RUMAHNYA di Kampung Jlagran terolong paling bagus: berubin
teraso dan bergenteng kodok. Punya perangkat stereo. Punya
tempat tidur besar dari kayu berukir Jepara. Masih pula mampu
membangun rumah yang lebih besar di suatu daerah yang lebih
"pantas". Itulah gaya hidup Supeno, gaya hidup salah seorang
yang disebut gali atau preman atau centeng, yang merasa
menguasai beberapa bagian kota dan sekitar Yogya.
Supeno, 34 tahun, adalah salah seorang yang selamat dari sekian
orang sebangsanya yang dikejar-kejar tentara karena menyandang
gelar "gali". Beberapa yang malang tertembak mati dalam beberapa
operasi menenteramkan Yogyakarta yang dilakukan Garnisun.
Kabarnya masih simpangsiur: ada yang mengatakan bahwa 15 orang
tewas. Ada yang menyatakan "cuma" 10 orang yang mati. Tidak ada
penjelasan resmi. Tapi perkara mereka yang masih hidup, menurut
sumber Garnisun, mulai minggu lalu berangsur-angsur dilimpahkan
ke polisi.
Kembali ke soal gaya hidup gali: berapa penghasilan seorang
pentolannya? Supeno - dari mengutip sana-sini - bisa
mengumpulkan sekitar Rp 1,5 juta per bulan. "Itu sama sekali
bukan hasil pemerasan," sangkalnya seperti dikatakannya kepada
TEMPO di tempat tahanan. Tapi diakuinya, penghasilannya itu berasal
dari usaha perudian di Kebon Suwung, di sebuah daerah hitam
sekitar 300 meter arah barat Stasiun Tugu. Membawahkan 40 anak
buah, Peno mengaku, dari tempat itu saja ia bisa menantungi Rp
50 ribu semalam. Kalau sepi katanya, mendapat Rp 10 ribu sudah
lumayan. "Tapi itu jarang terjadi," katanya.
Usaha perjudian kelas teri - judi dadu dimulainya setelah ia
dipercayai seorang kenalan menjadi petugas keamanan judi gelap
di Muntilan. Semula gajinya Rp 5 ribu semalam, dan naik dua kali
lipat tak lama kemudian. Namun ia tidak puas, lalu kembali ke
Yogya, dan sejak dua tahun lalu mengangkat diri menjadi "boss"
di Kebon Suwung. Selain untuk memperoleh penghasilan lebih
banyak, menurut Peno, usahanya di Kebon Suwung juga dimaksudkan
"agar pemuda brutal yang tak punya pekerjaan bisa disalurkan."
Terus terang ia bangga bisa menggaji ke 40 anak buah sedikitnya
masing-masing Rp 2 ribu semalam.
Peno tidak hanya berkuasa di Kebon Suwung. Ia juga menjadi
"koordinator" parkir di Bioskop Ratih dan Kantor Polisi
Lalulintas. Dari situ, anak buahnya memberinya tambahan
penghasilan sekitar Rp 100 ribu sebulan. Belum lagi dari anak
buahnya di Muntilan, yang bekerja sebagai "petugas keamanan"
bioskop.
Sejarah Peno, diakuinya terus terang, memang dimulai dari daerah
hitam. Di masa remaja, tuturnya, menjambret merupakan
pekerjaannya sehari-hari. "Lima belas tahun saya jadi anak
kurang ajar," kenangnya. Puncak "kekurangajarannya" dicapai
1970, ketika ia bersama tujuh anak buahnya mengacaukan kawat
sinyal, sehingga kereta api berhenti. Supeno dkk. Ialu merampok
penumpang kereta api tersebut. Akhirnya ia memang tertangkap dan
dihukum. Keluar dari LP Wirogunan, 1972, ia lalu menjadi
"petugas keamanan" di Muntilan. Dan sejak itu, katanya, "saya
tak pernah memeras atau melakukan kejahatan."
Usaha judinya di Kebon Suwung, sejak Peno menyerahkan diri 12
April lalu, kini praktis bubar. Untung ia sempat menabung
sebelumnya. "Untuk mengisi rumah baru," kata Sukemi, istri Peno,
sambil menunjuk beberapa barang. Rumah barunya ada di Jalan
Sindunegaran - tak berapa jauh dari Kantor Polisi Lalulintas. Di
sana, rencananya, Peno mau membuka bengkel. Peralatannya sudah
siap, "dibeli sedikit demi sedikit," kata Peno.
Ayah dua anak yang menggemari lagu keroncong itu mengaku setiap
Selasa dan Jumat Kliwon kungkum, berendam, di Sungai Winongo.
Hal itu, katanya, merupakan laku - semacam "latihan prihatin".
Hoking alias A. Supardjo, 59 tahun, yang juga ditahan di
Garnisun, tak mempunyai kebiasaan kungkum. Ia dikenal karena
kebiasaannya yang aneh: pantang memakai alas kaki - banyak yang
menduga, kekuatannya ada di telapak kakinya itu. Padahal, kata
Hoking sambil tersenyum, hal itu semata karena alasan
penghematan. "Terbiasa waktu gerilya dulu," katanya. Di zaman
Jepang, begitu ceritanya, ia termasuk anggota barisan Macan
Hitam Putih Indonesia (BMHPI).
Hoking merasa dirinya bukan seorang penjahat. "Memang saya
pernah dihukum sembilan bulan - tapi itu tahun 1943," katanya
lagi. Kini, Hoking bekerja sebagai "petugas keamanan" di Yogya
Theater dan juga di rumah Onggohartono, seorang cukong terkenal
di Yogya. Ia mengaku hanya berpenghasilan Rp 20 ribu. Maka,
untuk menghidupi istri dan seorang anaknya yang baru berumur
21/2 tahun, ia terkadang menjadi perantara dalam jual-beli mobil
atau tanah. Sekali waktu ia pernah dimintai jasa oleh seorang
pemilik toko untuk menagih utang - uang tagihan sebesar Rp 350
ribu dihadiahkan semua kepadanya.
Hoking memang tidak segaya Peno. Rumahnya di Kampung Sudagaran
sederhana saia. Di ruang tamu, yang berlantai semen, hanya ada
seperangkat kursi berbantalan plastik dan sebuah bupet dengan
beberapa gelas. Tidak ada radio - apalagi televisi - di rumahnya
itu. "Cukup mendengarkan radio tetangga," kata Samlah, 40 tahun,
istri Hoking di rumahnya.
Bersama Hoking dan Peno masih ada enam tahanan lain di Garnisun.
Sekitar 60 orang lainnya hanya diwajibkan melapor tiap pagi dan
sore. Mereka dibekali Kartu Tanda Lapor (KTL) agar tak terjaring
bila ada operasi.
Gaya hidup mereka tidak sama - tergantung kemampuan mereka
menguasai medan tentunya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini