Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Gelar Palsu Cap Berkley

Dituduh memalsukan gelar, Rektor Universitas PGRI Kupang terancam dilaporkan ke polisi. Pengobral gelar bodong asal luar negeri masih berkeliaran.

19 Januari 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Setelah berbulan-bulan didera konflik rebutan kursi rektor, Universitas PGRI Kupang, Nusa Tenggara Timur, kini dirundung masalah lagi. Keabsahan gelar doktor Samuel Haning, rektor universitas itu, kembali dipersoalkan. Kali ini yang meributkan gelar Haning bukan hanya "lawan politik" dia di universitas dan Yayasan PGRI Kupang.

Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi pun tak mengakui gelar doktor yang menurut Haning diperoleh dari University of ­Berkley itu. Direktorat menyebutkan Haning telah memalsukan sejumlah dokumen penyetaraan gelar. "Kami akan melaporkan dia ke polisi," kata Dharnita Chandra, Kepala Subdirektorat Penyelarasan dan Pengembangan Keunggulan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, kepada Tempo, Rabu pekan lalu.

Di Kupang, kabar tentang gelar palsu Haning pernah berembus pada pertengahan tahun lalu. Waktu itu sekelompok pengajar dan pegawai Universitas PGRI Kupang melaporkan dugaan gelar palsu tersebut ke Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Timur. Laporan itu mencuat di tengah rebutan tampuk kepemimpinan universitas.

Bara konflik di perguruan tinggi itu memanas pada 10 Januari 2014. Waktu itu pengurus Yayasan PGRI Pusat mengangkat Samuel Haning sebagai rektor untuk periode 2014-2018. Rupanya, penunjukan Haning ditolak pengurus Yayasan PGRI Kupang. Pada 13 Juni 2014, pengurus Yayasan­ mengangkat rektor tandingan, Antonius Kato. Untuk menengahi, pada Juli tahun lalu, Gubernur NTT Frans Lebu Raya turun tangan.

Dia mempertemukan kedua kubu dalam Forum Komunikasi Pimpinan Daerah. Waktu itu kedua kubu sepakat rujuk dan mendukung Haning sebagai rektor. Seiring dengan perdamaian itu, isu gelar palsu pun sempat mereda.

Meski begitu, aksi saling gugat di Pengadilan Tata Usaha Negara tetap jalan. Pengurus Yayasan PGRI Kupang menggugat keputusan Yayasan PGRI Pusat mengangkat Haning sebagai rektor.

Keputusan Yayasan PGRI Pusat membekukan kepengurusan daerah dan mengambil alih kendali universitas pun digugat. Hasilnya, pada awal November 2014, PTUN Jakarta menolak gugatan itu. Sebulan kemudian, gelar doktor Haning kembali diungkit-ungkit. Awal Desember tahun lalu, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi menerima laporan dari sejumlah pengacara yang mengatasnamakan pengurus Yayasan­ PGRI Kupang.

Menurut Dharnita Chandra, pelapor meminta penjelasan Direktorat soal dua versi surat pengesahan gelar doktor Haning. Dharnita bercerita, pada awal Agustus 2014, Samuel Haning memohon pengesahan (legalisasi) salinan Surat Keputusan Menteri Pendidikan Nomor 9917/Kep.Dikti/IJLN/2014. Dalam salinan "SK menteri" itu, Haning disebut memperoleh gelar doctor of law dari University of Berkley, Amerika Serikat. Disebutkan pula gelar itu telah disetarakan dengan gelar doktor (pendidikan S-3) di Indonesia.

Surat tanggal 24 Maret 2014 itu "diteken" Direktur Pembelajaran dan Kemahasiswaan Illah Sailah. Ketika diteliti, ternyata nama Haning tak tercantum dalam daftar peserta program pendidikan doktoral di luar negeri. Surat penyetaraan gelar yang dipegang Haning pun tak ada arsipnya. Ketika Dharnita menanyakan asal-usul surat itu, Haning menyebutkan "SK menteri" itu ia peroleh dari perwakilan University of Berkley di Jakarta. "Satu paket dengan ijazah doktor dan transkrip nilainya," ujar Dharnita menirukan Haning.

Dharnita dan kawan-kawan semakin curiga. Apalagi, menurut penelusuran mereka, University of Berkley tak mendapat akreditasi (pengakuan) dari Dewan Pendidikan Tinggi dan Departemen Pendidikan di Amerika Serikat. Universitas itu pun tak ada hubungannya dengan University of California, Berkeley.

Pada 4 Agustus 2014, Dharnita membuat surat keterangan yang menyatakan "SK menteri" soal penyetaraan gelar doktor itu tidak sah. Belakangan, Dharnita menemukan bahwa surat keterangan yang ia keluarkan itu dipalsukan isi dan tanggalnya. Pada surat palsu tercantum "SK menteri" tentang penyetaraan gelar Haning itu sah. Tanggal surat itu pun diubah menjadi 27 Maret 2014.

Kepada Tempo, Samuel Haning membantah telah memalsukan surat dan memakai gelar bodong. Dia mengaku memperoleh gelar doktor dari University of Berkley, Amerika, setelah menempuh perkuliahan jarak jauh. "Kartu mahasiswa saya punya. Kuliahnya pun ada," kata Haning. Meski begitu, Haning mengaku tak memakai lagi gelar doktor itu sejak Agustus tahun lalu.

Di samping menghargai keputusan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Haning mengaku telah diperingatkan Yaya­san PGRI Pusat agar tak memakai lagi gelar itu. Untuk memperoleh gelar doktor yang diakui pemerintah, Haning memilih melanjutkan pendidikan di Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta.

l l l

Jejak University of Berkley ditemukan di sejumlah situs penyedia informasi perguruan tinggi luar negeri. Namun situs itu umumnya meminta calon mahasiswa mewaspadai program pendidikan yang ditawarkan universitas tersebut. Situs www.geteducated.com, misalnya, malah menyebutkan otoritas pendidikan di Michigan dan Texas telah menyatakan program kuliah dan gelar yang ditawarkan universitas tersebut ilegal.

Di Jakarta, program kuliah jarak jauh University of Berkley difasilitasi Lembaga Manajemen Internasional Indonesia (LMII). Di sejumlah iklan Internet, LMII-University of Berkley mencantumkan alamat dan nomor telepon yang berbeda-beda. Beberapa nomor telepon itu tak bisa dihubungi atau salah sambung.

Penelusuran Tempo akhirnya menemukan kantor LMII-University of Berkley di lantai dua Gedung Yarnati, Jalan Proklamasi, Jakarta Pusat. Jumat pekan lalu, Tempo menyambangi kantor yang dindingnya penuh tempelan fotokopi piagam dan foto wisuda itu. Di sana, wartawan majalah ini menemui Liartha S. Kembaren, yang mengaku Direktur LMII sekaligus Executive Director Far Eastern University of Berkley.

Liartha membenarkan kabar bahwa Haning pernah menempuh pendidikan jarak jauh di University of Berkley. Lelaki 78 tahun itu mengklaim bahwa sejumlah jenderal, kepala daerah, pengusaha, dan diplomat asing telah menggondol berbagai gelar dari lembaga yang ia pimpin. Bagi tokoh yang sibuk seperti Haning, Liartha menawarkan berbagai kemudahan. Mereka cukup mendaftar, melengkapi persyaratan, dan membayar sejumlah biaya. "Kuliahnya bisa online," ucap Liartha. "Kalau mau, program doktor di sini bisa selesai tiga bulan."

Adapun biayanya tergantung program yang dipilih. Untuk gelar master, ongkosnya sekitar Rp 35 juta. Untuk gelar doktor sekitar Rp 57 juta. "Kalau mau doctor honoris causa, cukup Rp 45 juta," ujar Liartha, seraya menawari Tempo mencari calon mahasiswa dengan sejumlah imbalan.

Menurut Dharnita, "pengobral gelar" asal luar negeri masih terus mencari korban di Indonesia. "Kasus ijazah palsu banyak sekali," katanya. Untuk membongkar jaringan pemalsu gelar akademik itu, Kementerian Riset tengah merancang nota kesepahaman khusus dengan Markas Besar Kepolisian RI. "Kasus seperti itu tak bisa ditangani secara biasa-biasa saja," Dharnita menegaskan.

Jajang Jamaludin, Mitra Tarigan (Jakarta),Johanes Seo (Kupang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus