ADEGAN pertama terjadi di sebuah jembatan. Mohamad Yunus, yang
mengendarai sepeda motor bersama Natap Tarigan, disalib
kendaraan lain. Si penyalib, juga mengendarai sepeda motor
bersama temannya, membentak: "Berhenti!" Salah seorang di antara
mereka malah langsung membetot Tarigan - yang membonceng Yunus
hingga terpelanting. Yunus gugup - barangkali karena itu ia
tidak menghentikan kendaraannya.
Dua orang yang menjebak penduduk Langkat di jembatan itu
ternyata polisi. Dan karena mereka mengira "buronannya" hendak
melarikan diri, pistol pun turut bicara. Dua letusan di siang
panas, 15 April IIIU itu membuat Yunus tersungkur berlumur
darah. Sebutir peluru menembus pinggangnya. Penduduk yang
kebetulan menyaksikan seperti terkesima. Jiwa Yunus 34 tahun,
kepala lingkungan Bangun Sari di Desa Sei Musang, tak tertolong
lagi.
"Anggota kami telah salah tembak," begitu terus terang diakui
perwira PeneranganKodak II Sumatera Utara, Mayor J. Sihombing.
Serda Sitorus dari Kepolisian Deli Serdang, si penembak itu,
sebenarnya sedang bertugas menangkap kawanan perampok yang
dipimpin Darto Batak. Informasi menyatakan bahwa penjahat yang
dicarinya berada di Sei Musang. Tapi siapa mengira, seperti kata
Sihombing, Yunus mempunyai ciri yang dimiliki buronan: tubuh
kurus, tinggi, kulit hitam dan rambut lurus.
Maka, begitu melihat Yunus yang tindak tanduknya dinilai
mencurigakan, antara lain tak mau menghentikan sepeda motor,
Sitorus tak mau kehilangan jejak. Ia langsung menembak. Dan
itulah yang tak masuk di akal Ahmad Rahim, 55 tahun, ayah Yunus.
"Mengapa polisi begitu gegabah dan ringan tangan?" sergah
pensiunan sersan AD itu. Pekan ini ia rencananya akan mengajukan
tuntutan. Ia menghendaki polisi menanggung biaya hidup keluarga
anaknya. "Kalau tidak mau, mereka harus bayar Rp 10 milyar untuk
nyawa anak saya," katanya geram.
Temu, istri korban yang kini sedang hamil, masih tampak berduka
ketika ditemui pekan lalu. "Anak-anak mau diberi makan apa?"
katanya sambil menunjuk lima anaknya yang masih kecil-kecil.
Selama ini Yunus hidup sebagai petani karet. Pada hari naas itu
Yunus sebenarnya hendak menjual hasil kebun ke pasar.
Lima hari sebelum kejadian di Langkat, Usman Alatas, 22 tahun,
juga meninggal karena tembakan anggota polisi di Depok Timur,
Bogor. Pulang membeli obat, malam 9 April, Usman memboncengkan
Dadi. Merasa tak punya SIM, ia langsung tancap gas, ketika tahu
di depan perusahaan rekaman PT Yukawi ada razia oleh polisi.
Mereka tidak tahu bahwa di belakang ada polisi mengejar. Dan
ketika hampir mencapai rumah, tiba-tiba terdengar bunyi "dor",
sebuah peluru pistol Colt 38 menembus lambung dan bersarang di
bahu kiri Usman. Korban, yang disangka bandit, mati seketika.
Itulah adegan kedua.
"Saya tahu, yang menembak Serda Gandrung dari Kepolisian Depok,"
kata kakak korban, Ali Alatas, yang bekerja di Markas Besar TNI
AL. Ia menyayangkan tindakan polisi yang gegabah - menembak
tanpa bertanya lebih dahulu. "Menembaknya dari belakang lagi,"
katanya sengit. Ia merasa amat kehilangan adik bungsunya yang
masih buangari itu.
Di Yogyakarta, Rio Sancoyo juga turut dibuat susah oleh ulah
petugas yang "ringan tangan": membuang tembakan seenaknya
sehingga istrinya, Chatarina, 43 tahun, terbaring di Rumah Sakit
Bethesda. Dua butir peluru mengenai dada serta sela ibu jari dan
telunjuk tangan kirinya. "Saya ini anak polisi dan tertembak
polisi," kata ibu enam anak itu masih mencoba melucu. Ayahnya
seorang purnawirawan polisi.
Peristiwa naas itu terjadi 2 April lalu saat ia berada di depan
rumah orangtuanya di Jalan Purwanggan. Dari jauh ia melihat
petugas Polantas, yang sedang mengadakan razia kendaraan
bermotor, menguber sebuah Honda bebek. Tiba-tiba terdengar
letusan dua kali dan tahu-tahu tangan dan dadanya berdarah. Si
penembak, Bharatu Purnomo, yang datang naik mobil patroli,
langsung membawa Nyonya Rio ke rumah sakit. Ketika diberitahu
bahwa peluru yang ditembakkan mengenai dada, "polisi itu
menangis seperti anak kecil," kenang Nyonya Rio.
Syukurlah kasus di Yogya itu tak berkepanjangan. Tapi penembakan
oleh Bharada Setyo, anggota Polantas Banjarnegara (Jawa Tengah),
12 April lalu, hampir saja bikin geger. Sudarsono, yang pagi itu
naik sepeda motor untuk mengikuti Ebtanas STM, tertembak lutut
kirinya. Gara-garanya hanya ia tidak mendengar peringatan
petugas agar memperlambat kendaraannya.
Para pelajar, dikabarkan memenuhi alunalun dan tempat-tempat
lain, menunjukkan protes terhadap polisi yang ringan tangan.
Lalu berkembang isu, selain hendak menyerbu kantor polisi para
pelaiar )uga akan menggasak toko-toko Cina. Untunglah petugas
sigap bertindak, sehingga keributan tidak menjalar ke mana-mana.
Sudarsono sendiri terpaksa mengikuti ujian di rumah sakit -
karena kaki kirinya tak bisa dibawa jalan dan mungkin akan
diamputasi.
Itulah korban-korban petugas yang ringan tangan. "Pada dasarnya
polisi tak boleh menembak, kecuali jiwanya terancam dan kekuatan
pihak lawan seimbang," kata Mayor Pol. Soenarto, wakil kepala
Penerangan Kodak VII Jaya. Jadi, katanya, meski berbahaya, bila
si penjahat hanya menggenggam pentungan kayu, semestinya petugas
jangan menembak. Kalaupun terpaksa menembak, harus melepas
tembakan peringatan dulu, dan jangan sampai tembakannya
berakibat fatal. Itu teorinya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini