Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Wangsit di atas bukit

Kelompok kebatinan (yayasan argo dhalem), acip soemarto, membeli bukit-bukit kecil di lereng gunung lawu, dibangun sebagai tempat bersemedi. akan membangun makam umum di atas bukit. (pan)

23 April 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BUKIT Srondol di malam hari. Kelokan-kelokan Bengawan Solo terlihat samar. Di kejauhan, di lembah sana, Kota Karanganyar dan Solo sedang tidur berselimut cahaya lampu. Rumah-rumah peristirahatan di Tawangmangu bagaikan titik-titik kunang-kunang. Udara yang dingin tak menghalangi sekelompok orang mengadakan kegiatan kerohanian di bukit itu. Di dalam gubuk yang didirikan di atas bukit ini, mereka duduk melingkar di tikar. Di tengah lingkaran ada buku-buku lusuh: babad, kitab-kitab ramalan, dan buku-buku tembang dari Ronggowarsito - dan tentu saja buku-buku Kejauen. "Syarat diskusi tidak boleh ada pertengkaran," kata Alip Sumarto, 53 tahun, yang memimpin diskusi, sambil memandangi para peserta yang. kebanyakan datang dari luar wilayah Surakarta. Karena, "kebenaran yang diyakini manusia dalam kehidupan ini tak ada yang mutlak." Diskusi pun berlangsung. Semua tentang ikhwal kehidupan. Masing-masing peserta mencoba mengambil bagian - tapi tak sedikit yang hanya diam dan tampak asyik dengan pikirannya sendiri. Tepat tengah malam, pukul 00.00, diskusi dinyatakan selesai. Acara dilanjutkan dengan bersamadi. Alip yang pertama kali. Dengan kepala menunduk ia menuju sebuah batu besar dengan permukaan cukup lebar di luar gubuk - dan duduk di atasnya. Ia mengambil sikap bersila dengan mata terpejam. Mulutnya komat-kamit, mengeluarkan mantra yang tak jelas terdengar. "Saya menghadap Yang Tunggal dengan doa untuk diri saya dan untuk masyarakat. Doa untuk kehidupan," ujar Alip selesai bersamadi. Peserta-peserta lain menyusul bersamadi di tempat tadi, bergiliran, hingga pagi. Tapi tatkala matahari mulai muncul, beberapa orang terlihat tidur di atas batu menjemur diri. Acara itu berulang terus di Bukit Srondol setiap Kamis malam sampai Senin dinihari Setelah itu mereka kembali ke Kota Solo Bukit Srondol di lereng Gunung Lawu, Kabupaten Karanganyar, semula gersang tak terurus. Tapi Alip yang sudah mengenal bukit ini dan sering menyepi di sini, suatu malam, katanya, mendapat aangsit. Bukit itu, begitu katanya isi bisikan, bisa dijadikan sumber kehidupan, lahir dan batin. Maka di tahun 1976, bersama enam temannya ia membeli bukit seluas 16 ha itu dari tujuh orang pemilik. Harganya Rp 90 per meter. Alip mulai membenahi bukit. Setiap hari dikerahkan 20 tenaga, diambil dari petani Karang Plumbon, desa terdekat. Puncak bukit seluas 5.000 meter dipotong dan dibuat datar. Di sini ia membangun sarana bersamadi. Jalan menuju puncak dibuat berliku, selebar 3,5 meter dan diaspal pula. Terasering jalan cukup kokoh. Setelah semua itu selesai, lereng bukit mulai ditanami cengkih dan jeruk. Sementara di pinggir jalan berjajar pohon cemara. "Saya mengerahkan puluhan truk mengangkut pupuk kandang ke bukit itu," cerita Alip. Ia bertekad menyulap bukit tandus itu menjadi bukit yang subur. Pensiunan Bea dan Cukai ini tak mau menyebutkan berapa juta uang yang sudah dihabiskannya untuk mengubah bukit, termasuk membangun dua rumah diesel listrik dan rumah penjaga di atasnya. Sekarang keadaannya jadi lain, bukit yang subur itu sudah menghasilkan. Separuh cengkih yang ditanam mulai berbunga. Panen yang lalu menghasilkan Rp 4 juta. Kini Alip, mengaku sudah beruntung, karena pengeluarannya per tahun hanya Rp 3,6 juta, untuk membayar 22 petani yang mengurusi perkebunan itu, yang masing-masing menerima gaji Rp 17.500 sebulan ditambah makan dan pakaian. "Kegiatan saya di bukit itu adalah reboisasi. Jadi bukan kegiatan macam-macam yang merugikan negara," kata Alip, bekas Tentara Pelajar itu. Pernyataan ini agaknya perlu, karena kegiatan di atas bukit itu - diskusi dan samadi - sempat disorot sejumlah pejabat di daerah itu, bahkan sampai di pusat. Permohonan Alip ke bank untuk mendapatkan kredit memperluas tanaman cengkih ditolak, karena menurut dia "ada hubungannya dengan kecurigaan di atas bukit". Padahal, "kegiatan spritual di bukit Srondol hanya untuk kelompok kecil," ujar Alip. Petani yang menggarap perkebunan itu misalnya, tak ada yang ikut-ikutan dalam diskusi maupun samadi. Kelompokitupun tidak diberi nama dan jumlah anggotanya yang tetap hanya 10 orang. Alip lebih senang menyebut "kelompok kebatinan" dan ia mengaku tak pernah bergabung dengan grup-grup paranormal yang kini sedang muncul di mana-mana. Kepala Desa Karang Plumbon, Kasimin, 43 tahun, mengakui semua itu. "Usaha Pak Alip memberi pekerjaan kepada penduduk di sini," katanya. "Pak Alip itu hebat, tak disangka bukit itu menjadi bagus dan menghasilkan," komentar Darsiman, penduduk Plumbon yang mengaku tak terganggu oleh kegiatan di atas bukit itu. Tak hanya Bukit Srondol yang menghasilkan "kegiatan rohani" malam hari di lereng Gunung Lawu. Bukit Dompyong, tetangganya, juga ramai di malam hari dengan kegiatan kebatinan. Bedanya, kalau Alip Sumarto sampai membeli bukit, Hardjanto Prodjopangarso yang bermarkas di Dompyong hanya numpang tempat. Bukit Dompyong kepunyaan carik Desa Pengging. Di atasnya dibangun padepokan, terdiri dari rumah tembok ukuran 5 x 7 meterdan tenda-tenda seperti untuk orang berkemah. Banyak orang asing mendatangi Bukit Dompyong. "Mereka belajar kebudayaan Jawa, mereka datang sendiri, bukan saya mengundang," kata Hardjanto, 57 tahun. Barangkali karena Hardjanto menguasai bahasa Inggris dengan baik, orang asing yang datang, dan Amenka, Inggris dan Austraha itu, tertarik pada kebatinan. Juga dikupas di sana berbagai ramalan Jayabaya dan buku Ronggowarsito serta Yosodipuro tentang mistik Jawa (Kejawen). Diskusi di Dompyong tak disertai samadi seperti di Bukit Srondol. Sambil makan roti, tamu asing itu boleh ikut bersamadi gaya Hardjanto, boleh juga cuma menonton. Hardjanto yang mengaku sejak muda suka pada kebatinan, kalau bersamadi selalu disertai membakar kemenyan yang dikitari sajen-sajen dari bunga warna-warni. Ia juga mengalunkan tembang. Dalam perkara mengupas tembang-tembang di dalam bahasa Inggris itulah, katanya, orang-orang asing tadi benar-benar terpukau. "Mereka betah di sini sampai tiga atau empat hari," kata Hardjanto. Bukit Dompyong yang luasnya 4,5 hektar itu tidak ditanami tanaman produktif seperti Srondol. Hardjanto pun tampaknya tak suka berkebun. Penerangan listrik diambil dari desa terdekat. Apa yang dicarinya? "Saya tak ingin lepas dari kehidupan masyarakat, tetapi saya tak bisa berbuat seperti orang lain dalam membantu masyarakat," kata orang yang dikenal tokoh dalam kebatinan itu. Sebagai contoh, ketika SU MPR tempo hari, Hardjanto menulis paper berjudul "Pembangunan manusia Indonesia seutuhnya" setebal 24 halaman. Setelah diperbanyak, ia kirimkan kepada semua anggota MPR yang bersidang. Di situ ia mengupas masalah politik dan kemasyarakatan secara kebatinan. Bagaimana reaksi anggota MPR? "Tak ada tanggapan apa-apa," keluhnya. Masih di kawasan Gunung Lawu, ada dua bukit lagi, Bukit Secengger dan Bukit Gua Macan. Penduduk sekitarnya sering menyaksikan sekelompok orang berduyunduyun datang ke atas bukit itu. Tetapi tidak ada tempat khusus untuk kegiatan kebatinan di sana dan belum jelas siapa pemimpinnya. Penduduk di sana menduga orangorang itu mungkin sedang menjajaki kemungkinan dua bukit itu dijadikan tempat kegiatan kebatinan. Menurut seorang penduduk, memang banyak "orang kota" yang menanyakan apakah tanah-tanah di atas bukit-bukit itu bisa dibeli. Tentu saja bisa, asal harganya cocok. Sumaryono, 39 tahun staf Bangdes Pemda Karanganyar menyebutkan, siapa pun boleh membeli bukit yang rata-rata tandus itu. "Bukit itu adalah milik perorangan, boleh saJa dibeli," katanya. Tetapi Alip Soemarto mengaku sudah sulit membeli tanah bukit di sekitar itu. Tak dijelaskannya mengapa. Tapi kepada Kastoyo Ramelan dari TEMPO, Alip menuturkan rencananya membeli bukit yang lebih tinggi dari Srondol. Luasnya sekitar 5 hektar. Untuk apa lagi? "Di sana saya akan membangun makam dan masjid," katanya dengan yakin. "Makam untuk umum, siapa saja boleh berkubur di sana." Bersama kelompoknya, Alip sudah membentuk Yayasan Argo Dhalem, resminya menolong bekas Tentara Pelajar (TP) yang kini hidup susah. Yayasan ini kini memiliki lima mobil jenazah dan dioperasikan di Sala dan Karanganyar. "Bila keluarga TP meninggal, mobil itu dipinjamkan gratis. Di luar anggota TP bayar sekadarnya," kata Alip yang istri dan anaknya tinggal di Jakarta. Jika bukit yang lebih tinggi dari Srondol berhasil dibeli kelompok ini, yayasan itu diperkirakan akan lebih banyak menyedot "dana" untuk amal. Alip dengan sedikit bergurau menyebutkan banyak orang yang ingin dikubur d atas bukit, apalagi bukit lereng Gunung Lawu, Karanganyar, yang terkenal dengan "kekeramatannya". Sayang ia tak mengungkapkan contoh-contoh kekeramatan kawasan itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus