Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Film, Yang Palsu Dan Penyelundupan

Banyak film impor yang diputar menggunakan surat tanda lolos sensor palsu, juga film Indonesia. Polisi pun bertindak, tapi BSF sendiri mengalami kesulitan. (krim)

14 April 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEORANG petugas Badan Sensor Film (BSF) secara diam-diam menyaksikan pemutaran triler film Vengeanced of the Godfather di bioskop Djakarta Theater. Film ini menurut ingatan dan catatan si petugas belum pernah mampir ke BSF -- walaupun gedung sensor terhitung masih tetangga dekat bioskop mewah itu. BSF bertindak. 'Untungnya pihak bioskop koperatif", kata H.A. Karim, Sekretaris BSF. Rupanya tak hanya triler, seperti diakui terus-terang oleh penanggungjawab bioskop, filmnya sendiri sudah ada dan siap putar di sana. Tapi katanya, oleh importirnya film Italia tersebut dilengkapi dokumen yang disebut STLS (Surat Tanda Lulus Sensor) seperti yang lazim dikeluarkan BSF. Kok bisa terjadi begitu? Setelah diteliti, ternyata STLS untuk film yang diimpor PT. Putra Dharma tersebut palsu. Pemiliknya yang bernama Budiono, pengusaha film dari Surabaya, menurut Karim tengah diusut polisi. Tjia Eng Pho Menurut Ketua Pelaksana BSF, Soemarmo, badan sensor mempunyai cukup banyak bukti adanya kegiatan pengedaran film model begitu. Bahkan, "pemalsuan STLS akhir-akhir ini menyolok sekali," katanya. Yang kepergok misalnya film Mandarin macam Adventure in Denmark, The Hero, The Boxer from Shantung, Duel of Karate, Deadly Fist, Gold Snarcbers dan King of Boxer. Belum lagi film-film Italia macam yang tertangkap basah seperti di atas dan Sex Italian Girls. Atau film Yunani yang berjudul Love in Blood. Pasaran empuk film tanpa sensor begitu, menurut Soemarmo, adalah kota-kota di Sumatera Utara, Sulawesi Selatan dan Utara. Juga daerah lain di Indonesia bagian timur, yang dianggap tak terjangkau oleh mata BSF. Namun Jakarta juga tak mereka lewatkan. Misalnya kasus film The Boxer from Shantung dan The Hero. Kedua film ini sebenarnya sudah sejak 1970-an, beredar secara sah di Jakarta setelah beberapa adegan termakan sensor. Tapi bioskop Benhil di Bendungan Hilir masih juga menyuguhkan film 'lama' tersebut kepada penonton, dalam rangka menyambut Tahun Baru 1979. Penonton berjubel. Tak aneh, sebab yang diputar adalah kopy baru dari film lama tersebut. Lebih menarik lagi adegannya banyak lain dari yang pernah disensor sebelumnya. Kedua film Mandarin yang diputar belakangan ini ternyata utuh: tak ada bagian seru yang dipotong sensor dan teks bahasa Indonesianya juga sudah memakai ejaan baru. BSF mencium ketidakberesan tersebut. Polisipun diminta untuk bertindak. Ada 11 rol kedua film eks Hongkong itu disita dan ditahan bersama pemiliknya, Yulius alias Tjia Eng Pho. Tuduhannya menurut Ketua BSF, mengedarkan film tanpa lebih dulu ditonton anggota badan sensor. STLS? Ada. Tapi palsu! 12 Pebruari lalu Pengadilan Negeri Jakarta Pusat selesai bersidang. Yulius dinyatakan bersalah. Tapi menurut pandangan orang badan sensor, hukumannya terlalu enteng hukuman penjara 3 bulan dengan masa percobaan 6 bulan. Agak disesalkan tak ada seorang pejabat BSF pun yang ditampilkan sebagai saksi dalam perkara ini -- untuk memberikan kesaksian, betapa luas akibatnya bagi penonton yang disuguhi film tanpa disensor terlebih dulu. Malahan Hakim Heru Gunawan juga memerintahkan agar ke 11 rol film itu dikembalikan lagi kepada si terhukum. Beberapa perkara lain yang menyangkut STLS palsu, juga sudah siap ke pengadilan. Misalnya terhadap perkara Muliadi Sila, penanggungjawab CV. Indo Film Ujung Pandang. Tersangka pengedar film antara lain Sex Italian Girls, Duel of Karate, Paris Killer dengan surat sensor palsu. Dalam pemeriksaan, kelihatannya pengedar macam Muliadi Sila tersebut bermaksud cuci tangan. Mereka selalu hanya mengaku sebagai pengedar saja. Film berikut surat sensor, katanya, dibeli dari seseorang (misalnya disebut nama Steffan) tanpa alamat jelas (hanya disebut di Jalan Gajahmada Jakarta saja). Nama itu ternyata juga tak ada orangnya pada alamat yang disebutkan. Tak hanya film impor saja rupanya yang dipalsukan STLS nya. Film Indonesia, Ya Allah Ampunilab Dosaku, juga beredar dengan surat sensor palsu. Film yang diedarkan PT. Mayer Film di Jawa Timur ini sebenarnya telah lulus sensor dan dinyatakan BSF khusus untuk tontonan orang dewasa (17 tahun ke atas). Namun seperti hasil pengusutan polisi yang diketahui BSF, dengan STLS palsu yang menyebut boleh ditonton untuk umur 13 tahun ke atas, film itu diedarkan untuk konsumsi anak-anak. "Grafik pemalsuan surat sensor menanjak sejak 1976," kata Soemarmo. Pemalsuan STLS sangat lengkap. Mulai dari kartu (formulir) surat tanda lulus sensor itu sendiri, sampai cap BSF, nomor, tanda tangan ketua badan sensor, kelas umur penonton, sampai penggantian judul film. Sampai Ke Pagar BSF dalam keadaan sulit juga untuk menangkap basah pemalsuan serupa itu. Memang ada petugasnya yang bertindak sebagai spion. Iklan-iklan film di ibukota dan daerah cukup berguna sebagai sumber informasi. Instansi resmi, seperti Kantor Wilayah Departemen Penerangan dan Bapfida (Badan Pengawasan Perfilman Daerah), juga ikut mengawasi peredaran film. Tapi bicara soal wewenang bertindak, "kekuasaan BSF tak lebih luas sampai ke pagar gedung ini saa." Begitu Soemarmo sambil menunjuk pagar kantornya di belakang Toserba Sarinah Jakarta. Padahal pemalsuan surat sensor menurut Soemarmo, mempunyai kaitan dengan urusan yang lebih luas: penyelundupan film! Sebab bukankah film yang masuknya ke mari secara terang, tentunya akan terus langsung berurusan dengan gunting BSF sebelum importirnya sendiri mengajak keluarga & relasinya menonton? Jadi, pemalsuan surat sensor "hampir dipastikan berkaitan dengan kegiatan penyelundupan film," kata Soemarmo. Lebih dari itu menurut Sekretaris BSF A.Karim keburukan film yang beredar tanpa sensor itu dapat berakibat luas dan serius terutama bagi penonton di bawah umur. Sebab yang beredar katanya "kebanyakan film-film sex, yang menurut ukuran badan sensor mestinya kena gunting." Memang ada satu dua pengedar yang berlagak mengguntingi adegan jorok filmya. Tapi lanjut Karim, "yang pasti untuk tujuan mencari uang" maka tontonan yang pasti diharamkan BSF tetap saja menyolok. Atau adakah 'kejahatan' semacam itu belum patut dianggap satu kesalahan?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus