KALAU karena pra-peradilan beban tugas seorang hakim bertambah
berat, bagaimana dengan kesejahteraan mereka Mungkin karena
ingin menjawab pertanyaan itu, seminar Peradin pekan lalu juga
membahas soal "Profesi Hakim". "Sudah menjadi rahasia umum, gaji
hakim sangat minim dibandingkan kedudukan mereka yang khusus di
masyarakat," kata Syahriar Mahnida yang bertindak selaku
pemasaran dalam seminar itu.
Sebagai ilustrasi, Nyonya Syahriar Mahnida menyebutkan gaji
seorang hakim pengadilan negeri berkisar pada angka Rp 200 ribu.
Hakim tinggi, katanya, Rp 250 ribu sampai Rp 300 ribu. Sementara
hakim agung berpenghasilan Rp 1 juta, setiap bulan. Semua itu
sudah mencakup berbagai tunjangan.
Selain minim, waniu yang pengacara itu menyebutkan adanya
ketimpangan antara penghasilan seorang hakim tinggi dibandingkan
dengan yang diterima seorang ketua pengadilan negeri. Karena ada
tunjangan jabatan struktural, pendapatan hakim tinggi lebih
rendah dari yang diterima ketua pengadilan bawahannya. "Karena
itu banyak ketua pengadilan negeri yang enggan menjadi hakim
tinggi," ujar Syahriar Mahnida lagi.
Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Soeharto, membantah hal
itu. Ia merasa tidak enggan menjadi hakim tinggi, walau dalam
peraturan baru yang akan dikeluarkan Departemen Kehakiman,
pendapatan hakim tinggi tetap lebih rendah dari pendapatannya
sekarang.
Setiap bulan Soeharto mengaku memperoleh pendapatan sekitar Rp
300 ribu. Kalau peraturan baru tentang gaji hakim dikeluarkan,
ia diperkirakan akan mendapat Rp 500 ribu. Jumlah yang sekarang
ia rasakan cukup baik, walau itu relatif. "Ternyata pemerintah
selalu memperhatikan, sehingga akan lebih baik lagi," tambahnya.
Tapi bukan tidak ada hakim yang merasa pendapatannya terlalu
kecil. T.R.L. Messakh, bawahan Soeharto di PN Jakarta Utara,
mengaku mendapat penghasilan Rp 216 ribu dengan masa kerja 28
tahun. Hakim yang sudah mendekati pensiun ini tegas mengatakan,
"gaji saya ini tidak cukup, sudah seharusnya dinaikkan,"
katanya. Ia menganggap gaji yang layak untuk seorang hakim
memang tidak untuk bermewah mewah. "Tapi tidak pantas pula anak
hakim compang-camping," ujarnya.
Messakh didukung dua orang rekannya, Mahmud dan M. Arsyad
Sanusi. "Dengan berlakunya KUHAP beban kerja bertambah berat,
tapi gaji belum mendapat perbaikan," ujar Arsyad Sanusi.
Rekannya Mahmud berharap ada kenaikan gaji. "Suara-suara sudah
santer tapi ketetapan resmi belum ada, belum tahu kapan "hujan"
itu akan turun," kata Mahmud berhandai-handai.
Menteri Kehakiman Ali Said membenarkan, sudah ada ketetapan
kenaikan gaji itu. Tapi ia mengaku belum tahu kapan surat
keputusan untuk itu diturunkan. "Kalau keputusan (maksudnya
Keputusan Presiden) itu turun, gaji akan naik, tapi tanpa
rapel," kata Menteri Kehakiman menjawab pertanyaan TEMPO.
Tapi kenaikan itu, kata Ali Said, tidak menjamin hilangnya
"pungli" di pengadilan. "Pungli tidak dapat dikaitkan
semata-mata pada pendapatan seseorang. Masalahnya masih ada
anggota masyarakat yang bermental senang menyuap atau sebaliknya
ada yang bermental minta disuap. Ini yang harus diobati," ujar
Aji Said. Pendapatnya ini dibenarkan Hakim Mahmud. 'Itu
tergantung moral orangnya, tapi kalau gaji naik,
setidak-tidaknya merupakan pagar untuk tidak melakukan pungli,"
kata Mahmud.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini