SURAT pengaduan itu tak ubahnya petikan sebuah novel picisan:
Ada seorang peiabat memperkosa familinya sendiri sampai tiga
kali. Sebelumnya si korban secara diam-diam diberi obat
perangsang. Tapi cerita menjadi serius, karena yang diadukan tak
lain Frans Mugama, 55 tahun, direktur Pembinaan Program
Departemen Dalam Negeri.
Apalagi surat pengaduan itu, tidak tanggung-tanggung langsung
ditujukan kepada Presiden RI, Menteri Dalam Negeri dan Irjen,
Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Menteri Negara
Urusan Peranan Wanita! Masih ada lagi. Tembusan dikirim antara
lain kepada Menteri Kehakiman, Jaksa Agung dan ketua Dharma
Wanita. Semua direktur di Departemen Dalam Negeri dan para ketua
Bappeda di ibukota provinsi, turut pula mendapat tembusan.
"Kalau tidak begitu, mana ada tanggapan? Frans kan orang besar,"
kata Iskandar, 50 tahun, yang mengadukan perihal istrinya. Surat
pengaduan di atas kertas bermeterai itu ia kirimkan tanggal 14
April lalu. Rupanya ia tak sabar menanti kelanjutan laporannya
kepada polisi yang diberikan 2 April.
Ceritanya bermula Oktober lalu, ketika Iskandar - lewat istrinya
yang masih saudara satu nenek dengan Frans dan sama-sama berasal
dari Sangir Talaud (Sul-Ut) minta tolong dicarikan pekerjaan.
Kebetulan ketika itu 'Frans baru saja diangkat menjadi direktur.
Sebagai veteran ABRI, dan mengaku bekas anggota DPR RI, Iskandar
selama ini memang belum mempunyai pekerjaan yang mantap.
Menjabat ketua PB Kesatuan Mahasiswa Islam (KMI), dan pernah
ditahan 3 bulan karena urusan politik, ia kini mengajar di
Universitas Mutaqien yang kurang dikenal. Istrinya, 42 tahun,
yang bekerja di sebuah bank, tampaknya lebih berperan dalam
menyelenggarakan rumah tangga dengan 6 anak itu.
Frans, menurut surat pengaduan, menyuruh Iskandar segera membuat
surat lamaran. Kebetulan kenalannya di Bappeda Padang, Sumatera
Barat, menyanggupi menempatkan Iskandar di tempat yang "basah".
Maka pada 17 Oktober 1982, hari Minggu, Nyonya Iskandar
mengantarkan surat lamaran dimaksud kepada Frans, yang
menantinya di restoran Jayakarta di Kebayoran Baru. "Saya sedang
rapat sama orang Bappenas," begitu konon jawaban Frans, ketika
Nyonya Iskandar bertanya, mengapa surat lamaran mesti diantarkan
ke restoran dan bukan ke rumahnya di Cilandak.
Setelah makanan terhidang, begitu pengakuan ibu berparas lumayan
dan berkulit sawo matang itu, ia disuruh merapikan rambut dan
mencuci muka ke kamar kecil. Selesai makan, begitu cerita Nyonya
Iskandar, "badan saya terasa panas, melayang, dan kepala pusing
sekali." Frans membimbingnya ke mobil. Di dalam mobil ia
merasakan ada dorongan seks yang kuat sekali dan membuatnya lupa
diri. Dan tahu-tahu mobil memasuki halaman Motel Pondok
Sawangan.
"Kita senang-senang sebentar. Saya sudah lama menguber dan
mencintaimu," begitu jawab Frans ketika Nyonya Iskandar sempat
memprotes. Lalu apa yang terJadi
bisa diduga .... Kejadian yang serupa, terjadi lagi sekitar
sebulan kemudian, di Motel Sawangan itu juga. Meski Nyonya
Iskandar mulai curiga: Frans telah merangsang birahinya dengan
suatu obat.
Namun ibu itu tak berani melaporkan kejadian itu kepada
suaminya. Baru ketika "perkosaan" ketiga, 10 Januari lalu di
Hotel Cempaka, ia tak tahan lagi. "Semalaman saya tak bisa
tidur, lalu sembahyang tahaJud," katanya. Setelah itu ia seperti
melihat ibunya - yang sudah almarhumah - dan menasihatinya agar
berterus terang kepada suami.
Subuh keesokan harinya, sambil menangis dan mencium kaki suami,
ia menceritakan semua yang dialaminya. "Sungguh, ini cobaan yang
amat berat," kata Iskandar. Ia pernah hampir mengusir istrinya
dan meminta "pertanggungjawaban" Frans.
Betulkah semua cerita di atas? "Itu fitnah," kata Frans Mugama
tanpa emosi. Ia juga membantah punya hubungan keluarga dengan
Nyonya Iskandar "hanya samasama berasal dari satu pulau,"
katanya. Ia menduga, segalanya telah ada yang mengatur sejak
awal. "Maklum, Iskandar sudah 12 tahun menganggur," katanya
lagi. Ia tak mau bicara berpanJang-panJang soal itu, kecuali
mengatakan, "kebenaran tak akan bisa ditutupi."
Sementara pihak meragukan terjadinya "pemerkosaan" itu. "Kalau
diperkosa, bagaimanapun kejadiannya, masa sampai tiga kali?"
kata sebuah sumber di kepolisian Apalagi setiap habis
"diperkosa", menuru Nyonya Iskandar, "dengan amat terpaksa' ia
menerima sejumlah uang: Rp 50 ribu, RF 25 ribu dan yang terakhir
Rp 20 ribu.
Karena dikabarkan di luaran bahwa ia memeras Frans--pernah minta
Rp 17 juta sebagai uang "ganti rugi" - Iskandar membuat laporan
ke alamat Presiden.
Dan Frans ternyata tidak pernah ditahan sehubungan dengan kasu
itu. Ia tetaF masuk kantor di lantai 8 Departemen Dalam Negeri.
"Kasusnya saja belum jelas bagaimana mungkin ia ditahan?" kata
sebuah sumber di kepolisian Jakarta Selatan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini