HUTAN PLASTIK
Karya dan sutradara: Sardono W. Kusumo Teater Multimedia
Musik: Otto Sidharta
Skenografi: Rujito dan kawan-kawan
Pemain: Franooise Mothes, Sena Utoyo dan lain-lain
Produksi: Cipta Indonesia DKJ.
SUKU Dayak Kenyah menyambut maut dengan bernyanyi Suara
memilukan itu terdengar di tengah bising musik hutan yang
digarap dengan musik elektronik. Dalam suasana gelap mencekam,
di Teater Arena Taman Ismail Marzuki suara itu seperti suara
orang yang terpaksa menyerah. Cahaya lampu merah perlahanlahan
muncul, menerangi layar putih terbentang yang selalu
bergerak-gerak bergelombang disapu kipas angin dari samping.
Tapi fajar tak muncul. Cahaya merah itu tak berubah menjadi
pagi. Harapan untuk sebuah kehidupan yang lebih baik, ternyata
tak sampai - meski mereka menyanyi.
Cahaya yang datang hanya cukup untuk menunjukkan bahwa di
belakang layar ada seonggok sesuatu yang bergerak-gerak
menimbulkan bunyi berkeresak, dan sesosok monster yang tegak
diam. Onggokan yang nantinya bakal muncul menguasai arena
membunuh kehidupan.
Tapi sebelum itu terjadi, dari sudut layar muncul seorang penari
berkostum Dayak menggenggam mandau. Ia menari berjingkat-jingkat
membuat lingkaran, seperti sedang menyiapkan arena itu untuk
tempat suatu upacara. Dan "upacara" memang kemudian berlangsung
- yang disebut tontonan utan Plastik, karya Sardono W. Kusumo,
13-17 April yang lalu.
Inilah tontonan yang konon bertolak dari "keprihatinan terhadap
suatu masalah". Karena kekayaannya, hutan telah dieksploatasi
sejadi-jadinya. Dan kemudian tak hanya pohon yang tumbang, rusa
yang mati tapi hutan itu sendiri yang kemudian musnah. Tragedi
ini tampil di Teater Arena lewat musik yang merambat pelan,
pembacaan tembang-tembang Dayak, cahayacahaya, lantas onggokan
plastik yang bagaikan gurita bergerak kian ke mari. Suasana itu
lalu diperkuat film yang mendokumentasi tumbangnya pohon-pohon
di hutan dan gerakan perpindahan gajah dari Air Sugihan ke
Lebong hitam tempo hari. (Pada malam pertama film gajah tak
diputar karena kesulitan teknis).
Lantas ada tarian semacam tari upacara mengusir roh-roh jahat
dari Suku Kenyah. Empat penari wanita menggendong
ranting-ranting kering dengan selendang plastik menari-nari
dengan gerakan yang monoton: berjalan agak membungkuk, badan
digoyang-goyang, dan kedua tangan diayunayunkan ke kiri dan ke
kanan. Ditambah dua penari pria dan sesosok monster berkostum
jerami, mereka semua membentuk lingkaran. Lingkaran berputar
beberapa kali, sebelum monster menunjukkan bentuk yang
sebenarnya: seorang penari wanita Jerman, yang kemudian
menyambut gerakgerak tari primitif itu dengan gerak balet.
Masuknya unsur asing itu, penari balel Jerman itu, menggusur ke
empat penari wanita tadi, sekaligus membuyarkan keheningan
upacara. Arena pun berubah menjadi sengit: dua pria bertempur
memperebutkan satu wanita. Adegan ini mengingatkan pada ciptaan
Sardono pada awal karirnya, ialah tari Samgita Pancasona (1968).
Mengingatkan pada Sugriwa dan Subali memperebutkan Dewi Tara.
Cuma sentakan adegan penutup membuyarkan asosiasi itu. Si penari
wanita akhirnya tertangkap oleh dua pria itu dan lantas digotong
ke luar dari arena seperti orang menggotong babi atau rusa
buruan.
Diikat kedua tangan dan kaki pada sebuah kayu, lantas dipikul.
Gambaran kerakusan manusia terhadap hutan dan isinya?
Maka datanglah bencana itu. Onggokan plastik yang mendekam diam
di belakang layar lantas diseret ke depan. Kebalauan pun muncul.
Empat penari pria masing-masing membawa perisai melonjak-lonjak
gelisah, pada arena yang telah dikuasai plastik. Dan tiba-tiba
bermunculanlah silinder-silinder plastik dari atas dan dari
kedua pintu masuk Teater Arena. Silinder-silinder plastik
berbagai ukuran, tak henti-hentinya berjatuhan ke arena menimbun
penari-penari yang bergerak-gerak putus asa. Musik pun semakin
menggebrak. Pada layar ditembakkan film tumbangnya pohon-pohon
di hutan, menambah kebalauan suasana. Tumpukan plastik pun makin
meninggi. Gerak-gerak manusia makin menghilang. Dan sebelum
hening sama sekali, sebuah patung manusia dililit plastik
ditarik ke atas, digantung. Muncul pula seseorang, meluncur
dengan tali dari atap Teater Arena.
Apa yang kemudian muncul dari tontonan sekitar 1% jam ini?
Sebuah imaji tentang kegalauan dan kebangkrutan dunia.
Dan berbeda denganMetaekologinya,dalam Hutan Plastik terasa
Sardono, 38 tahun lebih memunculkan napas teatrikal. Misalnya,
terasa adanya ritme, komposisi ruang (meskipun tidak lewat
bentuk, tapi lewat cahaya lampu yang dihidup-matikan).
Dengan kata lain, Hutan Plastik ternyata tidak hanya menggebrak
dalam konsepnya (TEMPO 16 April), tapi juga enak ditonton. Meski
di awal-awal pertunjukan malam pertama banyak penonton yang
gelisah dan bersuit karena tempo berjalan lambat. Tapi mungkin
itu memang diperlukan. Sebab ketika silinder-silinder plastik
bermunculan, kemudian musik lenyap, plastik yang menggunung diam
tanpa gerak, film pun perlahan-lahan menyurut, tepuk tangan
penonton yang duduk bersila di lantai terdengar spontan. Dan,
gaung dari hutan itu seperti terdengar kembali: "Suku Dayak
Kenyah menyambut maut dengan bernyanyi. "
Bambang Bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini