Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Teori Tentang Sumarni

Visum dari tim dokter yang menangani autopsi jenazah Sumarni (yang meninggal dalam tahanan kepolisian medan barat), dinyatakan bahwa korban mati karena bunuh diri. (krim)

23 April 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

VISUM baru Sumarni akhirnya keluar. Tim Dokter Kehakiman dari Rumah Sakit Pirngadi, Medan, yang melakukan autopsi, bedah mayat, menjumpai ada darah merah kehitaman pada kulit leher korban. Di leher itu juga ditemui ada kulit mengkeret sepanjang 6 cm dan lebar 0,8 cm, dan di dagu sebelah kanan terdapat luka lecet sepanjang 7 cm. Dalam visum yang ditandatangani dr. E.D. Purba itu jelas disebut bahwa tak ada tanda-tanda patah tulang. Berdasarkan visum itu - yang dibuat setelah kubur Sumarni, 21 tahun, dibongkar 8 April lalu - Perwira Penerangan Kepolisian Sumatera Utara, Letkol Pol. J. Sihombing, tegas menyatakan: "Sumarni mati akibat gantung diri". Penjelasan pekan lalu itu senada dengan keterangan Kadapol II Brigjen Pol. Soenaryo seminggu sebelumnya. Kepada para wartawan, ketika itu Soenaryo menyatakan bahwa Sumarni, janda beranak satu, mati karena gantung diri dalam sel tahanan Kepolisian Medan Barat, 18 Maret 1983. Sumarni, ditahan Kepolisian Medan Barat, tiga hari sebelum ia didapati meninggal dunia. Ia diduga terlibat dalam kasus penculikan Lina, 2 tahun, yang dilakukan Atik, pembantu rumah tangga Suheri. Atik sengaja menculik anak majikannya, lalu dititipkan kepada Sumarni sebagai sandera, karena gajinya selama 5 bulan bekerja ditahan majikannya. Sesaat sebelum mayatnya dikuburkan, pohsi menyodorkan surat pernyataan "tidak akan menuntut", kepada keluarga korban. Kemudian Wage, ayah korban, juga mendapat "uang duka" sebesar Rp 100 ribu. Pihak keluarga, yang menghubung-hubungkan antara sikap polisi dengan tanda seperti bekas penganiayaan di tubuh Sumarni, lalu menaruh curiga (TEMPO, 9 April). Berangkat dari prasangka keluarga korban itulah, kubur Sumarni dibongkar kembali, setelah 21 hari lamanya ia terbaring tenang. Dan Kadapol II mengemukakan teorinya: Tali yang digunakan korban, tak lain berasal dari sebuah tas plastik, yang diurai anyamannya menjadi seutas tali yang panjangnya 3,5 meter. Tas tersebut, kata Soenaryo, diselundupkan ke dalam tahanan oleh Asnah, kawan korban, ketika mengantar makanan. Brigjen Soenaryo juga menyebut tentang adanya visum luar, yaitu visum pertama yang dibuat tanpa autopsi oleh dr. Amar Singh dari Rumah Sakit Pirngadi. Dokter Amar, yang membuat visum itu sesaat setelah Sumarni kedapatan mati di sel tahanan, membuat "laporan pandangan mata": lidah sumarni terjulur, mata mendelik dan di leher ada bekas lilitan. Yang mengundang tanda tanya, tandatanda itu ternyata tak dijumpai pihak keluarga Sumarni. Bu Surip, yang memandikan jenazah, justru menjumpai tanda-tanda lain: pangkal lengan kanan, punggung dan bawah payudara jenazah, sepeni ada bekas luka memar. Tulang kering membiru dan ulu hati ada luka mirip bekas terbakar. Yang aneh, vagina almarhumah tak hentinya mengeluarkan darah. Mata dan lidah korban juga tampak normal - tidak seperti yang tertera dalam visum dr. Amar. Mengapa visum dokter berbeda dengan apa yang dilihat Bu Surip? "Sebelum mayat dibawa pulang, saya merapikan mata dan lidah Sumarni," kata Safari, petugas bedah mayat di Rumah Sakit Pirngadi. Selebihnya, entah mengapa, pekan lalu Safari tak mau bicara lagi mengenai hal itu: "Maai, saya tak mau omong lagi soal Sumarni." Tapi tentang perdarahan di vagina dan bekas luka dekat payudara korban, Kadapol Soenaryo berteori pula, tak lain karena wanita itu sedang menstruasi. Sehari sebelum meninggal, katanya, Sumarni mengeluh sakit perut dan minta diantarkan ke Puskesmas. Adapun luka dekat payudara, lanjutKadapol, "tak lain bekas gigitan semut." Sesaat setelah Sumarni tergantung menjadi mayat, katanya, semut rupanya cepat menyerbu. Jelas? Jadi kecurigaan keluarga korban tinggal berupa kecurigaan. Sebab, betapapun, visum dari dokter tentu dianggap lebih berharga dari laporan Bu Surip. Memeriksa mayat yang sudah mulai membusuk, "kami jadi kehilangan barang bukti," kata Syamsudin Manan dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan. Namun, kata Manan, saat dilakukan bedah mayat, ia sempat melihat bahwa tulang tangan dan kaki sebelah kanan korban longgar, seperti tak bersatu dengan bagian lainnya. "Posisinya juga miring," katanya. Dari situ ia yakin, ada yang tak beres dengan kaki korban, meski tak bisa memastikan apakah anggota tubuh itu patah. Tapi Syamsudin tampaknya masih punya bahan untuk mempersoalkan kematian Sumarni. Visum yang ditandatangani dr. Purba tidak menyebut: korban mati karena gantung diri. Dalam kesimpulannya, dr. Purba hanya menulis, "kematian Sumarni sebagai akibat mati lemas karena tersumbatnya jalan pernapasan." Boleh jadi kematian Sumarni akibat tubuhnya tergantung di sel tahanan. Tapi apakah ia menggantung diri secara "suka rela", atau karena ada suatu hal yang mendorongnya melakukan itu atau bahkan ada tangan lain yang melakukannya belum bisa dibuktikan. Bagian dalam tubuh Sumarni, antara lain paru-paru dan hati, kini sedang diteliti Laboratorium Kriminal (Labkrim) Mabak. Bagian tubuh itu, tak lama setelah kubur korban dibongkar, dibawa Letkol Pol. dr. Agung dari Mabak yang turut dalam tim autopsi. Apakah masih akan ada cerita lain bagi keluarga korban?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus