Inilah jago-jago para Kontestan Pemilu. Mereka siap menjalankan tugas di Senayan. GURUH SUKARNOPUTRA, 38 tahun, putra presiden pertama Soekarno. Penari, pemusik, koreografer, pencipta lagu dan pendiri grup Swara Mahardhika. Apa betul saya dicalonkan anggota DPR? Kalau betul, hati nurani saya sih bilang oke. Idealnya, anggota DPR mesti berani menyuarakan aspirasi rakyat. Saya memang sering mendengar, ada anggapan anggota DPR mesti hati-hati bicara. Kalau tidak mau di-recall. Sistem ini mestinya dihilangkan, sebab jelek atau bagus yang disuarakan para wakil rakyat, seperti itulah sebetulnya kondisi bangsa kita. Nah, karena terlalu hati-hati itu, keputusan legislatif sering dinilai jelek. Saya berpendapat, kondisi semacam itu mesti diperbaiki. Bagaimana caranya? Saya belum tahu. Itu sebabnya, saya memutuskan, jika dipilih, saya bersedia masuk. Nanti di dalam, baru saya bisa main. Bagi saya, segala fasilitas DPR itu sifatnya sekunder. Kesempatan menjadi wakil rakyat, itu yang menarik, karena dengan begitu saya punya andil dalam pembangunan bangsa. Salah satu yang akan saya perjuangkan soal unjuk rasa. Indonesia negara demokrasi, tetapi kenapa unjuk rasa dilarang? Menurut saya, semua rakyat Indonesia harus merasakan kemakmuran. Jadi, kalau ada unek-unek, berarti ada ketidakadilan. Kenapa mereka tidak diberi kesempatan unjuk rasa? Padahal, dengan cara itu pemerintah bisa tahu apa yang terjadi di bawah permukaan. Kalau pemerintah mau membuat peraturannya dengan jelas, unjuk rasa bisa dilakukan dengan tertib. Selama ini orang suka berpikir keliru tentang saya. Bahwa saya berdiri di atas semua golongan, itu tetap tertanam di dalam hati. Wong, yang diperjuangkan PDI, Golkar, dan PPP sama saja, ketiganya kan konstitusional. Apalagi sudah bukan zamannya lagi menjadi fanatikus partai. Kenapa PDI yang saya pilih? Saya menganggap, partai yang berlandaskan agama tidak cocok lagi untuk zaman sekarang. Golkar, jika dilihat dari sejarahnya, bukan partai. Golkar adalah kumpulan sekelompok karyawan. Dan rakyat sering menilai Golkar bertindak tidak fair. Misalnya dalam pelaksanaan pemilu. Karena itu, saya memilih PDI. HUTOMO MANDALA PUTERA, 29 tahun, putra kelima Presiden Soeharto. Bos Grup Humpuss yang terdiri dari puluhan unit usaha. Tommy, panggilan akrabnya, dicalonkan sebagai anggota DPR oleh DPD Golkar Sumatera Selatan. Saya memang sudah mendengar isu pencalonan saya, tapi belum menerimanya secara tertulis. Kalau dipaksakan, atau tidak ada calon lain yang lebih baik, ya boleh saja. Daripada wakil rakyat tidak berbobot, kenapa tidak. Tapi, selama masih ada orang lain sebaiknya jabatan itu dipegang orang lain saja. Karena, kegiatan saya di bidang usaha juga banyak, padahal anggota DPR harus full time. Kalau bisa jadi anggota MPR, lebih bagus karena tidak menyita waktu banyak. Saya lebih tertarik untuk mengabdi pada realitas yang lang- sung menyentuh masyarakat luas. Kalau DPR, kan hanya menyampaikan aspirasi masyakarat, bukan langsung menyelesaikan permasalahan. RAE SITA SUPIT, 46 tahun. Asisten Direktur Keuangan dan Logistik Hotel Sahid Jaya. Ibu tiga anak ini juga menjadi Direktur Sahid Gema Wisata, salah satu anak perusahaan Sahid Group. Kalau saya dicalonkan, alhamdulillah. Kalau benar begitu, berarti saya harus kerja lebih keras. Bagi saya, kalau itu memang ditugaskan, ya diterima. Kalau kita mendapat kepercayaan, kan jangan dibuang. Tentang anggota DPR, saya pikir anggota DPR sekarang sudah berusaha bersikap dewasa sehingga tak bereaksi langsung terhadap suatu hal. Bukannya kurang vokal, saya rasa. Semua kan sudah bertekad untuk jadi wakil rakyat sebaik mungkin. Soal program, saya no comment dululah. Tugasnya saja saya belum tahu. Tapi saya rasa, lebih sreg kalau jadi konseptor atau perancang programnya saja. KWIK KIAN GIE, 56 tahun, sarjana ekonomi lulusan Universitas Erasmus, Rotterdam, Belanda. Ketua Badan Penelitian dan Pengembangan PDI. Anggota MPR ini juga pimpinan sekolah manajemen Institut Bisnis Indonesia. Ia dicalonkan PDI DKI Jaya. Jika memang dipilih sebagai anggota DPR, saya bersedia. Itu konsekuensinya. Selama ini saya menekuni dunia politik dengan aktif dan serius. Jika selama ini DPR dinilai tak becus, kesulitannya karena DPR kurang bisa menafsirkan aspirasi masyarakat ke dalam bahasa yang kongkret. Bicaranya klise atau asal bunyi. Cenderung menonjolkan slogan-slogan. Rakyat jadi bosan, sehingga muncul kesan seolah-olah ada gap antara DPR dan Pemerintah. DPR tak bisa menjadi mitra diskusi. Contohnya, DPR sering bicara soal kesenjangan sosial. Tapi mereka tak punya konsep jalan keluar. Kalau Pemerintah ditanya, paling-paling jawabnya: untuk mengatasi masalah, Pemerintah sudah punya program, misalnya lewat inpres. Akhirnya, soal itu menguap, karena DPR cuma bisa teriak-teriak. Menurut saya, recall adalah salah satu penghambat kerja. Anggota DPR perlu keleluasaan berpendapat, tetapi recall bisa jadi tekanan sekaligus ancaman. Namun, DPR sendiri juga punya kelemahan. Banyak anggotanya yang memang tidak qualified. Gaya politik yang dipakai masih gaya lama. Jadi, dalam berpolitik mereka melakukan manuver-manuver politik untuk mempopulerkan dirinya, untuk mendapat akses kekuasaan yang lebih besar. Lalu kalau sudah populer, dia membuat konsep apa? Saya beruntung kalau menjadi anggota DPR, karena saya relatif punya data informasi. Dari dulu memang gemar membuat kliping. Dengan menjadi anggota dewan saya merasa bergairah menghadapi begitu banyak tantangan. Ada problematik untuk mencari jalan keluar. Kenapa saya memilih PDI? Di PDI saya bisa lebih bebas berbicara. Hal yang tentu tak bisa saya lakukan di Golkar. Sebab, Golkar adalah partai pemerintah. Dengan sendirinya, mesti ada moral obligation. Tapi jika PDI sudah seperti Golkar, apakah saya akan keluar? Tidak. Saya akan mencoba membuat tradisi baru. Jadi, kalau ada anggota yang duduk di pemerintahan, ia tak perlu terpengaruh, ikut ngegongin keputusan pemerintah. SOEGENG SARJADI, 49 tahun, pernah menjadi anggota DPR ( 1967-1968) mewakili Angkatan 66. Komisaris Utama Grup Kodel. Semula anggota Golkar, tapi beberapa bulan silam ia menyatakan masuk PDI. Ia dicalonkan PDI Jakarta. Apa yang saya lakukan dalam hidup ini lebih banyak gerakan moral. Jika saya akan kampanye untuk PDI dan masuk dalam struktur PDI, baik secara penuh maupun tidak, itulah gerakan moral. Nah, kalau dalam rangkaiannya kemudian saya mesti memasuki dunia politik praktis, kemudian saya harus menerima (menjadi anggota DPR), itu konsekuensi logis. Sebab, menurut saya, kalau dengan politik praktis gerakan moral bisa lebih efektif, kenapa tidak? Kenapa saya memilih PDI? Orang kadang berpikir, masuk parpol lain tabu. Saya mau mendobrak itu. PDI is as good as any political party. Yang penting apa yang mau disampaikan. Politik itu bukan memberi pekerjaan. Politik adalah ide besar yang membangun jiwa. Misalnya, membuat orang yang buta politik menjadi sadar politik. Itu moral buat saya. DPR, terlepas bagaimana kesan orang terhadap lembaga itu, keberadaannya sudah disepakati UU. Tapi memang, efektivitas kerja DPR tentu tergantung orang di dalamnya. PDI terlalu sempit ruangnya di DPR. Maka, saya ingin mencoba satu teori. Minimal, kami harus menghilangkan jarak psikologis, supaya ada perimbangan. Jadi, kalau Golkar dapat 200 kursi, PPP dan PDI masing-masing 100, kan bagus. Dengan demikian, sifat-sifat Golkar bisa lebih matang. Orientasinya tidak kekuasaan, asal mau menang saja. Pada kampanye mendatang, saya ingin menantang PPP dan Golkar dalam debat terbuka. Di situ saya akan mewakili PDI. Yang hadir boleh Fahmi Idris atau Rahmat Witoelar. Mari kita bicara soal demokrasi ketokohan, integritas, ataupun bangsa di masa datang. Sekarang ini saya bukan saja sudah siap, bahkan sudah tak sabar lagi menunggu saat itu. SRI BINTANG PAMUNGKAS, 45 tahun, dosen Fakultas Teknik UI, anggota Dewan Pakar ICMI, konsultan senior di perusahaan Summa International. Meraih doktor ekonomi pada 1984 di Iowa State University, AS. Ia dicalonkan PPP DKI Jaya. Secara formal, saya belum ditawari. Namun, herannya, sudah banyak wartawan yang menanyakan soal pencalonan itu. Bagi saya, mewakili PPP tidak ada masalah. Sejak dulu saya memang sudah menjadi simpatisan PPP. Buktinya, dua tahun lalu, saya bersedia memberi ceramah di kantor PPP, ketika partai itu tengah menyusun program kerja. Bukti itu bisa menunjukkan bahwa saya memang simpatisan PPP. Dengan masuk menjadi calon PPP, saya yakin karier pegawai negeri saya tak akan terganggu. Apa memang mesti terganggu jika pegawai negeri menjadi anggota parpol? Setahu saya, tak ada aturan itu. RUSJDI HAMKA, 55 tahun, pemimpin redaksi majalah Panji Masyatakat, dan anggota Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Ketika April lalu saya pulang kampung ke Padang, Saudara Yahya, Ketua DPW PPP Sumatera Barat, menemui saya. Ia menawari saya untuk dicalonkan sebagai anggota DPR mewakili PPP. Saya jawab bersedia dicalonkan. Tapi dengan catatan kalau hanya pinjam nama untuk dicantum-cantumkan begitu saja, lebih baik tak usah. Kabar tentang pencalonan itu kemudian menyebar, akibatnya banyak teman yang bertanya tentang kebenaran berita itu. Sebenarnya, sampai sekarang saya belum tahu kelanjutannya, karena pemberitahuan secara resmi pun belum saya terima. Saya bersedia dicalonkan PPP, karena partai itu sekarang lebih terbuka, dan relatif lebih demokratis dibandingkan dulu. Tak banyak lagi pertentangan intern. Sewaktu zaman Naro, mereka sering berkelahi. Di bawah kepemimpinan Buya Ismail, kelihatannya PPP lebih teduh. Lagi pula, biar lebih demokratis, jangan semuanya masuk Golkar. Saya senang kalau mendengar si anu masuk PDI, si itu masuk PPP. Perlu ditegaskan, saya dihubungi PPP sebagai orang Sumatera Barat, bukan dalam kapasitas anggota PP Muhammadiyah, karena anggota Muhammadiyah itu kan bebas menentukan pilihannya. CHRISTIANTO WIBISONO, 46 tahun. Direktur Pusat Data Bisnis Indonesia. Dicalonkan sebagai anggota DPR oleh DPD Golkar Jawa Tengah. Kalau memang benar saya terpilih, saya akan mengusahakan meningkatkan citra DPR dengan membuatkan substansi yang lebih baik. Anggota DPR itu kan bersifat kolektif, jadi sesama anggota harus lebih banyak mengerjakan pekerjaan rumah dan bekerja full time untuk menghayati tugas. Kalau perlu, anggota DPR harus lebih pintar daripada eksekutif. Atau paling tidak berimbang sehingga dialog pihak legislatif dan eksekutif bisa menghasilkan sesuatu yang the best untuk rakyat. Sekarang ini keadaannya njomplang (berat sebelah) sebab eksekutif dominan, dan legislatif menurut saja. Tapi, nanti kalau ada data informasi empiris bandingan mungkin malah legislatif bisa memberi masukan sehingga keputusan bisa digodok di DPR. Saya akan mengusahakan sebaik-baiknya agar DPR berfungsi. Artinya, kalau aspirasi rakyat benar-benar tertampung di Senayan, tak perlu lagi ada orang minta ke INGI dan Pronk. Kalau mereka minta bantuan ke sana, justru membuktikan demokrasi kita tidak berhasil. Kalau mau demokrasi betulan, ya Senayan itulah tempat penyelesaiannya. MOCHTAR NAIM, 59 tahun, dosen Universitas Andalas Padang. Doktor lulusan Universitas Singapura itu sejak dua pekan lalu disebut-sebut sebagai calon anggota DPR untuk PPP. Sebagai pegawai negeri, resminya ia sudah pensiun sejak dua tahun lalu dan diam-diam duduk sebagai majelis pertimbangan wilayah PPP Sumatera Barat. Tidak perlu gembar-gembor. Pada saatnya semua orang tahu, saya orang PPP. Sudah lama saya menjadi fans PPP. Dan orang PPP pun tahu bahwa saya ini simpatisan partai bintang. Kebetulan pimpinan PPP punya kebijaksanaan ingin menggaet kalangan intelektual. Mereka mau merangkulnya, dan saya tak menolaknya. Saya masuk PPP bukan semata karena saya sudah pensiun. Saya punya alasan lain. Pengurus PPP yang sekarang ini lebih demokratis. Paling tidak, dalam soal pencalonan, Pengurus Pusat PPP tak banyak ikut campur. Nama-nama caloh diserahkan kepada wilayah-wilayah. Dengan begitu, tokoh yang muncul benar-benar mendapat dukungan masyarakat daerah pemilihannya. Saya tertarik ke PPP karena partai ini banyak berorientasi ke nilai-nilai Islam. Tawaran menjadi anggota DPR pun lalu saya terima. Ini panggilan umat. Namun, saya belum bisa mengurai program-program DPR yang harus dijalankan. Yang saya lihat, masih ada masalah demokrasi. Soal ini belum tuntas. Selama ini, DPR belum seperkasa pemerintah. Bahkan, kedudukannya seperti di bawah pemerintah. Kadang-kadang, saya merasa lembaga DPR itu dipelihara hanya agar tetap hidup saja. LAKSAMANA SUKARDI, 34 tahun. Namanya pakai laksamana, tapi ia bukan anggota TNI-AL. Ia seorang bankir, Direktur Pelaksana Lippobank, dengan gaji Rp 20 juta per bulan. Alumnus teknik sipil ITB ini merintis karier di dunia perbankan sejak 1981 dan kini siap-siap merintis karier di dunia politik. Ia dicalonkan PDI Jawa Barat dan DKI Jakarta. Kampanye oke, menjabat anggota DPR pun boleh juga, kalau memang diminta. Tapi saya belum tahu persis bahwa dicalonkan Jawa Barat dan Jakarta. Dan saya belum memutuskan kendati deadline tinggal beberapa hari lagi. Saya kini merasa di simpang jalan. Masih enggan meninggalkan Lippobank. Saya belum punya apa-apa. Untuk terjun ke dunia politik, saya harus punya bekal cukup. Kalau perut kita lapar, mulut kita bisa dibeli. Saya masih merasa baru di Lippobank, belum menunjukkan kemampuan seluruhnya. Namun, saya, terus terang, ingin aktif di DPR. Maunya sih ambil dua-duanya. Jabatan dobel itu bisa memberi manfaat. Sebagai bankir, saya gampang memperoleh isu-isu ekonomi. Dan itu bisa dibedah di DPR. Tapi kalau kebanyakan di DPR, saya nggak enak sama pemegang saham di Lippobank. Sebaliknya, kalau terlalu asyik di Lippobank, itu mengabaikan amanat rakyat. Untungnya, sebagai bankir saya bisa melihat banyak praktek ekonomi yang masih perlu didandani. Misalnya soal utang luar negeri atau pendapatan per kapita di Indonesia, sampai kasus pabrik rokok. Itu semua membuat saya prihatin dan mendorong saya terjun ke dunia politik. Harus diingat, politik adalah sumber hukum-hukum ekonomi. MOORYATI SOEDIBYO, 63 tahun, Pesiden Direktur PT Mustika Ratu sejak 1956. Nenek empat cucu ini juga Ketua Umum Gabungan Pengusaha Obat Tradisional Indonesia, Ketua Umum Perusahaan Kosmetika Indonesia, dan Ketua Umum Ikatan Amemeteri Kebudayaan Tradisional Indonesia. Saya bersedia kalau ditugaskan menjadi anggota DPR atau MPR. Ini pengabdian pada masyarakat. Ini sudah merupakan panggilan jiwa saya. Apakah di MPR atau DPR itu soal nanti. Hanya saya ingin tahu apa saja yang menjadi tugas saya nanti. Kan saya belum pernah terjun ke institusi politik begini kendati sudah jadi wakil rakyat juga, lo, secara tak resmi. Ikut aktif dalam rangka ulang tahun Golkar, sih, sudah sejak delapan tahun silam. Termasuk mengumpulkan para penjaja jamu gendong. Saya kan mudah mengerahkan massa. Sepertinya, massa butuh saya sebagai panutan, gitu. Buktinya, kalau sampai saya bersafari ke daerah-daerah, dalam satu provinsi saja bisa mengumpulkan total 35 ribu orang. Saya kan sedang mengarahkan keterampilan wanita supaya punya posisi di luar rumah. Saya ajarkan kepada mereka cara menanam empon-empon, benih unggul, dan bikin resep-resep untuk keluarga. Kalau sampai berpolitik beneran, waduh, gimana ya...? Saya akan terus menghidupkan budaya demokrasi. Juga keterbukaan, kan bagus itu. Dengan begitu, segala permasalahan lebih cepat dapat diselesaikan. Kalau saya amati dari luaran sih, di DPR, atau mana pun, sekarang agaknya belum sepenuhnya terjalin keterbukaan. Kalau stabilitas hankam di negeri kita kan sudah bagus. Kita tak mudah terombang-ambing. Oh ya, tentang soal kesenjangan sosial yang belakangan menghangat, hendaknya terus diadakan pendekatan untuk kemakmuran bersama. Saya ingin itu terjadi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini