KASUS kematian Nyonya Sari Dewi Hadiati merupakan contoh
pembunuhan yang "berhasil", begitu disimpulkan seorang ahli
kriminologi. Ia kedapatan meninggal berlumur darah, Senin siang
4 April lalu, di kamar 418-420 Hotel Sahid Jaya. Di situ adalah
kantor International Rice Research Institut (IRRI), tempat Dewi
bekerja sebagai sekretaris.
Tubuh Sari Dewi, 32 tahun, yang mengenakan baju kotak-kotak
putih biru dan rok biru tua, tersuruk di bawah meja. Ada bekas
tusukan di punggung dan perut. Yang mengerikan - dan yang
menyebabkan kematiannya - ialah luka bacokan di tengkuk. Luka
itu lebar dan dalam, berbentuk melengkung. Menurut dr. Abdul
Mun'im dari Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia (LKUI), si
pembunuh pasti mengayunkan goloknya, yang pasti amat tajam,
cukup keras sampai mematahkan tulang leher korban. Dan dari
bentuk luka yang melengkung itu, diperkirakan korban dibacok
ketika dalam posisi kepalanya tegak, saat berdiri atau duduk.
Jejak pembunuh sekretaris yang dikenal lincah dan pandai bergaul
itu, sampai pekan lalu belum diketahui. Polisi belum menemukan
petunjuk yang jelas, meski belasan orang, termasuk Yusuf Faisal,
suami korban telah dimintai keterangan. Semula memang ada
dugaan, Faisal tahu banyak tentang pembunuhan terhadap istrinya
itu. Soalnya, sejak Sari Dewi melahirkan anak ketiga, keretakan
dalam keluarga itu semakin parah: sering cekcok dan belakangan
mereka hanya berkomunikasi lewat surat bila ada sesuatu yang
hendak disampaikan. Keretakan keluarga kian meruncing setelah
dikabarkan Faisal menjalin hubungan intim dengan seorang
sekretaris di perusahaan yarig dipimpinnya.
Surat-surat pribadi itu, diantaranya, didapati terserak dekat
jenazah Dewi. Berdasar petunjuk itulah polisi semula menduga
korban dibunuh karena motif pribadi. Tapi menurut sebuah sumber
di kepolisian Jakarta, "masih terlalu pagi menyimpulkan
keretakan dalam keluarganya sebagai motif pembunuhan."
Orangtua Dewi pun, Kolonel Purnawirawan Abdul Hadi, tidak
menuduh Faisal terlibat. Yang disayangkan, sejak istrinya
meninggal, "Faisal belum pernah datang kepada kami," kata Nyonya
Hadi sedih, di rumahnya di bilangan Tebet, Jakarta Selatan. Sari
Dewi anak pertama dari 5 bersaudara. Lepas SMA, ia sempat masuk
Universitas Trisakti, lalu keluar dan kemudian menyelesaikan
studinya di Akademi Bahasa Asing jurusan Bahasa Inggris.
Polisi memang belum menemukan petunjuk keterlibatan Faisal,
meski telah diadakan pemeriksaan ulang. Malahan ada yang
menduga, Dewi dibunuh orang yang sengaja memancing di air keruh:
agar Faisal dituduh sebagai pelakunya. Dugaan lain lagi menyebut
bahwa kematian Dewi ada hubungan dengan "perdagangan gelap
emas". Di ruang kerja korban, polisi kabarnya menemukan dokumen
adanya perdagangan komoditi itu, dan Dewi konon masih punya
tagihan Rp 1,1 milyar. Selain menjadi sekretaris, Dewi memang
menjadi direktris pada PT Estetika. Tapi kata Nyonya Hadi,
ibunya, perusahaan itu bergerak dalam bidang kontraktor.
Masih ada beberapa dugaan lain yang dikembangkan berdasar
keterangan saksi dan bukti-bukti yang ditemukan polisi. Salah
satu kesulitan dalam melacak jejak pembunuh, menurut sebuah
sumber, karena tak ada sidik jari ditemukan di sekitar tempat
kejadian. Padahal, menurut Dokter Mun'im, bila identitas tentang
si pembunuh bisa diketahui, "boleh dibilang 50% perkara sudah
terbongkar."
Si pembunuh, menurut sumber yang tak mau disebut namanya itu,
sebenarnya bukan tak meninggalkan jejak sama sekali. Hanya saja,
jejak yang amat penting untuk penyidikan, sudah acak-acakan.
Richard direktur IRRI, misalnya, ditemani Nugroho - karyawan
hotel - yang datang ke kantor sekitar pukul 14.00, dan menjumpai
pintu kantornya tertutup, langsung membuka pintu dengan kunci
duplikat. Mayat Dewi, yang dikira ketiduran di kolong meja,
segera dibalik sehingga posisinya berubah.
Petugas dari kepolisian setempat, dari Kores Jakarta Pusat dan
tim dari Kodak VII Jaya, yang jumlahnya menjadi sangat banyak,
dikabarkan juga - lagi-lagi secara tak sengaja - telah
menghilangkan sidik jari pembunuh.
Si penjahat sendiri, tampaknya juga bukan pembunuh amatiran. Ia
sudah merencanakan segalanya secara matang. Misalnya, pembunuh
itu tahu persis, kapan saat Nyonya Dewi berada sendirian di
kantornya. Di saat itulah, antara pukul 10.30-14.00, setelah
teman korban, Mulia Hutapea, keluar ruangan, penjahat menyelinap
masuk. Diduga, berdasar keterangan petugas hotel yang sempat
dimintai api rokok, mereka berdua.
Tak jelas apa yang mula-mula dilakukan si pembunuh. Tapi, begitu
mereka selesai menjalankan pekerjaannya, dengan tenang mencuci
tangan di wastafel, bahkan bisa jadi juga mengganti baju yang
terciprat darah. Tak lupa ia memutuskan kabel dua buah telepon
di ruangan itu dengan menggunakan golok yang baru saja dipakai
menghabisi Dewi. Yang kurang ajar, pembunuh itu lalu meletakkan
golok yang panjangnya 40 cm dan berlumur darah di sebelah kiri
wastafel, dan sarungnya di sebelah kanan.
Ini menimbulkan dugaan, pembunuh ingin unjuk gigi pada orang
atau sekelompok orang, ia sudah berhasil melaksanakan niatnya.
"Kalau perbuatannya tak ingin diketahui, mestinya Dewi dibunuh
di tempat sepi bukan justru di tempat ramai dan di siang bolong
pula," kata sebuah sumber ahli.
Kebetulan, Hotel Sahid Jaya terletak berseberangan jalan dengan
tempat ditemukannya kardus berisi mayat terpotong tiga belas,
November 1981 lalu. Dan sampai kini, kasus yang menggemparkan
itu belum luga terungkap.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini