Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Gaya Supeno, Gaya Hidup Gali Yogya

Gaya hidup salah seorang gali di yogya, a.l supeno mempunyai rumah dan perlengkapan seperti orang berpenghasilan tinggi. Sebulan bisa berpenghasilan Rp 1,5 juta. (krim)

30 April 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RUMAHNYA di Kampung Jlagran terolong paling bagus: berubin teraso dan bergenteng kodok. Punya perangkat stereo. Punya tempat tidur besar dari kayu berukir Jepara. Masih pula mampu membangun rumah yang lebih besar di suatu daerah yang lebih "pantas". Itulah gaya hidup Supeno, gaya hidup salah seorang yang disebut gali atau preman atau centeng, yang merasa menguasai beberapa bagian kota dan sekitar Yogya. Supeno, 34 tahun, adalah salah seorang yang selamat dari sekian orang sebangsanya yang dikejar-kejar tentara karena menyandang gelar "gali". Beberapa yang malang tertembak mati dalam beberapa operasi menenteramkan Yogyakarta yang dilakukan Garnisun. Kabarnya masih simpangsiur: ada yang mengatakan bahwa 15 orang tewas. Ada yang menyatakan "cuma" 10 orang yang mati. Tidak ada penjelasan resmi. Tapi perkara mereka yang masih hidup, menurut sumber Garnisun, mulai minggu lalu berangsur-angsur dilimpahkan ke polisi. Kembali ke soal gaya hidup gali: berapa penghasilan seorang pentolannya? Supeno - dari mengutip sana-sini - bisa mengumpulkan sekitar Rp 1,5 juta per bulan. "Itu sama sekali bukan hasil pemerasan," sangkalnya seperti dikatakannya kepada TEMPO di tempat tahanan. Tapi diakuinya, penghasilannya itu berasal dari usaha perudian di Kebon Suwung, di sebuah daerah hitam sekitar 300 meter arah barat Stasiun Tugu. Membawahkan 40 anak buah, Peno mengaku, dari tempat itu saja ia bisa menantungi Rp 50 ribu semalam. Kalau sepi katanya, mendapat Rp 10 ribu sudah lumayan. "Tapi itu jarang terjadi," katanya. Usaha perjudian kelas teri - judi dadu dimulainya setelah ia dipercayai seorang kenalan menjadi petugas keamanan judi gelap di Muntilan. Semula gajinya Rp 5 ribu semalam, dan naik dua kali lipat tak lama kemudian. Namun ia tidak puas, lalu kembali ke Yogya, dan sejak dua tahun lalu mengangkat diri menjadi "boss" di Kebon Suwung. Selain untuk memperoleh penghasilan lebih banyak, menurut Peno, usahanya di Kebon Suwung juga dimaksudkan "agar pemuda brutal yang tak punya pekerjaan bisa disalurkan." Terus terang ia bangga bisa menggaji ke 40 anak buah sedikitnya masing-masing Rp 2 ribu semalam. Peno tidak hanya berkuasa di Kebon Suwung. Ia juga menjadi "koordinator" parkir di Bioskop Ratih dan Kantor Polisi Lalulintas. Dari situ, anak buahnya memberinya tambahan penghasilan sekitar Rp 100 ribu sebulan. Belum lagi dari anak buahnya di Muntilan, yang bekerja sebagai "petugas keamanan" bioskop. Sejarah Peno, diakuinya terus terang, memang dimulai dari daerah hitam. Di masa remaja, tuturnya, menjambret merupakan pekerjaannya sehari-hari. "Lima belas tahun saya jadi anak kurang ajar," kenangnya. Puncak "kekurangajarannya" dicapai 1970, ketika ia bersama tujuh anak buahnya mengacaukan kawat sinyal, sehingga kereta api berhenti. Supeno dkk. Ialu merampok penumpang kereta api tersebut. Akhirnya ia memang tertangkap dan dihukum. Keluar dari LP Wirogunan, 1972, ia lalu menjadi "petugas keamanan" di Muntilan. Dan sejak itu, katanya, "saya tak pernah memeras atau melakukan kejahatan." Usaha judinya di Kebon Suwung, sejak Peno menyerahkan diri 12 April lalu, kini praktis bubar. Untung ia sempat menabung sebelumnya. "Untuk mengisi rumah baru," kata Sukemi, istri Peno, sambil menunjuk beberapa barang. Rumah barunya ada di Jalan Sindunegaran - tak berapa jauh dari Kantor Polisi Lalulintas. Di sana, rencananya, Peno mau membuka bengkel. Peralatannya sudah siap, "dibeli sedikit demi sedikit," kata Peno. Ayah dua anak yang menggemari lagu keroncong itu mengaku setiap Selasa dan Jumat Kliwon kungkum, berendam, di Sungai Winongo. Hal itu, katanya, merupakan laku - semacam "latihan prihatin". Hoking alias A. Supardjo, 59 tahun, yang juga ditahan di Garnisun, tak mempunyai kebiasaan kungkum. Ia dikenal karena kebiasaannya yang aneh: pantang memakai alas kaki - banyak yang menduga, kekuatannya ada di telapak kakinya itu. Padahal, kata Hoking sambil tersenyum, hal itu semata karena alasan penghematan. "Terbiasa waktu gerilya dulu," katanya. Di zaman Jepang, begitu ceritanya, ia termasuk anggota barisan Macan Hitam Putih Indonesia (BMHPI). Hoking merasa dirinya bukan seorang penjahat. "Memang saya pernah dihukum sembilan bulan - tapi itu tahun 1943," katanya lagi. Kini, Hoking bekerja sebagai "petugas keamanan" di Yogya Theater dan juga di rumah Onggohartono, seorang cukong terkenal di Yogya. Ia mengaku hanya berpenghasilan Rp 20 ribu. Maka, untuk menghidupi istri dan seorang anaknya yang baru berumur 21/2 tahun, ia terkadang menjadi perantara dalam jual-beli mobil atau tanah. Sekali waktu ia pernah dimintai jasa oleh seorang pemilik toko untuk menagih utang - uang tagihan sebesar Rp 350 ribu dihadiahkan semua kepadanya. Hoking memang tidak segaya Peno. Rumahnya di Kampung Sudagaran sederhana saia. Di ruang tamu, yang berlantai semen, hanya ada seperangkat kursi berbantalan plastik dan sebuah bupet dengan beberapa gelas. Tidak ada radio - apalagi televisi - di rumahnya itu. "Cukup mendengarkan radio tetangga," kata Samlah, 40 tahun, istri Hoking di rumahnya. Bersama Hoking dan Peno masih ada enam tahanan lain di Garnisun. Sekitar 60 orang lainnya hanya diwajibkan melapor tiap pagi dan sore. Mereka dibekali Kartu Tanda Lapor (KTL) agar tak terjaring bila ada operasi. Gaya hidup mereka tidak sama - tergantung kemampuan mereka menguasai medan tentunya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus