Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tumpukan sampah memenuhi bagian belakang lahan di persimpangan Jalan R.E. Martadinata dan Jalan Sunter Permai Raya, Sunter, Jakarta Utara, itu. Kamis pekan lalu, sejumlah pemulung tampak mengais-ngais plastik dan barang bekas lain yang masih bisa dijual. Di bagian depan lahan, dekat pintu masuk, truk berbagai ukuran terparkir rapi. Bangunan semipermanen pun melengkapi pemandangan di sana.
Sejumlah pria terlihat berjaga-jaga di pintu masuk lahan yang beken dengan sebutan Taman BMW (Bersih, Manusiawi, dan ber-Wibawa) itu. Anggota Forum Warga Papanggo itu menarik sewa parkir dari sopir yang hendak memarkir truk atau membuang sampah ke lahan tersebut. "Pemanfaatan tanah ini sudah kami sepakati dengan pihak PT Buana Permata Hijau," kata Tigor Nainggolan, pentolan forum itu, Kamis pekan lalu.
Forum Warga Papanggo menempati lahan BMW sejak 2010. Menurut Tigor, mereka diminta PT Buana menjaga lahan itu agar tak direbut pihak lain, termasuk Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Sebagai imbalan, saban hari mereka diizinkan memungut uang sewa parkir atau upeti pembuangan sampah di lahan itu.
Pemerintah DKI Jakarta memutuskan akan membangun stadion bertaraf internasional di lahan seluas 26,5 hektare dengan nama Stadion BMW. Sarana olahraga baru itu akan dipakai untuk perhelatanAsian Games 2018. Pemerintah DKI juga akan menjadikan stadion ini sebagai kandang tim sepak bola Persija Jakarta.
Mengejar target pembangunan yang harus selesai pada 2017, pemerintah DKI mengajukan sertifikat hak pakai atas lahan itu. Pada Maret tahun lalu, Kantor Pertanahan Jakarta Utara baru menerbitkan dua sertifikat hak pakai untuk lahan seluas 10,9 hektare. Rencananya lahan BMW akan dipecah dalam tujuh sertifikat.
Gara-gara penerbitan dua sertifikat itulah PT Buana menggugat Kantor Pertanahan Jakarta Utara dan pemerintah DKI Jakarta ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Alasannya, sebagian lahan yang telah diterbitkan sertifikatnya beririsan dengan lahan seluas 6,9 hektare milik mereka. PT Buana mengklaim membeli lahan itu dari penggarap secara bertahap sejak 1972 sampai 1984.
Rabu pekan lalu, PTUN Jakarta mengabulkan gugatan PT Buana dan membatalkan kedua sertifikat itu karena tak berlandaskan hukum kuat. Penerbitannya hanya berdasarkan penetapan konsinyasi oleh Pengadilan Negeri Jakarta Utara dan berita acara serah-terima lahan dari pengembang. Yang benar, penerbitan sertifikat didasarkan pada hak alas, seperti akta jual-beli dan surat pelepasan hak.
Ini kekalahan pertama pemerintah DKI setelah memenangi sengketa atas lahan yang sama pada 2011. Waktu itu Pengadilan Negeri Jakarta Utara menolak gugatan atas nama Donald Guilamme, yang mengklaim sebagai ahli waris pemilik 30 hekÂtare lahan BMW.
Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama langsung merespons putusan PTUN ini. Bersama Kantor Pertanahan Jakarta Utara, pemerintah DKI akan mengajukan permohonan banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. "Dalam dua pekan, akan kami ajukan banding," ujar Ahok—panggilan Gubernur Basuki—Kamis pekan lalu.
Kepemilikan pemerintah DKI Jakarta atas lahan BMW berawal dari Instruksi Gubernur DKI Jakarta Nomor 275 Tahun 1989. Gubernur DKI Jakarta Wiyogo Atmodarminto waktu itu memerintahkan Kantor Pertanahan tidak melayani permohonan penerbitan izin yang diajukan tujuh pengembang yang belum melunasi kewajiban penyerahan fasilitas sosial dan fasilitas umum. Mereka adalah PT Agung Podomoro, PT Astra International Tbk, PT Prospect Motor, PT Indofica Housing, PT Subur Brother, PT REAM Pembangunan Jaya, dan PT Yakin Gloria.
Untuk melunasi kewajibannya, pada 2007 ketujuh perusahaan—diwakili PT Agung Podomoro—menyerahkan 26,5 hektare lahan BMW kepada pemerintah DKI. Waktu itu harga lahan ditaksir sekitar Rp 737 miliar. Dalam berita acara serah-terima disebutkan bahwa Podomoro menjamin lahan tersebut bebas sengketa. Namun Podomoro tak menyerahkan sertifikat tanah itu kepada pemerintah DKI dan hanya menyerahkan surat pelepasan hak yang mereka peroleh setelah membayar ganti rugi kepada para penggarap lahan. Kala itu, Podomoro berjanji menyelesaikan sertifikat tanah dalam waktu satu tahun. Ternyata, hingga kini, janji itu tak kunjung dipenuhi.
Klausul penyerahan sertifikat ini lantas menjadi perdebatan panjang dalam persidangan di PTUN. Menurut pemerintah DKI dan Kantor Pertanahan, klausul itu semestinya tak jadi masalah. Soalnya, Podomoro sudah menyerahkan surat pelepasan hak atas tanah itu. Sebaliknya, pihak PT Buana menilai berita acara itu batal demi hukum karena Podomoro tak memenuhi kewajiban.
Dalam persidangan di PTUN juga terungkap bukti pelepasan hak dari penggarap yang diberikan Podomoro kepada pemerintah DKI hanya berupa kertas fotokopian. Pemerintah DKI dan Kantor Pertanahan tak bisa menunjukkan surat asli pelepasan hak itu. "Suratnya pun tak jelas batas dan luas wilayahnya," ujar Ponco Atmono, kuasa hukum PT Buana. Sebaliknya, pihak PT Buana bisa menunjukkan surat asli pelepasan hak dari penggarap.
Berbeda dengan PT Buana yang menerima pelepasan hak langsung dari penggarap, dalam membebaskan lahan, Agung Podomoro dan kawan-kawan menggunakan perantara. Dalam sidang terungkap bahwa Podomoro meminta bantuan Badan Pengawas Pelaksanaan Pengembangan Lingkungan (BP3L)Sunter untuk bernegosiasi dengan penggarap.
Termasuk yang dinego BP3L pada 1990-an itu adalah PT Buana. Waktu itu BP3L membujuk PT Buana agar menjual lahan untuk pembangunan kawasan hijau oleh pemerintah DKI. Namun tawaran harga Rp 8.500 per meter persegi itu ditolak PT Buana. "Waktu itu kami tahu ada kepentingan pengembang lain dalam pembelian itu," ujar Sekretaris Perusahaan PT Buana, Gindar Sembiring.
Mentok dalam urusan harga, pemerintah DKI memilih menyelesaikan masalah lewat jalur konsinyasi. Pemerintah DKI menitipkan uang Rp 789,288 juta kepada Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Uang untuk ganti rugi lahan PT Buana itu rupanya bukan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah DKI, melainkan dari kas Agung Podomoro. "Sampai saat ini, kami tak pernah mengambil uang itu," ujar Gindar.
Soal ini, mantan Direktur Utama II Agung Podomoro, Handaka Santosa, menolak berkomentar dengan dalih dia mengundurkan diri sejak 2013. Sedangkan Wakil Direktur Utama II Indra Wijaya tak menjawab baik telepon maupun pesan pendek Tempo.
Menurut Kepala Kantor Pertanahan Jakarta Utara Admiral Faizal, negosiasi pembebasan lahan oleh BP3L itu telah sesuai dengan aturan. Berdasarkan Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 23 Tahun 1991, BP3L Sunter memang bertugas mengkoordinasi pelunasan kewajiban para pengembang.
Lewat penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Utara tentang konsinyasi, menurut Admiral, hak atas tanah PT Buana pun telah beralih ke pemerintah DKI Jakarta. Dalih PT Buana tak mengambil uang, menurut dia, tidak bisa dipakai mengklaim bahwa mereka masih memiliki hak atas tanah. Adapun soal surat pelepasan hak yang hanya berupa fotokopian, Admiral enggan berkomentar. "Kami mengacu pada penetapan pengadilan. Ini untuk kepentingan umum," katanya.
Penyelesaian lewat jalur konsinyasi diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Lahan untuk Pembangunan dan Kepentingan Umum. Menurut undang-undang itu, pemilik hak atas tanah secara otomatis kehilangan haknya jika pemerintah sudah menitipkan uang pengganti ke pengadilan.
Merujuk pada ketentuan undang-undang itu, mantan Deputi Bidang Pengukuran dan Pendaftaran Badan Pertanahan Nasional Chairul Basrial Ahmad berpendapat pemerintah DKI semestinya tak repot-repot bertempur di pengadilan melawan PT Buana. Pemerintah DKI justru harus menuntut tanggung jawab Agung Podomoro dan perusahaan lain yang belum menyelesaikan sertifikat lahan itu. "Kewajiban fasos dan fasum tidak bisa diganti dengan tanah tanpa sertifikat," ucap Chairul. FEBRIYAN, AISHA SHADIRA, LINDA HAIRANI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo