BUKIT Srondol di malam hari. Kelokan-kelokan Bengawan Solo
terlihat samar. Di kejauhan, di lembah sana, Kota Karanganyar
dan Solo sedang tidur berselimut cahaya lampu. Rumah-rumah
peristirahatan di Tawangmangu bagaikan titik-titik
kunang-kunang.
Udara yang dingin tak menghalangi sekelompok orang mengadakan
kegiatan kerohanian di bukit itu. Di dalam gubuk yang didirikan
di atas bukit ini, mereka duduk melingkar di tikar. Di tengah
lingkaran ada buku-buku lusuh: babad, kitab-kitab ramalan, dan
buku-buku tembang dari Ronggowarsito - dan tentu saja buku-buku
Kejauen. "Syarat diskusi tidak boleh ada pertengkaran," kata
Alip Sumarto, 53 tahun, yang memimpin diskusi, sambil memandangi
para peserta yang. kebanyakan datang dari luar wilayah
Surakarta. Karena, "kebenaran yang diyakini manusia dalam
kehidupan ini tak ada yang mutlak."
Diskusi pun berlangsung. Semua tentang ikhwal kehidupan.
Masing-masing peserta mencoba mengambil bagian - tapi tak
sedikit yang hanya diam dan tampak asyik dengan pikirannya
sendiri.
Tepat tengah malam, pukul 00.00, diskusi dinyatakan selesai.
Acara dilanjutkan dengan bersamadi. Alip yang pertama kali.
Dengan kepala menunduk ia menuju sebuah batu besar dengan
permukaan cukup lebar di luar gubuk - dan duduk di atasnya. Ia
mengambil sikap bersila dengan mata terpejam. Mulutnya
komat-kamit, mengeluarkan mantra yang tak jelas terdengar. "Saya
menghadap Yang Tunggal dengan doa untuk diri saya dan untuk
masyarakat. Doa untuk kehidupan," ujar Alip selesai bersamadi.
Peserta-peserta lain menyusul bersamadi di tempat tadi,
bergiliran, hingga pagi. Tapi tatkala matahari mulai muncul,
beberapa orang terlihat tidur di atas batu menjemur diri.
Acara itu berulang terus di Bukit Srondol setiap Kamis malam
sampai Senin dinihari Setelah itu mereka kembali ke Kota Solo
Bukit Srondol di lereng Gunung Lawu, Kabupaten Karanganyar,
semula gersang tak terurus. Tapi Alip yang sudah mengenal bukit
ini dan sering menyepi di sini, suatu malam, katanya, mendapat
aangsit. Bukit itu, begitu katanya isi bisikan, bisa dijadikan
sumber kehidupan, lahir dan batin. Maka di tahun 1976, bersama
enam temannya ia membeli bukit seluas 16 ha itu dari tujuh orang
pemilik. Harganya Rp 90 per meter.
Alip mulai membenahi bukit. Setiap hari dikerahkan 20 tenaga,
diambil dari petani Karang Plumbon, desa terdekat. Puncak bukit
seluas 5.000 meter dipotong dan dibuat datar. Di sini ia
membangun sarana bersamadi.
Jalan menuju puncak dibuat berliku, selebar 3,5 meter dan
diaspal pula. Terasering jalan cukup kokoh. Setelah semua itu
selesai, lereng bukit mulai ditanami cengkih dan jeruk.
Sementara di pinggir jalan berjajar pohon cemara. "Saya
mengerahkan puluhan truk mengangkut pupuk kandang ke bukit itu,"
cerita Alip. Ia bertekad menyulap bukit tandus itu menjadi bukit
yang subur.
Pensiunan Bea dan Cukai ini tak mau menyebutkan berapa juta uang
yang sudah dihabiskannya untuk mengubah bukit, termasuk
membangun dua rumah diesel listrik dan rumah penjaga di atasnya.
Sekarang keadaannya jadi lain, bukit yang subur itu sudah
menghasilkan. Separuh cengkih yang ditanam mulai berbunga. Panen
yang lalu menghasilkan Rp 4 juta. Kini Alip, mengaku sudah
beruntung, karena pengeluarannya per tahun hanya Rp 3,6 juta,
untuk membayar 22 petani yang mengurusi perkebunan itu, yang
masing-masing menerima gaji Rp 17.500 sebulan ditambah makan dan
pakaian.
"Kegiatan saya di bukit itu adalah reboisasi. Jadi bukan
kegiatan macam-macam yang merugikan negara," kata Alip, bekas
Tentara Pelajar itu.
Pernyataan ini agaknya perlu, karena kegiatan di atas bukit itu
- diskusi dan samadi - sempat disorot sejumlah pejabat di daerah
itu, bahkan sampai di pusat. Permohonan Alip ke bank untuk
mendapatkan kredit memperluas tanaman cengkih ditolak, karena
menurut dia "ada hubungannya dengan kecurigaan di atas bukit".
Padahal, "kegiatan spritual di bukit Srondol hanya untuk
kelompok kecil," ujar Alip. Petani yang menggarap perkebunan itu
misalnya, tak ada yang ikut-ikutan dalam diskusi maupun samadi.
Kelompokitupun tidak diberi nama dan jumlah anggotanya yang
tetap hanya 10 orang. Alip lebih senang menyebut "kelompok
kebatinan" dan ia mengaku tak pernah bergabung dengan grup-grup
paranormal yang kini sedang muncul di mana-mana.
Kepala Desa Karang Plumbon, Kasimin, 43 tahun, mengakui semua
itu. "Usaha Pak Alip memberi pekerjaan kepada penduduk di sini,"
katanya. "Pak Alip itu hebat, tak disangka bukit itu menjadi
bagus dan menghasilkan," komentar Darsiman, penduduk Plumbon
yang mengaku tak terganggu oleh kegiatan di atas bukit itu.
Tak hanya Bukit Srondol yang menghasilkan "kegiatan rohani"
malam hari di lereng Gunung Lawu. Bukit Dompyong, tetangganya,
juga ramai di malam hari dengan kegiatan kebatinan. Bedanya,
kalau Alip Sumarto sampai membeli bukit, Hardjanto
Prodjopangarso yang bermarkas di Dompyong hanya numpang tempat.
Bukit Dompyong kepunyaan carik Desa Pengging. Di atasnya
dibangun padepokan, terdiri dari rumah tembok ukuran 5 x 7
meterdan tenda-tenda seperti untuk orang berkemah. Banyak orang
asing mendatangi Bukit Dompyong. "Mereka belajar kebudayaan
Jawa, mereka datang sendiri, bukan saya mengundang," kata
Hardjanto, 57 tahun. Barangkali karena Hardjanto menguasai
bahasa Inggris dengan baik, orang asing yang datang, dan Amenka,
Inggris dan Austraha itu, tertarik pada kebatinan. Juga dikupas
di sana berbagai ramalan Jayabaya dan buku Ronggowarsito serta
Yosodipuro tentang mistik Jawa (Kejawen).
Diskusi di Dompyong tak disertai samadi seperti di Bukit
Srondol. Sambil makan roti, tamu asing itu boleh ikut bersamadi
gaya Hardjanto, boleh juga cuma menonton. Hardjanto yang mengaku
sejak muda suka pada kebatinan, kalau bersamadi selalu disertai
membakar kemenyan yang dikitari sajen-sajen dari bunga
warna-warni. Ia juga mengalunkan tembang. Dalam perkara mengupas
tembang-tembang di dalam bahasa Inggris itulah, katanya,
orang-orang asing tadi benar-benar terpukau. "Mereka betah di
sini sampai tiga atau empat hari," kata Hardjanto.
Bukit Dompyong yang luasnya 4,5 hektar itu tidak ditanami
tanaman produktif seperti Srondol. Hardjanto pun tampaknya tak
suka berkebun. Penerangan listrik diambil dari desa terdekat.
Apa yang dicarinya? "Saya tak ingin lepas dari kehidupan
masyarakat, tetapi saya tak bisa berbuat seperti orang lain
dalam membantu masyarakat," kata orang yang dikenal tokoh dalam
kebatinan itu.
Sebagai contoh, ketika SU MPR tempo hari, Hardjanto menulis
paper berjudul "Pembangunan manusia Indonesia seutuhnya" setebal
24 halaman. Setelah diperbanyak, ia kirimkan kepada semua
anggota MPR yang bersidang. Di situ ia mengupas masalah politik
dan kemasyarakatan secara kebatinan. Bagaimana reaksi anggota
MPR? "Tak ada tanggapan apa-apa," keluhnya.
Masih di kawasan Gunung Lawu, ada dua bukit lagi, Bukit
Secengger dan Bukit Gua Macan. Penduduk sekitarnya sering
menyaksikan sekelompok orang berduyunduyun datang ke atas bukit
itu. Tetapi tidak ada tempat khusus untuk kegiatan kebatinan di
sana dan belum jelas siapa pemimpinnya. Penduduk di sana menduga
orangorang itu mungkin sedang menjajaki kemungkinan dua bukit
itu dijadikan tempat kegiatan kebatinan. Menurut seorang
penduduk, memang banyak "orang kota" yang menanyakan apakah
tanah-tanah di atas bukit-bukit itu bisa dibeli.
Tentu saja bisa, asal harganya cocok. Sumaryono, 39 tahun staf
Bangdes Pemda Karanganyar menyebutkan, siapa pun boleh membeli
bukit yang rata-rata tandus itu. "Bukit itu adalah milik
perorangan, boleh saJa dibeli," katanya.
Tetapi Alip Soemarto mengaku sudah sulit membeli tanah bukit di
sekitar itu. Tak dijelaskannya mengapa. Tapi kepada Kastoyo
Ramelan dari TEMPO, Alip menuturkan rencananya membeli bukit
yang lebih tinggi dari Srondol. Luasnya sekitar 5 hektar. Untuk
apa lagi? "Di sana saya akan membangun makam dan masjid,"
katanya dengan yakin. "Makam untuk umum, siapa saja boleh
berkubur di sana."
Bersama kelompoknya, Alip sudah membentuk Yayasan Argo Dhalem,
resminya menolong bekas Tentara Pelajar (TP) yang kini hidup
susah. Yayasan ini kini memiliki lima mobil jenazah dan
dioperasikan di Sala dan Karanganyar. "Bila keluarga TP
meninggal, mobil itu dipinjamkan gratis. Di luar anggota TP
bayar sekadarnya," kata Alip yang istri dan anaknya tinggal di
Jakarta.
Jika bukit yang lebih tinggi dari Srondol berhasil dibeli
kelompok ini, yayasan itu diperkirakan akan lebih banyak
menyedot "dana" untuk amal. Alip dengan sedikit bergurau
menyebutkan banyak orang yang ingin dikubur d atas bukit,
apalagi bukit lereng Gunung Lawu, Karanganyar, yang terkenal
dengan "kekeramatannya". Sayang ia tak mengungkapkan
contoh-contoh kekeramatan kawasan itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini