RUMAH SAKIT Jiwa umumnya dianggap untuk orang dewasa. Khusus di
Grogol, Jakarta, RS itu juga menyediakan klinik untuk anak-anak,
yang satu-satunya milik negara di Indonesia.
Poliklinik Psikiatri Anak dan Remaja demikian namanya, berdiri
sejak 1974. Sesungguhnya banyak kebutuhan akan klinik begitu,
tapi tenaga psikiater terbatas sekali di kota-kota lainnya di
Indonesia. Terutama psikiater anak masih berjumlah 10 orang, dan
semua itu menumpuk pula di Jakarta.
Penderita penyakit jiwa di antara anak-anak usia 3-5 tahun,
menurut laporan WHO (Organisasi Kesehatan Dunia) tahun 1977,
berkisar 5-15% di negara-negara maju, dan diperkirakan sama di
negara-negara berkembang. Laporan ini masih memprihatinkan dalam
menyambut Tahun Internasional Anak sekarang. Kalau di Indonesia
10% saja, demikian dr Ibrahim Nuriawangsa dari FK-UGM
Yogyakarta seperti dikutip Antara, sedikitnya 5,4 juta anak yang
menderita berbagai problima psikiatrik.
Jumlah sebanyak itu belum menonjol, antara lain karena
poliklinik psikiatri anak itu sendiri masih sesuatu yang baru di
Indonesia. Apalagi, kata dr Nyoman Segel, Direktur RS Jiwa
Jakarta pada Nadjib Salim dari TEMPO, "masih banyak orangtua
yang tidak mau tahu bahwa anaknya terkena gejala penyakit
jiwa."
Untuk Yang Atas
Namun di Jakarta, poliklinik psikiatri anak yang milik swasta
sudah sebanyak belasan, suatu pertanda bahwa meningkat
kebutuhan masyarakat untuk itu.
Tapi poliklinik milik swasta itu umumnya hanya terjangkau oleh
masyarakat golongan menengah ke atas. Klinik Wijaya Kusumah yang
mangkal di gedung pertokoan Duta Merlin, misalnya, mengutip
pembayaran Rp 5000 untuk sekali konsultasi.
"Mereka datang ke sini meminta nasehat cara membimbing anak,"
kata dr D. Hidayat di Wijaya Kusumah itu. "Atau mengeluh tentang
perubahan tingkah laku anak. Adakalanya itu karena ulah orangtua
sendiri yang terlalu lanyak menuntut si anak supaya les musik,
les renang, bahasa Inggeris dan macam-macam lainnya."
Di RS Jiwa Jakarta yang milik negara, poliklinik psikiatri anak
cuma mengutip Rp 200 untuk sekali konsultasi. Kepalanya, dr
Betty Harjawana, mengatakan mereka yang datang ke situ umumnya
dari golongan bawah, "sedikit saja dari golongan menengah."
Agak lumayan jumlah fasilitasnya, termasuk berbagai alat mainan,
lapangan mainan khusus seperti layaknya di suatu taman
kanak-kanak. Semua itu digunakan untuk mengobservasi tingkah
laku si anak.
Untuk remaja? "Biasanya terapi bagi remaja kami lakukan dengan
cara menginterpiu, mengajaknya mengobrol, atau bisa juga family
therapy," kata dr Betty. Dijelaskannya bahwa keluarga si pasien
pun diwawancarai. "Sering terjadi, setelah diadakan penelitian,
ternyata orangtuanya pun mengalami tekanan jiwa."
Banyak dijumpai kasus gangguan jiwa anak di situ. Contoh:
Seorang gadis cilik berpakaian Pramuka, asyik dengan bonekanya.
Ia tidak mau berbicara walaupun tidak bisu. Disuruh membaca
keras, ia tidak mau. Emoh disuruh menyanyi. Juga tidak mau
disuruh menulis di papan tulis. Anak itu tadinya terlalu
dimanja, terpisah hidupnya, tidak boleh diganggu oleh
kakak-kakaknya, tidak pula mengenal lingkungan di luar keluarga
sendiri. Pasien begini, menurut dokter, masih bisa disembuhkan.
Selain gangguan tingkah laku, banyak pula yang mengalami
kelambatan (retardasi) mental. Pusat saraf si anak tidak
berfungsi sebagaimana mestinya, mungkin karena infeksi pada
otaknya. Mungkin juga karena ibunya kurang hati-hati ketika
mengandung, seperti salah meminum obat, atau karena kekurangan
gizi. Kasus begini, demikian dr Betty, "tidak bisa sembuh. Kita
hanya bisa melatihnya agar tidak terlalu tergantung pada orang
lain."
Departemen Kesehatan menjadikan poliklinik tadi sebagai 'model'
untuk diterapkan pula nanti di daerah-daerah. Ia sekaligus
dijadikan pusat latihan bagi dokter jiwa yang memperdalam bidang
psikiatri anak.
Namun perkembangan poliklinik jiwa anak masih sukar diharapkan
secara cepat dari Depkes. Prioritasnya jelas ditujukan untuk
menyediakan pelayanan kesehatan lainnya yang lebih mendesak bagi
masyarakat -- seperti menanggulangi penyakit infeksi, muntaber
dan wabah lainnya. Buktinya, banyak slogan yang dikaitkannya
dengan 7 April, Hari Kesehatan Sedunia ke-31 -- sekali ini
memakai thema Tahun Internasional Anak -- tidak menyinggung
kesehatan jiwa anak secara langsung.
Secara tidak langsung, pentingnya kesehatan jiwa anak mungkin
dijumpai juga dalam slogan utamanya: Anak Sehat, Hari Depan
Cerah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini