SEORANG petugas Badan Sensor Film (BSF) secara diam-diam
menyaksikan pemutaran triler film Vengeanced of the Godfather di
bioskop Djakarta Theater. Film ini menurut ingatan dan catatan
si petugas belum pernah mampir ke BSF -- walaupun gedung sensor
terhitung masih tetangga dekat bioskop mewah itu.
BSF bertindak. 'Untungnya pihak bioskop koperatif", kata H.A.
Karim, Sekretaris BSF. Rupanya tak hanya triler, seperti diakui
terus-terang oleh penanggungjawab bioskop, filmnya sendiri sudah
ada dan siap putar di sana. Tapi katanya, oleh importirnya film
Italia tersebut dilengkapi dokumen yang disebut STLS (Surat
Tanda Lulus Sensor) seperti yang lazim dikeluarkan BSF. Kok bisa
terjadi begitu?
Setelah diteliti, ternyata STLS untuk film yang diimpor PT.
Putra Dharma tersebut palsu. Pemiliknya yang bernama Budiono,
pengusaha film dari Surabaya, menurut Karim tengah diusut
polisi.
Tjia Eng Pho
Menurut Ketua Pelaksana BSF, Soemarmo, badan sensor mempunyai
cukup banyak bukti adanya kegiatan pengedaran film model begitu.
Bahkan, "pemalsuan STLS akhir-akhir ini menyolok sekali,"
katanya. Yang kepergok misalnya film Mandarin macam Adventure in
Denmark, The Hero, The Boxer from Shantung, Duel of Karate,
Deadly Fist, Gold Snarcbers dan King of Boxer. Belum lagi
film-film Italia macam yang tertangkap basah seperti di atas dan
Sex Italian Girls. Atau film Yunani yang berjudul Love in Blood.
Pasaran empuk film tanpa sensor begitu, menurut Soemarmo, adalah
kota-kota di Sumatera Utara, Sulawesi Selatan dan Utara. Juga
daerah lain di Indonesia bagian timur, yang dianggap tak
terjangkau oleh mata BSF. Namun Jakarta juga tak mereka
lewatkan.
Misalnya kasus film The Boxer from Shantung dan The Hero. Kedua
film ini sebenarnya sudah sejak 1970-an, beredar secara sah di
Jakarta setelah beberapa adegan termakan sensor. Tapi bioskop
Benhil di Bendungan Hilir masih juga menyuguhkan film 'lama'
tersebut kepada penonton, dalam rangka menyambut Tahun Baru
1979. Penonton berjubel. Tak aneh, sebab yang diputar adalah
kopy baru dari film lama tersebut. Lebih menarik lagi adegannya
banyak lain dari yang pernah disensor sebelumnya. Kedua film
Mandarin yang diputar belakangan ini ternyata utuh: tak ada
bagian seru yang dipotong sensor dan teks bahasa Indonesianya
juga sudah memakai ejaan baru.
BSF mencium ketidakberesan tersebut. Polisipun diminta untuk
bertindak. Ada 11 rol kedua film eks Hongkong itu disita dan
ditahan bersama pemiliknya, Yulius alias Tjia Eng Pho.
Tuduhannya menurut Ketua BSF, mengedarkan film tanpa lebih dulu
ditonton anggota badan sensor. STLS? Ada. Tapi palsu!
12 Pebruari lalu Pengadilan Negeri Jakarta Pusat selesai
bersidang. Yulius dinyatakan bersalah. Tapi menurut pandangan
orang badan sensor, hukumannya terlalu enteng hukuman penjara 3
bulan dengan masa percobaan 6 bulan. Agak disesalkan tak ada
seorang pejabat BSF pun yang ditampilkan sebagai saksi dalam
perkara ini -- untuk memberikan kesaksian, betapa luas akibatnya
bagi penonton yang disuguhi film tanpa disensor terlebih dulu.
Malahan Hakim Heru Gunawan juga memerintahkan agar ke 11 rol
film itu dikembalikan lagi kepada si terhukum.
Beberapa perkara lain yang menyangkut STLS palsu, juga sudah
siap ke pengadilan. Misalnya terhadap perkara Muliadi Sila,
penanggungjawab CV. Indo Film Ujung Pandang. Tersangka pengedar
film antara lain Sex Italian Girls, Duel of Karate, Paris Killer
dengan surat sensor palsu. Dalam pemeriksaan, kelihatannya
pengedar macam Muliadi Sila tersebut bermaksud cuci tangan.
Mereka selalu hanya mengaku sebagai pengedar saja. Film berikut
surat sensor, katanya, dibeli dari seseorang (misalnya disebut
nama Steffan) tanpa alamat jelas (hanya disebut di Jalan
Gajahmada Jakarta saja). Nama itu ternyata juga tak ada orangnya
pada alamat yang disebutkan.
Tak hanya film impor saja rupanya yang dipalsukan STLS nya. Film
Indonesia, Ya Allah Ampunilab Dosaku, juga beredar dengan surat
sensor palsu. Film yang diedarkan PT. Mayer Film di Jawa Timur
ini sebenarnya telah lulus sensor dan dinyatakan BSF khusus
untuk tontonan orang dewasa (17 tahun ke atas). Namun seperti
hasil pengusutan polisi yang diketahui BSF, dengan STLS palsu
yang menyebut boleh ditonton untuk umur 13 tahun ke atas, film
itu diedarkan untuk konsumsi anak-anak.
"Grafik pemalsuan surat sensor menanjak sejak 1976," kata
Soemarmo. Pemalsuan STLS sangat lengkap. Mulai dari kartu
(formulir) surat tanda lulus sensor itu sendiri, sampai cap BSF,
nomor, tanda tangan ketua badan sensor, kelas umur penonton,
sampai penggantian judul film.
Sampai Ke Pagar
BSF dalam keadaan sulit juga untuk menangkap basah pemalsuan
serupa itu. Memang ada petugasnya yang bertindak sebagai spion.
Iklan-iklan film di ibukota dan daerah cukup berguna sebagai
sumber informasi. Instansi resmi, seperti Kantor Wilayah
Departemen Penerangan dan Bapfida (Badan Pengawasan Perfilman
Daerah), juga ikut mengawasi peredaran film. Tapi bicara soal
wewenang bertindak, "kekuasaan BSF tak lebih luas sampai ke
pagar gedung ini saa." Begitu Soemarmo sambil menunjuk pagar
kantornya di belakang Toserba Sarinah Jakarta.
Padahal pemalsuan surat sensor menurut Soemarmo, mempunyai
kaitan dengan urusan yang lebih luas: penyelundupan film! Sebab
bukankah film yang masuknya ke mari secara terang, tentunya akan
terus langsung berurusan dengan gunting BSF sebelum importirnya
sendiri mengajak keluarga & relasinya menonton? Jadi, pemalsuan
surat sensor "hampir dipastikan berkaitan dengan kegiatan
penyelundupan film," kata Soemarmo.
Lebih dari itu menurut Sekretaris BSF A.Karim keburukan film
yang beredar tanpa sensor itu dapat berakibat luas dan serius
terutama bagi penonton di bawah umur. Sebab yang beredar katanya
"kebanyakan film-film sex, yang menurut ukuran badan sensor
mestinya kena gunting."
Memang ada satu dua pengedar yang berlagak mengguntingi adegan
jorok filmya. Tapi lanjut Karim, "yang pasti untuk tujuan
mencari uang" maka tontonan yang pasti diharamkan BSF tetap saja
menyolok.
Atau adakah 'kejahatan' semacam itu belum patut dianggap satu
kesalahan?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini