaum
wanita duduk dalam dewan juri yang jumlahnya 7 orang. Mereka
dipilih dari pria-pria yang berbeda usia maupun ras dan bertugas
mendesakkan vonis berdasarkan "pengetahuan mereka sebagai
pria-pria dunia".
Kesulitan yang lain ialah mencari pembela buat tertuduh.
Departemen Bantuan Hukum tclah mendekati sejumlah barrister,
mahasiswa fakultas hukum yang sudah boleh praktek, tapi semuanya
mundur teratur. Hal ini, menurut koran Solth China Morning
Post, berkaitan dengan tahyul Cina bahwa siapa membela perkara
semacam kasus Lam akan kena tulah tiga tahun.
Untuk pembelaan Lam, pengadilan terpaksa mengeluarkan biaya
sekitar Rp 75 juta, untuk membayar pengacara nonpri, Gilbert
Rodway QC, yang dibantu ahli psikiatri kehakiman dari Australia,
Dr. T Barnes. Kedua pembela berpendapat, Lam adalah orang gila
(psychotic), berdasarkan pengamatan mereka atas tertuduh di
penjara maupun sikapnya di pengadilan.
Ibu tertuduh, yang ditampilkan sebagai saksi oleh para pembela,
mcnuturkan bahwa anaknya pernah dianjurkan konsultasi ke dokter
pada 1981. "Waktu itu saya melihat Lam menjadi begitu jorok,
pucat dan menolak makan," tutur ibu Lam. "Tindakannya tahun lalu
merupakan buntut dari sakit jiwa yang aktif setahun sebelumnya,"
demikian kesimpulan Barnes.
Namun pendapat para pembela ditentang oleh 4 psikiater
pemerintah. Menurut mereka, "Lam punya hasrat seks seperti orang
normal, walaupun dikembangkan dengan cara menyimpang." Para
korban adalah wanita, semua dikerjakannya sendiri, tepat pada
waktu tak ada orang yang melihat. "Orang normal pun menyalurkan
hasrat kelamin pada waktu tidak dilihat orang," demikian
sanggahan yang dibacakan Penuntut Umum Joseph Duffy.
Menurut Duffy, pengetahuan seks tertuduh tidak terlambat: Di
masa puber ia biasa mengintip saudari-saudarinya telanjang,
pernah menyerang gadis di toilet, dan berlangganan majalah
porno. "Berlangganan maJalah porno bukan karena ingin tahu,
melainkan untuk memenuhi gairah seks seperti dilakukan sebagian
orang normal," demikian Duffy.
Kesimpulan penuntut umum, Lam telah melakukan pembunuhan yang
direncanakan, dari pembunuhan itu bukan tujuan terakhir, tapi
sebagai jalan untuk memuaskan gairah kelaminnya yang menyimpang.
"Tinggal dewan juri yang menentukan apakah ia pantas dihukum
mati," kata"akhir jaksa ini.
Dewan juri, setelah berapat 31/2 jam, ternyata sepakat dengan
pendapat jaksa. Hakim Baber pun menyusun kesimpulan dan
keputusan serupa. "Semua kesaksian di pengadilan, hanya
mendukung juri untuk memberi keputusan yang tak bisa lain
tertuduh bersalah sebagai pembunuh dan dihukum mati," kata hakim
Baber sebelum menjatuhkan palunya.
Begitu palu hakim berbunyi, ratusan penonton yang dicegah masuk
karena kursi penonton terbatas untuk 10 orang, tidak ada yang
berteriak "boo ...." Para gadis malah bersorak sorai. Banyak
orang berpendapat bahwa eksekusi hukuman mati di Hongkong,
terakhir 16 November 1966, sudah harus dijalankan lagi. "Mereka
yang membunuh harus mati," komentar terutama datang dari Chan
Shek-san, 71 tahun, ayah korban yang bernama Chan Fung-lan.
Kisah Lam Kor-wan menarik beberapa produser film untuk
mengangkatnya ke layar perak. Ada yang telah menawarkan peran
kepada Chan Mei-kee, kakak Chan Fung-lan, sebagai korban
pertama. Mei-kee naupun ayahnya setuju. Untuk itu mereka ziarah
ke perabuan Fung-lan di Biara Wing Lok untuk menyampaikan "kabar
gembira" itu.
Bagaimana seandainya ada permintaan naik banding? "Saya tak mau
hidup lagi untuk mendengarkan itu," jawab Chan Shek-san. Tapi
pembela, Gilbert Rodway, pada hari vonis itu dijatuhkan hanya
mengatakan bahwa naik banding "masih dipikirkan".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini