Pengadilan Singapura menerima banding Pertamina dalam kasus deposito Kartika Thahir senilai Rp 153 milyar. Pekan depan, babak penting kasus ini dimulai. PERTAMINA, yang pekan lalu diberitakan-sementara-kalah dalam kasus deposito almarhum Haji Achmad Thahir, kembali di atas angin. Rabu pekan lalu, Pengadilan Tinggi Singapura menerima permohonan banding Pertamina dalam sengketa melawan Nyonya Kartika Thahir, istri muda bekas pejabat Pertamina, memperebutkan harta karun yang kini diperkirakan senilai US$ 78 juta (sekitar Rp 153 milyar). Di hadapan pengacara Kartika, Shanmugam, dan kuasa hukum pihak Indonesia, Wong Meng Meng, Hakim Chao Hick Tin menerima dalil Pertamina bahwa dari 808 bukti yang diminta hanya 257 bukti yang relevan dengan kasus itu. Padahal, sebelumnya pengadilan menganggap gugatan Pertamina gugur karena perusahaan minyak itu tak sanggup menyerahkan semua dokumen bukti yang diminta lawan. Dengan keputusan itu gugatan Pertamina atas simpanan Kartika Thahir di Bank Sumitomo tak jadi gugur. Artinya, sesuai dengan hukum acara Singapura, pokok perkara gugatan itu -- yang sudah sembilan tahun sempat dihentikan karena adanya gugatan balik dalam soal formal di atas -- bisa diperiksa lagi. Rencananya, perkara pokok itu akan disidangkan kembali 5 Agustus 1991 dan diharapkan selesai 11 Oktober 1991. Proses perkara yang kontroversial dan berlangsung sejak 1977 ini bermula dari pertengkaran antara Kartika, kini 62 tahun, dan anak-anak Thahir dari istri pertama. Mereka memperebutkan simpanan Thahir, yang waktu itu bernilai US$ 35 juta, hanya empat hari setelah bekas Asisten Umum Direktur Utama Pertamina (pada zaman Ibnu Sutowo) itu meninggal dan dimakamkan di TMP Kalibata, 23 Juli 1976. Waktu itu, Kartika berdalih uang itu miliknya karena tertera sebagai deposito bersamanya dengan Thahir. Sebelumnya Kartika sudah berhasil menarik simpanan serupa, bernilai sekitar US$ 45 juta, di The Chase Manhattan Bank dan The Hong Kong & Shanghai Banking Corporation. Sementara itu, anak-anak tirinya, yang merasa sebagai ahli waris sah almarhum mengaku lebih berhak. Sengketa pun berlanjut ke meja hijau. Pemerintah Indonesia, yang mencium perkara itu, Mei 1977, secara resmi menuntut simpanan tersebut dikembalikan. Alasannya, uang itu hasil korupsi karena berasal dari komisi yang diterima dari kontraktor Pertamina, beberapa perusahaan Jerman. Karenanya, berdasarkan undang-undang antikorupsi, uang itu menjadi milik negara (TEMPO, 27 Juli 1991). Pertarungan, akhirnya, berlangsung antara Kartika dan Pertamina. Anak-anak almarhum dari istri pertamanya memilih bersikap pasif. "Kalau Pertamina kalah, babak berikutnya antara ahli waris almarhum dan Kartika. Tapi jika Pertamina menang, ya, uang itu kami ikhlaskan untuk negara," kata pengacara keluarga anak-anak almarhum, Rudhy A. Lontoh. Di pengadilan, yang persidangan pertamanya baru dimulai pada akhir Maret 1980, Indonesia tampaknya selalu di atas angin. Berbagai jurus Kartika, mulai dari dalil bahwa komisi itu milik Thahir (berarti juga miliknya) sampai dalil soal komisi semacam itu hal yang wajar di Indonesia, bisa dipatahkan. Begitu pula upaya Kartika, yang mengungkapkan berbagai nama pejabat dan pengusaha Indonesia, yang katanya juga menerima komisi begitu. Sampai akhirnya muncul berita mengejutkan, Jumat tiga pekan lalu. Waktu itu, panitera di Pengadilan Tinggi Singapura memutuskan mencoret tuntutan Pertamina. Alasannya, Pertamina tak mampu menyediakan bukti-bukti, sebagaimana tuntutan balik Kartika, ibu dua anak, dari Nganjuk, Jawa Timur, dan kini diduga tinggal di Swiss. Pertamina naik banding karena, menurut salah seorang anggota tim pengusut kasus itu (tim ini diketuai Jenderal [Purn.] L.B. Moerdani), Dicky Turner, permintaan Kartika berlebihan. Bukti yang diminta, misalnya, soal akta pendirian Bank Pacific dan surat perjalanan dinas almarhum, jelas tidak relevan dengan kasus itu. Ibaratnya, "Kalau sebuah dokumen atau bukti tak bersampul, sampulnya pun diminta untuk ditunjukkan," ujar Dicky, yang pernah bekerja di Pertamina dan kini menjadi akuntan partikelir. Rekannya setim, Albert Hasibuan, menambahkan jurus Kartika itu hanya taktik untuk meredam gugatan. Ternyata, hakim banding menerima argumentasi pihak Indonesia. Menurut Albert, sesuai dengan hukum acara Singapura, tak ada lagi upaya kasasi buat Kartika atas keputusan sela tersebut. Artinya, setelah proses persidangan soal formalitas -- sebelum pokok perkara itu -- kini tinggal babak terpenting dari kasus itu, yakni pemeriksaan pokok perkara. Pengacara Kartika, Shanmugam, sewaktu dihubungi TEMPO melalui saluran telepon internasional, menolak berkomentar. "Maaf, saya tidak bisa mendiskusikan soal ini dengan Anda," kata Shanmugam. Menurut dia, di Singapura, yang menganut sistem hukum Anglo Saxon, pengacara hanya boleh mengomentari suatu kasus setelah perkaranya diputus. Yang jelas, perkara yang berlarut-larut ini tak jelas kapan berakhir, belum lagi jika ada upaya banding dan kasasi. Albert dan Dicky optimistis pihak Indonesia akan menang. Selain itu, tak akan berdamai. "Uang itu jelas-jelas milik negara," ucap Albert. Happy S., Iwan Q. Himawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini