Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Plastik-plastik sardono

Oleh : teater multimedia sutradara & karya : sardono w. kusuma resensi oelh : bambang bujono. produksi : cipta indonesia & dkj. (ter)

23 April 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HUTAN PLASTIK Karya dan sutradara: Sardono W. Kusumo Teater Multimedia Musik: Otto Sidharta Skenografi: Rujito dan kawan-kawan Pemain: Franooise Mothes, Sena Utoyo dan lain-lain Produksi: Cipta Indonesia DKJ. SUKU Dayak Kenyah menyambut maut dengan bernyanyi Suara memilukan itu terdengar di tengah bising musik hutan yang digarap dengan musik elektronik. Dalam suasana gelap mencekam, di Teater Arena Taman Ismail Marzuki suara itu seperti suara orang yang terpaksa menyerah. Cahaya lampu merah perlahanlahan muncul, menerangi layar putih terbentang yang selalu bergerak-gerak bergelombang disapu kipas angin dari samping. Tapi fajar tak muncul. Cahaya merah itu tak berubah menjadi pagi. Harapan untuk sebuah kehidupan yang lebih baik, ternyata tak sampai - meski mereka menyanyi. Cahaya yang datang hanya cukup untuk menunjukkan bahwa di belakang layar ada seonggok sesuatu yang bergerak-gerak menimbulkan bunyi berkeresak, dan sesosok monster yang tegak diam. Onggokan yang nantinya bakal muncul menguasai arena membunuh kehidupan. Tapi sebelum itu terjadi, dari sudut layar muncul seorang penari berkostum Dayak menggenggam mandau. Ia menari berjingkat-jingkat membuat lingkaran, seperti sedang menyiapkan arena itu untuk tempat suatu upacara. Dan "upacara" memang kemudian berlangsung - yang disebut tontonan utan Plastik, karya Sardono W. Kusumo, 13-17 April yang lalu. Inilah tontonan yang konon bertolak dari "keprihatinan terhadap suatu masalah". Karena kekayaannya, hutan telah dieksploatasi sejadi-jadinya. Dan kemudian tak hanya pohon yang tumbang, rusa yang mati tapi hutan itu sendiri yang kemudian musnah. Tragedi ini tampil di Teater Arena lewat musik yang merambat pelan, pembacaan tembang-tembang Dayak, cahayacahaya, lantas onggokan plastik yang bagaikan gurita bergerak kian ke mari. Suasana itu lalu diperkuat film yang mendokumentasi tumbangnya pohon-pohon di hutan dan gerakan perpindahan gajah dari Air Sugihan ke Lebong hitam tempo hari. (Pada malam pertama film gajah tak diputar karena kesulitan teknis). Lantas ada tarian semacam tari upacara mengusir roh-roh jahat dari Suku Kenyah. Empat penari wanita menggendong ranting-ranting kering dengan selendang plastik menari-nari dengan gerakan yang monoton: berjalan agak membungkuk, badan digoyang-goyang, dan kedua tangan diayunayunkan ke kiri dan ke kanan. Ditambah dua penari pria dan sesosok monster berkostum jerami, mereka semua membentuk lingkaran. Lingkaran berputar beberapa kali, sebelum monster menunjukkan bentuk yang sebenarnya: seorang penari wanita Jerman, yang kemudian menyambut gerakgerak tari primitif itu dengan gerak balet. Masuknya unsur asing itu, penari balel Jerman itu, menggusur ke empat penari wanita tadi, sekaligus membuyarkan keheningan upacara. Arena pun berubah menjadi sengit: dua pria bertempur memperebutkan satu wanita. Adegan ini mengingatkan pada ciptaan Sardono pada awal karirnya, ialah tari Samgita Pancasona (1968). Mengingatkan pada Sugriwa dan Subali memperebutkan Dewi Tara. Cuma sentakan adegan penutup membuyarkan asosiasi itu. Si penari wanita akhirnya tertangkap oleh dua pria itu dan lantas digotong ke luar dari arena seperti orang menggotong babi atau rusa buruan. Diikat kedua tangan dan kaki pada sebuah kayu, lantas dipikul. Gambaran kerakusan manusia terhadap hutan dan isinya? Maka datanglah bencana itu. Onggokan plastik yang mendekam diam di belakang layar lantas diseret ke depan. Kebalauan pun muncul. Empat penari pria masing-masing membawa perisai melonjak-lonjak gelisah, pada arena yang telah dikuasai plastik. Dan tiba-tiba bermunculanlah silinder-silinder plastik dari atas dan dari kedua pintu masuk Teater Arena. Silinder-silinder plastik berbagai ukuran, tak henti-hentinya berjatuhan ke arena menimbun penari-penari yang bergerak-gerak putus asa. Musik pun semakin menggebrak. Pada layar ditembakkan film tumbangnya pohon-pohon di hutan, menambah kebalauan suasana. Tumpukan plastik pun makin meninggi. Gerak-gerak manusia makin menghilang. Dan sebelum hening sama sekali, sebuah patung manusia dililit plastik ditarik ke atas, digantung. Muncul pula seseorang, meluncur dengan tali dari atap Teater Arena. Apa yang kemudian muncul dari tontonan sekitar 1% jam ini? Sebuah imaji tentang kegalauan dan kebangkrutan dunia. Dan berbeda denganMetaekologinya,dalam Hutan Plastik terasa Sardono, 38 tahun lebih memunculkan napas teatrikal. Misalnya, terasa adanya ritme, komposisi ruang (meskipun tidak lewat bentuk, tapi lewat cahaya lampu yang dihidup-matikan). Dengan kata lain, Hutan Plastik ternyata tidak hanya menggebrak dalam konsepnya (TEMPO 16 April), tapi juga enak ditonton. Meski di awal-awal pertunjukan malam pertama banyak penonton yang gelisah dan bersuit karena tempo berjalan lambat. Tapi mungkin itu memang diperlukan. Sebab ketika silinder-silinder plastik bermunculan, kemudian musik lenyap, plastik yang menggunung diam tanpa gerak, film pun perlahan-lahan menyurut, tepuk tangan penonton yang duduk bersila di lantai terdengar spontan. Dan, gaung dari hutan itu seperti terdengar kembali: "Suku Dayak Kenyah menyambut maut dengan bernyanyi. " Bambang Bujono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus