Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Hal Petugas Ringan Tangan

Beberapa kasus salah tembak oleh petugas polisi, di depok, langkat, yogya dan banjarnegara. dua korban tewas (di depok dan langkat), dan dua lagi (yogya dan banjarnegara) luka.(krim)

30 April 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADEGAN pertama terjadi di sebuah jembatan. Mohamad Yunus, yang mengendarai sepeda motor bersama Natap Tarigan, disalib kendaraan lain. Si penyalib, juga mengendarai sepeda motor bersama temannya, membentak: "Berhenti!" Salah seorang di antara mereka malah langsung membetot Tarigan - yang membonceng Yunus hingga terpelanting. Yunus gugup - barangkali karena itu ia tidak menghentikan kendaraannya. Dua orang yang menjebak penduduk Langkat di jembatan itu ternyata polisi. Dan karena mereka mengira "buronannya" hendak melarikan diri, pistol pun turut bicara. Dua letusan di siang panas, 15 April IIIU itu membuat Yunus tersungkur berlumur darah. Sebutir peluru menembus pinggangnya. Penduduk yang kebetulan menyaksikan seperti terkesima. Jiwa Yunus 34 tahun, kepala lingkungan Bangun Sari di Desa Sei Musang, tak tertolong lagi. "Anggota kami telah salah tembak," begitu terus terang diakui perwira PeneranganKodak II Sumatera Utara, Mayor J. Sihombing. Serda Sitorus dari Kepolisian Deli Serdang, si penembak itu, sebenarnya sedang bertugas menangkap kawanan perampok yang dipimpin Darto Batak. Informasi menyatakan bahwa penjahat yang dicarinya berada di Sei Musang. Tapi siapa mengira, seperti kata Sihombing, Yunus mempunyai ciri yang dimiliki buronan: tubuh kurus, tinggi, kulit hitam dan rambut lurus. Maka, begitu melihat Yunus yang tindak tanduknya dinilai mencurigakan, antara lain tak mau menghentikan sepeda motor, Sitorus tak mau kehilangan jejak. Ia langsung menembak. Dan itulah yang tak masuk di akal Ahmad Rahim, 55 tahun, ayah Yunus. "Mengapa polisi begitu gegabah dan ringan tangan?" sergah pensiunan sersan AD itu. Pekan ini ia rencananya akan mengajukan tuntutan. Ia menghendaki polisi menanggung biaya hidup keluarga anaknya. "Kalau tidak mau, mereka harus bayar Rp 10 milyar untuk nyawa anak saya," katanya geram. Temu, istri korban yang kini sedang hamil, masih tampak berduka ketika ditemui pekan lalu. "Anak-anak mau diberi makan apa?" katanya sambil menunjuk lima anaknya yang masih kecil-kecil. Selama ini Yunus hidup sebagai petani karet. Pada hari naas itu Yunus sebenarnya hendak menjual hasil kebun ke pasar. Lima hari sebelum kejadian di Langkat, Usman Alatas, 22 tahun, juga meninggal karena tembakan anggota polisi di Depok Timur, Bogor. Pulang membeli obat, malam 9 April, Usman memboncengkan Dadi. Merasa tak punya SIM, ia langsung tancap gas, ketika tahu di depan perusahaan rekaman PT Yukawi ada razia oleh polisi. Mereka tidak tahu bahwa di belakang ada polisi mengejar. Dan ketika hampir mencapai rumah, tiba-tiba terdengar bunyi "dor", sebuah peluru pistol Colt 38 menembus lambung dan bersarang di bahu kiri Usman. Korban, yang disangka bandit, mati seketika. Itulah adegan kedua. "Saya tahu, yang menembak Serda Gandrung dari Kepolisian Depok," kata kakak korban, Ali Alatas, yang bekerja di Markas Besar TNI AL. Ia menyayangkan tindakan polisi yang gegabah - menembak tanpa bertanya lebih dahulu. "Menembaknya dari belakang lagi," katanya sengit. Ia merasa amat kehilangan adik bungsunya yang masih buangari itu. Di Yogyakarta, Rio Sancoyo juga turut dibuat susah oleh ulah petugas yang "ringan tangan": membuang tembakan seenaknya sehingga istrinya, Chatarina, 43 tahun, terbaring di Rumah Sakit Bethesda. Dua butir peluru mengenai dada serta sela ibu jari dan telunjuk tangan kirinya. "Saya ini anak polisi dan tertembak polisi," kata ibu enam anak itu masih mencoba melucu. Ayahnya seorang purnawirawan polisi. Peristiwa naas itu terjadi 2 April lalu saat ia berada di depan rumah orangtuanya di Jalan Purwanggan. Dari jauh ia melihat petugas Polantas, yang sedang mengadakan razia kendaraan bermotor, menguber sebuah Honda bebek. Tiba-tiba terdengar letusan dua kali dan tahu-tahu tangan dan dadanya berdarah. Si penembak, Bharatu Purnomo, yang datang naik mobil patroli, langsung membawa Nyonya Rio ke rumah sakit. Ketika diberitahu bahwa peluru yang ditembakkan mengenai dada, "polisi itu menangis seperti anak kecil," kenang Nyonya Rio. Syukurlah kasus di Yogya itu tak berkepanjangan. Tapi penembakan oleh Bharada Setyo, anggota Polantas Banjarnegara (Jawa Tengah), 12 April lalu, hampir saja bikin geger. Sudarsono, yang pagi itu naik sepeda motor untuk mengikuti Ebtanas STM, tertembak lutut kirinya. Gara-garanya hanya ia tidak mendengar peringatan petugas agar memperlambat kendaraannya. Para pelajar, dikabarkan memenuhi alunalun dan tempat-tempat lain, menunjukkan protes terhadap polisi yang ringan tangan. Lalu berkembang isu, selain hendak menyerbu kantor polisi para pelaiar )uga akan menggasak toko-toko Cina. Untunglah petugas sigap bertindak, sehingga keributan tidak menjalar ke mana-mana. Sudarsono sendiri terpaksa mengikuti ujian di rumah sakit - karena kaki kirinya tak bisa dibawa jalan dan mungkin akan diamputasi. Itulah korban-korban petugas yang ringan tangan. "Pada dasarnya polisi tak boleh menembak, kecuali jiwanya terancam dan kekuatan pihak lawan seimbang," kata Mayor Pol. Soenarto, wakil kepala Penerangan Kodak VII Jaya. Jadi, katanya, meski berbahaya, bila si penjahat hanya menggenggam pentungan kayu, semestinya petugas jangan menembak. Kalaupun terpaksa menembak, harus melepas tembakan peringatan dulu, dan jangan sampai tembakannya berakibat fatal. Itu teorinya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus