Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah mengalami perubahan signifikan dalam lima tahun terakhir, terutama selama periode kedua pemerintahan Presiden Joko Widodo (2019-2024). Di tengah tuntutan pemberantasan korupsi yang semakin kuat, KPK menghadapi berbagai tantangan, termasuk perubahan dalam regulasi, revisi UU KPK, dan berbagai kontroversi seputar kasus-kasus besar yang ditangani.
Mantan Ketua sementara KPK Nawawi Pomolango tak menyangkal adanya dinamika dan problem di dalam internal lembaga yang pernah dipimpinnya, terutama dalam penindakan tindak pidana rasuah. Dia mengakui masih banyak perkara korupsi yang penanganannya lamban sehingga tak kunjung tuntas.
Beberapa perkara yang menjadi sorotannya, yakni perkara yang melibatkan Harun Masiku dalam kasus suap pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR, korupsi kerja sama dan akuisisi PT Jembatan Nusantara oleh PT ASDP Ferry Indonesia (Persero), serta korupsi pengadaan Liquefied Natural Gas (LNG) di PT Pertamina (Persero) tahun anggaran 2011-2021.
Dalam perkara PT ASDP dan LNG, Nawawi telah meminta dua wakilnya, Alexander Marwata dan Johanis Tanak untuk berkomunikasi dengan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) serta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk segera menyelesaikan penghitungan keruagian negara atau PKN. “Ada alasan karena penghitungan kerugian negara belum. Saya juga sudah minta Pak Alex dan Pak Tanak untuk ngobrol dengan BPKP dan BPK,” kata Nawawi kepada Tempo di kantor KPK, pada Rabu, 11 Desember 2024.
Sedangkan untuk perkara Harun Masiku yang telah dinyatakan sebagai DPO atau daftar pencarian orang, Nawawi mengaku acapkali menanyakan perihal kendala yang dialami penyidik sehingga tak kunjung menemukan keberadaan politikus PDIP itu. Bahkan, untuk mempercepat penuntasan kasus Harun Masiku, pimpinan menunjuk Rossa Purbo Bekti sebagai kepala satgas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lampiran Daftar Pencarian Orang Harun Masiku. Dok. KPK
“Ya sebetulnya karena penyidiknya menyatakan belum dapat. Satgasnya itu kan sampai diganti sama si Rossa itu, orang yang kita pikir paling memahami betul dengan itu. Selalu saya coba tanyakan,” ujar Nawawi. Tidak saja mengganti kasatgas, KPK juga telah menerbitkan surat DPO baru lantaran batas waktunya telah habis. Dalam surat yang ditandatangani oleh mantan Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron itu, komisi antirasuah merilis empat foto Harun Masiku dengan penampilan yang berbeda dari sebelumnya.
Ihwal masih adanya perkara-perkara yang belum tuntas penanganannya, Nawawi menjelaskan ada sejumlah faktor yang menyebabkan hal itu terjadi, mulai dari pembaruan Undang Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), loyalitas ganda atau main perkara di KPK, dan faktor eksternal seperti penghitungan kerugian negara oleh BPK dan BPKP.
Menurut pria kelahiran Gorontalo ini, kendala yang muncul dari pembaruan UU Tipikor adalah KPK semacam diberi tugas untuk menyiapkan model perubahan, seperti apa versi KPK dalam UU Tipikor Nomor 20 tahun 2021. Ini berkaitan dengan lahirnya konvensi PBB melawan korupsi United Nations Convention against Corruption atau UNCAC 2003 yang diketahui ada UU Nomor 7 Tahun 2006 disahkannya pengesahaan konvensi PBB melawan korupsi.
Dia berkata ada dua amanah yang diberikan di UNCAC 2003. Pertama berhubungan dengan penyidikan tunggal. UNCAC 2003 mengamanatkan perlunya dibentuk satu badan khusus dari negara peserta, termasuk Indonesia yang meratifikasi dengan UU No. 7 tahun 2006. Badan khusus ini dikonvensi di Indonesia pada 2002 dengan melahirkan UU No. 30 tahun 2002, yang kemudian diterjemahkan seakan-akan KPK.
Namun demikian, Nawawi masih mempertanyakan perihal kewenangan KPK sebagai badan khusus sebagaimana yang dimaksud dalam UNCAC. Sebab, apabila bercermin pada ICAC Hong Kong, itu benar-benar satu badan khusus, yang dalam artian urusan korupsi merupakan urusannya. Sehingga, dalam lembaganya tidak ditemukan campur tangan dari polisi maupun kejaksaan. Sementara di Indonesia, semua tindak pidana korupsi bisa ditangani oleh kejaksaan dan kepolisian.
Dia menjelaskan ketika UU No. 30 tahun 2002 lahir, masih diperkenalkan dengan istilah KPK sebagai trigger mechanism, pemicu atau pendorong. Namun, jika dicermati dalam UU No. 19 tahun 2019, revisi atas UU No. 30 tahun 2002. Istilah trigger mechanism tidak lagi ditemukan alias hilang. KPK bukan lagi trigger mechanism bagi dua lembaga tersebut, melainkan diganti dengan sinergitas.
Nawawi menilai ketika treatmen yang dilakukan ketiga lembaga, yakni KPK, Kejaksaan, Kepolisian yang diberi kewenangan berbeda dalam menangani tindak pidana korupsi, maka ada potensi pelangaran HAM. Alasannya karena pilih-pilih dalam penanganan perkara. Bahkan, dia mengakui di KPK pilih-pilih perkara memang terjadi dan jumlahnya tidak sedikit, ada beberapa perkara di KPK yang ada ‘ekor-ekornya’.
Dia mengungkap mekanisme pilih-pilih perkara yang terjadi di KPK, yakni setelah melakukan penyidikan terhadap tersangka, mulai dari awal sampai dengan sidang, yang belakangan pengembangannya ada, namun kemudian tersangkanya cenderung meminta agar pekaranya dilimpahkan ke polisi. Tersangka mengajukan permintaan agar penanganan perkaranya ditangani aparat penegak hukum atau APH lain yang di daerah.
Selain pembaruan UU Tipikor, independensi sumber daya manusia atau SDM juga menjadi penyebab perkara rasuah yang penanganannya masih berlarut-larut. Sejumlah persoalan inilah yang kemudian memengaruhi Nawawi ogah melanjutkan pengabdiannya di KPK. Meskipun sudah ada revisi UU KPK, menurut dia, pelbagai persoalan di internal Komisi Antirasuah akan tetap ada. Sebab, pemberantasan korupsi di Indonesia masih belum terarah. Bahkan, Nawawi menyinggung pernyataan Yusril Ihza Mahendra yang menyebut lembaga yang hobinya hitung-hitung kerugian negara.
Dalam kesempatan yang sama, Nawawi menanggapi soal KPK masih memiliki tiga DPO, namun dalam data terbaru, DPO KPK saat ini ada enam orang, kemudian soal kebocoran dari internal KPK seperti penggeledahan di kantor PDIP, yang disebut-sebut dibocorkan Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron, kemudian Ketua KPK Firli Bahuri menghubungi pihak Hasto dalam perkara Harun Masiku, dan yang penggeledahan Jhonlin gagal karena bocor dari Fitroh Rohcahyanto yang pada saat itu Direktur Penuntutan KPK.
Nawawi mengaku sejak menjadi bagian dari KPK, persoalan kebocoran informasi menjadi soal klasik. Oleh karena itu, dia terus berusaha dengan membentuk inspektorat untuk menangani kasus tersebut. Namun, pemberdayaan inspektorat masih belum maksimal. Persoalan siapa yang membocorkan informasi, kata dia, memang tidak bisa langsung menuding dalam perkara-perkara yang ada. “Tapi terus kita upayakan bagaimana kebocoran itu dengan segala cara,” katanya.
Selanjutnya, untuk beberapa penanganan perkara yang masih ‘molor’, Nawawi sudah meminta penjelasan kepada Deputi Penindakan bersama dengan Direktur Penyidikan lantaran banyaknya perkara di tingkat penyidikan yang tak kunjung dilimpahkan. Bahkan dia meminta penyidikan agar dilakukan lebih cepat. Oleh karena itu, dia menegaskan bahwa pimpinan tidak melakukan pembiaran terhadap perkara-perkara yang tersendat penanganannya. Sebab, Pasal 40 UU KPK mengatur kewenangan untuk menghentikan penyidikan dan penuntutan suatu perkara jika penyidikan dan penuntutan tersebut tidak selesai dalam waktu dua tahun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mantan Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menjawab perihal rumor ‘main perkara’ di komisi antirasua. Dia menyebut bahwa hal semacam itu bukan di tingkat pimpinan. Sebab, jumlah pimpinan ada lima dan seandainya seseorang yang berperkara mampu memengaruhi satu pimpinan atau berharap kepada satu pimpinan, maka tidak bisa. “Kalau ada pejabat minta tolong kepada satu pimpinan supaya perkaranya dikesampingkan, dipastikan pimpinan itu tidak akan berbicara ke pimpinan lain, tidak akan berani,” kata Alexander dalam wawancara daring bersama Tempo, pada Sabtu, 14 Desember 2024.
Alex—begitu sapaan akrabnya—menuturkan selama sembilan tahun menjadi pimpinan di KPK, dirinya tidak pernah mendiskusikan soal bagaimana perkara yang jelas-jelas buktinya sudah lengkap, kemudian, dihentikan. Dia menjelaskan di KPK, suatu perkara dibangun dari bawah, dari Dirokterat PLPM berlanjut ke Direktorat Penyelidikan-Direktorat Penyidikan-Direktorat Penuntutan.
Peran pimpinan ketika penyelidik menemukan alat bukti cukup, mereka harus lapor ke pimpinan yang kemudian akan dilakukan ekspose, untuk menentukan cukup tidaknya alat bukti dan untuk menetapkan tersangka. Jadi pimpinan itu perannya dalam penindakan itu seperti itu. Jadi, secara praktis, yang lebih banyak berperan dalam suatu perkara adalah Satgas, Direktur, Deputi di penindakan karena mereka betul-betul mengkontrol penindakan secara individual.
Alex berkata direktur penyelidikan bisa saja memerintahkan kasatgasnya. Misalnya, kasatgas akan memanggil, meminta keterangan dari seorang menteri, namun direkturnya mengatakan itu tidak perlu sehingga pemanggilan itu tidak terjadi. Informasi yang seperti itu, kata Alex, tidak sampai kepada pimpinan karena pemanggilan saksi atau calon saksi tidak atas izin pimpinan.
Bahkan perihal kasus penyidik KPK yang berasal dari Polri Robin Pattuju, kata dia, para pimpinan tidak mengerti dan baru mengetahui karena secara gamblang apa yang dikerjakannya terungkap di persidangan, mulai dari dia periksa saksi, kemudian menakut-nakuti saksi. “Nah itu kan dengan cara-cara tertentu. Jadi itu murni domainnya penyelidik, penyidik. Jadi kalau udah berurusan dengan alat bukti, saksi pimpinan hampir tidak pernah terlibat,” ujarnya. Namun demikian, dia tidak membantah dalam prosesnya sprindik dan surat perintah penggeledahan penyitaan yang jadi satu ditandatangani oleh pimpinan, yang di dalam surat itu tidak disebutkan lokasi atau tempat yang akan dilakukan penggeledahan sehingga pimpinan tidak tahu-menahu soal itu.
Di sisi lain, Alex juga menjawab rumor buruk tentang Firli Bahuri. Dia menyebut banyak pihak yang salah menilai sosok Firli karena hanya mendengar dari luar apalagi yang berhubungan dengan polemik ketika terpilih menjadi Ketua KPK. Dia mengatakan bahwa banyak yang lupa, barang kali ketika Firli menjadi deputi penindakan, yang menurut Alex, kinerja Firli luar biasa. Alasannya, pada era kepemimpinan Firli sebagai deputi penindakan, operasi tangkap tangan (OTT) paling tinggi dalam sejarah KPK. Namun Ketua KPK ketika itu, Agus Rahardjo, memang memiliki visi-misi memperbanyak OTT.
Alex menyatakan Firli tidak pernah mendominasi pimpinan bahkan one man show. Alex tidak pernah merasa ditekan atau harus mengikuti perintah Firli Bahuri. Bahkan dalam hal penindakan, Firli mempercayakan kepada dirinya, Johanis Tanak, dan Nurul Ghufron. Mereka diberikan tanggung jawab untuk mengawasi penindakan, sedangkan Firli justru membidangi kesekjenan, kedeputian pendidikan dan peran serta masyarakat.
Perihal penangan perkara rasuah yang masih banyak jalan di tempat, Alex menilai KPK di bawah pimpinan jilid lima ini lebih mudah diintervensi oleh pihak luar. Hal ini dirasa berbeda dengan periode empat tahun pertamanya, yang mana pada saat itu KPK masih mendapat dukungan masyarakat.
Dia menuturkan sekarang ini ketika intervensi tidak dilakukan lewat pimpinan, maka dilakukan kepada bawahan dan pegawai KPK pun telah terjebak dengan status ASN. Alex menduga mereka terbelenggu dengan berbagai kode etik ASN, dengan peraturan-peraturan kepegawaian ASN.
Sementara itu, mantan Wakil Ketua KPK yang kembali terpilih dalam jabatan yang sama, Johanis Tanak mengatakan dinamika yang dialaminya adalah terkait dengan hubungan antarpimpinan. “Dalam pelaksanaan tugas di KPK, ketua selalu merasa yang paling berwenang dan paling menentukan dalam mengambil keputusan, termasuk dalam hal menetapkan keputusan suatu perkara layak ditetapkan sebagai perkara tipikor atau tidak,” kata Tanak menjawab secara tertulis, pada Jumat, 13 Desember 2024.
Menurut dia, dalam konteks seperti itu, prinsip kolektif kolegial sebagaimana yang diamanatkan dalam UU KPK tidak dapat dilaksanakan sesuai yang diharapkan bahkan terabaikan. Pria kelahiran Toraja ini, menilai bahwa idealnya lima Pimpinan KPK yang mempunyai kedudukan yang sama, tidak ada yang menjadi ketua dan tidak ada yang menjadi wakil ketua. Menurut Tanak, lima pimpinan KPK merupakan satu kesatuan pimpinan yang mempunyai kedudukan sama dan di antara lima pimpinan dapat menunjuk seorang koordinator yang bergantian setiap tahun.
Tanak menyebut selama menjadi pimpinan KPK, ia menemukan perbedaan pandangan dalam penangan perkara sehingga prinsip kolektif kolegial tidak tercapai, yang pada akhirnya menggunakan suara terbanyak.
Pada kepemimpinan yang baru, Tanak menginginkan IPKA perkara tipikor bisa meningkat sehingga perkara tipikor di Indonesia bisa turun. Namu, yang menjadi masalah adalah pikiran lima Pimpinan yang terdiri dari satu ketua dan empat wakil bisa berbeda pandangan yang akan menyulitkan dalam menyikapi suatu perkara.
Hingga masa kepemimpinan Tanak berakhir, KPK masih memiliki “utang” perkara rasuah yang penanganannya belum tuntas, termasuk SP3 atau surat perintah penghentian penyelidikan. Menurut dia, tindak lanjut atas perkara-perkara lama yang belum tuntas, bisa ditutup dengan mengeluarkan SP3 sesuai ketuan dalam UU KPK.
Menurut data yang diperoleh Tempo, dalam periode 2019-2023 ada 293 perkara yang di-SP3, dengan rincian 31 perkara pada 2019; 83 perkara pada 2020; 79 perkara pada 2021; 71 perkara pada 2022; dan 29 perkara pada 2023.
Data kasus di KPK periode 2019-2024
Menanggapi perihal perkara yang di-SP3, mantan Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron menyangkal kewenangan SP3 justru membuat kinerja KPK semakin buruk. Dia justru menilai kewenangan SP3 membuat kinerja KPK semakin baik karena memberikan kepastian status hukum seseorang yang terlibat dalam suatu perkara pidana korupsi, khususnya. “Kasihan kemudian yang tersangka bisa sampai-seandainya meninggal masih tetap menyandang status tersangka,” katanya saat ditemui di kantornya, pada Kamis, 19 Desember 2024.
Ghufron menyebut perkara korupsi BLBI yang melibatkan Sjamsul Nursalim menjadi salah satu perkara yang SP3. Pertimbangan pimpinan ketika memutus kasus untuk SP3, kata dia karena dianggap satu rangkaian atau dalam bahasa hukumnya satu turut serta dalam tersangka, yakni Syafruddin Arsyad Temenggung. Itjih Nursalim dan Sjamsul Nursalim menjadi tersangka satu paket dengan Syafruddin, yang mana ketika PK atau peninjauan kembali-nya diputus lepas oleh majelis hakim, maka keduanya dibebaskan. Sebab, telah berkekuatan hukum tetap, maka KPK harus menghentikan perakaranya.
Dia menjelaskan ketidakmampuan seseorang disidangkan bukan alasan dan bukan dasar pimpinan melakukan SP3. Yang menjadi pertimbangan SP3, pertama secara alat bukti tidak memungkinkan lagi untuk dilanjutkan karena ada keputusan hakim, baik di tingkat kasasi maupun PK atau memang dalam proses penyidikan, bukti yang ditargetkan ternyata tidak tercapai. Jadi, dua alat buktinya tidak didapat.
Namun demikian, dia menekankan pimpinan tidak mengabaikan penanganan perkara yang berlarut-larut, pimpinan tetap memberikan atensi, mulai dari enam bulan pertama saat perkara muncul, kemudian selalu dilakukan evaluasi dan berlanjut tiap bulannya untuk mengetahui progresnya.
Dari sisi kelembagaan, juru bicara KPK Tessa Mahardhika Sugiarto tak menampik adanya kemerosotan kepercayan publik terhadap lembaga antirasuah sejak Revisi UU KPK dan dengan pelbagai polemik Firli Bahuri pada saat menjadi Ketua KPK. Meskipun adanya kemerosotan kepercayan publik, KPK akan meningkatakan kinerja dan tidak menjadikan hal itu sebagai penghalang dalam memberantas korupsi.
Pasalnya, kata dia, KPK bisa mencapai persentase di atas 70 persen untuk pengembalian aset Negara. “KPK bersyukur bahwa hasil eksekusi dibandingkan dengan putusan pengadilan itu, kita bisa mencapai di persentase di atas 70 persen untuk pengembalian aset Negara,” kata Tessa dalam wawancara Tempo di kantornya, pada Jumat, 13 Desember 2024.
Dia mengatakan KPK ogah untu gembar-gembor penangan perkara dengan nilai kerugian yegara yang tinggi. Sebab, KPK berusaha menangani perkara yang memang achievable untuk pengembalian aset kerugian negara.
KPK pun saat ini fokus untuk menangani perkara dengan potensi kerugian keuangan negara yang besar, yang mana tidak mudah karena butuh waktu apabila itu terkait--contoh pengadaan seluruh Indonesia. Dalam penanganan perkara korupsi berupa pengadaan barang membutuhkan adanya penilaian ahli dalam menilai satu kualitas barang maupun infrastruktur, dan lain-lainnya. Selain itu, juga membutuhkan perhitungan kerugian Negara baik oleh BPK maupun BPKP. Hal-hal ini yang membuat penanganan perkara itu perlu menunggu, termasuk keterbatasan SDM.
Selanjutnya, untuk perkara SP3, salah satunya perkara korupsi ESDM yang melibatkan Jacob Purwono, dia menyebut keputusan itu diambil karena pertama sudah tidak bisa didapat alat bukti, terutama saat pindah gedung. Berikutnya, penyidiknya yang sudah tidak ada lantaran kembali ke instansi asal, jaksa penuntut umumnya juga sudah tidak ada, lalu untuk memulai kembali penyidikan tingkat kesulitannya tinggi.
Kedua, yang Jacob Purwono sudah menjalani masa penahanan dan dalam kondisi sakit. “Itu kita sudah melakukan pengecekan sendiri sehingga pimpinan dan Dewas setuju karena itu juga dievaluasi oleh Dewas, setuju untuk perkara tersebut di-SP3,” ujarnya.
Tessa menjelaskan SP3 bisa dilakukan apabila pihak yang berpekara meninggal, ketidakcukupan alat bukti, dan tidak terbukti melakukan tindak pidana korupsi. Apabila meninggal, kata dia, maka pimpinan mengeluarkan SP3 berdasarkan informasi dari penyidik didukung dengan data-data dan dilaporka ke Dewan Pengawas atau Dewas.
Proses pelaporan ke Dewas itu merupakan salah satu bentuk akuntabilitas, kenapa perkara dihentikan. Kalau seandainya memang Dewas tidak setuju pasti akan ada proses lebih lanjut. Tessa berkata SP3 itu bukan berarti perkara tidak bisa ditangani lagi, apabila ditemukan alat bukti yang baru, baik oleh KPK maupun APH lain, maka bisa SP3 itu dicabut.