Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Film Horor Sopir Taksi

Seorang sopir taksi di hong kong divonis mati, terbukti membunuh 4 wanita penumpangnya, setelah dibunuh korban dipotong organ-organ kewanitaannya, dan direkam dalam 3 kaset video. (krim)

23 April 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SELAMA 21 hari, ratusan orang berdiri berjejal di luar pengadilan Sun Po Kong di Hongkong, mendengarkan cerita seram. Dan han ke ari Lam merangkai pengakuan dan ditimpali berbagai kesaksian. Terjalinlah sebuah cerita yang dapat mengikat para pendengarnya - meski harus didengarkan dengan bulu kuduk berdiri. Lam Kor-wan, 28 tahun, sopir taksi BR 2212 yang divonis mati 8 April lalu itu, terbukti membunuh 4 wanita penumpang taksinya pada sekitar Februari-Juli 1982. Bukti-bukti kejahatannya terungkap dari pengakuan Lam sendiri dan 19 saksi setelah ia ditangkap, 17 Agustus 1982, di Toko Kolak Far East Ltd. Pengakuan Lam sebagai berikut: penumpang-penumpang taksi yang dibunuhnya yakni pramuria Chan Say-lan, 21 tahun, kasir Chan Wan-kit, 31 tahun, Leung Sauwan, 29 tahun, yang bekerja sebagai pelayan klub malam dan terakhir mahasiswi Leung Wai-sum, 17 tahun. Setelah dibunuh, mayat mereka dibawa ke flat orangtuanya di Tokwawan. Di sana mereka ditelanjangi dan di foto. Kemudian ia membuat film paling mengerikan yang pernah dibuat di kota industri film Hongkong: Ia sendiri berperan sebagai "bintang" yang memotong organ-organ kewanitaan "para model" tadi. Ia sempat merekamnya dalam 3 kaset video. Kaset tersebut belum sempat diproses, tapi foto-foto porno dari model-model itu dicetakkannya di Kodak, di tempat ia tertangkap kemudian. Tak kurang dari 50 reserse dikerahkan melacak, berlangsung sampai enam bulan, semenjak sisa-sisa tubuh korban pertama, Chan Fung-lan, ditemukan di Sungai Satin Februari 1982. Semula karyawan Kodak tidak mempedulikan foto-foto dan slide porno yang dipesan Lam. Menjadi langganan mereka sejak Desember 1980, Lam telah biasa memesan pemrosesan reproduksi close-up bagian-bagian tertentu wanita, yang diambil dari majalah-majalah porno. Kecurigaan muncul, sekitar Agustus 1982, ketika Lam minta pembesaran satu set foto seorang wanita telanjang. Wajah model ditutup majalah, tapi tampak tanda merah di bagian leher. Polisi kemudian dihubungi dan menyergap Lam sewaktu datang mengambil pesanannya. Penyergapan dipimpin dua perwira polisi: Superinten dan George Brooke dan Inspektur Kepala John Strachan. Lam, tanpa rewel, mengaku membunuhnya dan menunjukkan 3 mayat korban terakhir yang dibuangnya di pebukitan di Jalan Tai Han. Polisi juga menemukan ribuan barang bukti yang mengerikan di kamar Lam. Bagian-bagian vital para korban disimpan dalam lemari es di kolong tempat tidur. Foto-foto, slide dan film negatif berjumlah 5.000 buah berikut 3 kaset "film horor" buatan sopir taksi itu, juga. ditemukan di kamar Lam. Sebagian, yang belum diproses dengan sinar infra-merah, harus diproses polisi ke AS dengan biaya sekitar Rp 15 juta. Untuk mencari identitas dari bagian-bagian tubuh para korban, ahli patologi pemerintah, Dr. Yip Chipang, harus terbang ke AS untuk meminta bantuan pemeriksaan ahli-ahli Amerika. Kerepotan dan kesulitan pun terjadi di pengadilan. Bukti-bukti terlalu mengerikan untuk ditampilkan, sehingga hakim cukup melihat foto-foto, yang ternyata tak kurang pula menjijikkan. Karena itulah sejak pagi-pagi pengadilan sengaja tidak menunjuk kaum wanita duduk dalam dewan juri yang jumlahnya 7 orang. Mereka dipilih dari pria-pria yang berbeda usia maupun ras dan bertugas mendesakkan vonis berdasarkan "pengetahuan mereka sebagai pria-pria dunia". Kesulitan yang lain ialah mencari pembela buat tertuduh. Departemen Bantuan Hukum tclah mendekati sejumlah barrister, mahasiswa fakultas hukum yang sudah boleh praktek, tapi semuanya mundur teratur. Hal ini, menurut koran Solth China Morning Post, berkaitan dengan tahyul Cina bahwa siapa membela perkara semacam kasus Lam akan kena tulah tiga tahun. Untuk pembelaan Lam, pengadilan terpaksa mengeluarkan biaya sekitar Rp 75 juta, untuk membayar pengacara nonpri, Gilbert Rodway QC, yang dibantu ahli psikiatri kehakiman dari Australia, Dr. T Barnes. Kedua pembela berpendapat, Lam adalah orang gila (psychotic), berdasarkan pengamatan mereka atas tertuduh di penjara maupun sikapnya di pengadilan. Ibu tertuduh, yang ditampilkan sebagai saksi oleh para pembela, mcnuturkan bahwa anaknya pernah dianjurkan konsultasi ke dokter pada 1981. "Waktu itu saya melihat Lam menjadi begitu jorok, pucat dan menolak makan," tutur ibu Lam. "Tindakannya tahun lalu merupakan buntut dari sakit jiwa yang aktif setahun sebelumnya," demikian kesimpulan Barnes. Namun pendapat para pembela ditentang oleh 4 psikiater pemerintah. Menurut mereka, "Lam punya hasrat seks seperti orang normal, walaupun dikembangkan dengan cara menyimpang." Para korban adalah wanita, semua dikerjakannya sendiri, tepat pada waktu tak ada orang yang melihat. "Orang normal pun menyalurkan hasrat kelamin pada waktu tidak dilihat orang," demikian sanggahan yang dibacakan Penuntut Umum Joseph Duffy. Menurut Duffy, pengetahuan seks tertuduh tidak terlambat: Di masa puber ia biasa mengintip saudari-saudarinya telanjang, pernah menyerang gadis di toilet, dan berlangganan majalah porno. "Berlangganan maJalah porno bukan karena ingin tahu, melainkan untuk memenuhi gairah seks seperti dilakukan sebagian orang normal," demikian Duffy. Kesimpulan penuntut umum, Lam telah melakukan pembunuhan yang direncanakan, dari pembunuhan itu bukan tujuan terakhir, tapi sebagai jalan untuk memuaskan gairah kelaminnya yang menyimpang. "Tinggal dewan juri yang menentukan apakah ia pantas dihukum mati," kata"akhir jaksa ini. Dewan juri, setelah berapat 31/2 jam, ternyata sepakat dengan pendapat jaksa. Hakim Baber pun menyusun kesimpulan dan keputusan serupa. "Semua kesaksian di pengadilan, hanya mendukung juri untuk memberi keputusan yang tak bisa lain tertuduh bersalah sebagai pembunuh dan dihukum mati," kata hakim Baber sebelum menjatuhkan palunya. Begitu palu hakim berbunyi, ratusan penonton yang dicegah masuk karena kursi penonton terbatas untuk 10 orang, tidak ada yang berteriak "boo ...." Para gadis malah bersorak sorai. Banyak orang berpendapat bahwa eksekusi hukuman mati di Hongkong, terakhir 16 November 1966, sudah harus dijalankan lagi. "Mereka yang membunuh harus mati," komentar terutama datang dari Chan Shek-san, 71 tahun, ayah korban yang bernama Chan Fung-lan. Kisah Lam Kor-wan menarik beberapa produser film untuk mengangkatnya ke layar perak. Ada yang telah menawarkan peran kepada Chan Mei-kee, kakak Chan Fung-lan, sebagai korban pertama. Mei-kee naupun ayahnya setuju. Untuk itu mereka ziarah ke perabuan Fung-lan di Biara Wing Lok untuk menyampaikan "kabar gembira" itu. Bagaimana seandainya ada permintaan naik banding? "Saya tak mau hidup lagi untuk mendengarkan itu," jawab Chan Shek-san. Tapi pembela, Gilbert Rodway, pada hari vonis itu dijatuhkan hanya mengatakan bahwa naik banding "masih dipikirkan".

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus