Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Akhir Pelarian Raja Sawit Ketapang

Pengusaha sawit Budiono Tan ditangkap setelah dua tahun buron karena terlibat penggelapan dan penipuan. Dibela jenderal tentara.

19 Januari 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BELASAN polisi mengepung rumah jembar di perumahan Taman Kebon Jeruk, Jakarta Barat, menjelang subuh, Kamis dua pekan lalu. Beberapa polisi meminta penghuni rumah itu membuka pintu. Terbangun dari tidur, seisi rumah terkejut mengetahui kehadiran aparat bersenjata. "Mereka panik dan sibuk berbicara dalam bahasa Tionghoa," kata Direktur Reserse Kriminal Khusus Kepolisian Daerah Kalimantan Barat Komisaris Besar Widodo, ketika menceritakan lagi penggerebekan itu.

Dinihari itu, polisi mencokok pengusaha sawit Budiono Tan di rumah pribadinya di Jakarta. Tak percaya dengan kedatangan polisi, sebelum menyerahkan diri, Budiono berulang kali membaca surat penahanan dirinya. "Tapi dia tak melawan," ujar Widodo.

Penangkapan Budiono, 62 tahun, disiapkan jauh-jauh hari. Kepala Polda Kalimantan Barat Brigadir Jenderal Arief Sulistyanto memerintahkan tujuh personelnya terbang ke Jakarta dua hari sebelum Budi dicokok. Dibantu petugas dari Kepolisian Resor Jakarta Barat, mereka mengintai dan menyiapkan rencana operasi, termasuk mencari waktu yang tepat untuk meminimalkan perlawanan.

Budiono dilaporkan ke Polda Kalimantan Barat pada 21 Juli 2009. Direktur Utama PT Benua Indah Group itu disangka menipu dan menggelapkan lahan milik ribuan petani senilai Rp 300 miliar. Hingga Budiono dijadikan tersangka pada 2010, penyidik Polda Kalimantan Barat sudah memintai keterangan 35 saksi. Polisi juga menyatakan Budiono buron sejak 2012. Saat itu juga ia dicegah bepergian ke luar negeri.

Menurut Arief, selama dua tahun buron, empat kali Budiono berganti nomor telepon seluler. Orang-orang dekatnya pun beberapa kali berganti nomor kontak. Budiono juga jarang menetap lama di satu tempat. Dia kerap mondar-mandir ke beberapa kota: Jakarta, Malang, dan Magelang. "Kami sempat kesulitan mencari jejaknya," kata Arief.

l l l

LAHAN sejauh mata memandang di daerah Sungai Melayu, Kecamatan Tumbang Titi, Ketapang, Kalimantan Barat, itu kini tak terurus. Sebagian besar lahan ditumbuhi ilalang dan gulma. Hanya sedikit yang digarap petani. "Cuma membersihkan ilalang di sekitar pohon sawit," ucap Abukhaira, petani dan bekas pekerja PT Benua Indah Group, Jumat pekan lalu.

Jalan utama perkebunan rusak parah. Bila hujan tiba, lubang dan cekungan di tengah jalan mirip kolam ikan. Beberapa jembatan di kebun plasma itu ambrol dan patah.

Lahan sekitar 11 ribu hektare itu pernah dikuasai Benua Indah Group, milik Budiono Tan. Kelompok agrobisnis ini menaungi empat perusahaan yang berkecimpung di bidang perkebunan, yakni PT Subur Ladang Andalan, PT Antar Mustika Segara, PT Bangun Maya Indah, dan PT Duta Sumber Nabati.

Benua Indah Group pernah menjalankan program Perkebunan Inti Rakyat di Wilayah Transmigrasi (PIR-Trans) di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, pada 1991. Kala itu, Benua Indah mengelola 21.954 hektare lahan dengan melibatkan 10.977 keluarga petani. Program PIR-Trans yang dijalankan Benua Indah itu mendapat kredit modal dari Bapindo dengan skema pembiayaan 35 persen dari perusahaan dan 65 persen dari Bapindo.

Menurut Isa Anshari, Koordinator Persatuan Petani Sawit Perkebunan Inti Rakyat Kabupaten Ketapang, keluarga petani transmigrasi masing-masing menggarap dua hektare. Sesuai dengan kesepakatan awal, setelah beberapa tahun, ketika kelapa sawit menginjak usia panen, lahan bisa dialihkan kepemilikannya kepada petani. Penilaian kelayakan konversi itu melibatkan dinas perkebunan dan perbankan.

Petani bertanggung jawab merawat dan memanen hasil. Biaya perawatan diper­oleh dari kredit yang dimulai pada masa tanam 1992. Besar kredit Rp 9-12 juta. Angsuran dibayar saban bulan maksimal sebesar 30 persen dari hasil panen. Sebagai jaminan, Budiono menahan sertifikat petani dan mengagunkannya ke bank.

Menurut bekas kuasa hukum Budiono, Habibburokhman, program PIR-Trans di perkebunan Budiono telah mengkonversi lahan untuk 7.314 keluarga. Sejak 1991 hingga 2000, total luas lahan yang kepemilikannya dialihkan sebesar 14.628 hektare. "Tingkat keberhasilannya 84,85 persen dari total 10.977 keluarga yang terlibat program," ucap Habib.

Gara-gara krisis moneter, Budiono kesulitan membayar kredit dari Bapindo. "Beban bunga luar biasa," kata Habib. Setelah Bapindo kolaps digulung krisis, restrukturisasi utang Budiono diambil alih Bank Mandiri.

Menurut perhitungan Benua Indah, utang pokok perseroan itu awalnya hanya Rp 77,045 miliar plus bunga sekitar Rp 31,58 miliar. Mandiri membebankan utang plasma dan penarikan kredit untuk pembayaran bunga sebesar Rp 136,02 miliar kepada perseroan.

Belakangan, Bank Mandiri mengklaim utang dan bunga yang harus dibayar Budiono sekitar Rp 480,7 miliar. Kuasa hukum Bank Mandiri, Sentot Panca Wardana, menjelaskan, jumlah utang Budiono terus membengkak karena dia harus membayar bunga. Di pengadilan, sampai tingkat peninjauan kembali, utang Benua Indah ditetapkan sebesar Rp 240 miliar.

Pada 2006, Budiono melanjutkan proses konversi lahan 3.663 keluarga. Setelah melewati penilaian bersama dinas perkebunan, 1.535 keluarga didaftarkan sebagai peserta program konversi lahan seluas 3.070 hektare. Kali ini Budiono gagal mendapatkan persetujuan kredit investasi dari Bank Mandiri. Dia pun membentuk kredit internal perusahaan dengan perjanjian bersama petani.

Benua Indah Group memulai perjanjian kredit itu pada 2006. Petani diminta mencicil kredit kepemilikan lahan dengan angsuran 30 persen dari hasil panen mereka. Dana kredit itu disimpan di akun sementara di Bank Danamon. Karena bisnis tak berjalan lancar, kredit itu mandek.

Tak mendapat kejelasan soal kelanjutan kredit, pada 21 Juli 2009, sebanyak 1.535 petani yang tersebar di 25 desa dan 6 kecamatan di Kabupaten Ketapang melaporkan Budiono kepada polisi. Menurut Isa, mereka serempak melaporkan Budiono atas tuduhan penggelapan dan penipuan.

Petani menghitung kerugian mereka sekitar Rp 300 miliar. Jumlah itu dihitung dari 70 persen hasil panen, ditambah hasil penjualan tandan buah segar selama empat bulan (pada 2009) dengan nilai Rp 119 miliar. "Hak petani tak dibayar Budiono, padahal dia sudah memperoleh hasil penjualan," ujar Isa.

Budiono juga dilaporkan tak menyetorkan angsuran kredit petani ke Bank Mandiri sebesar Rp 77 miliar. Dia juga menggunakan 30 persen setoran petani—bernilai Rp 26 miliar—untuk kepentingan pribadi.

Menurut Habib, Budiono hanya menggunakan Rp 9,7 miliar dari dana di rekening penampung sementara di Bank Danamon. Hal itu, kata Habib, tak melanggar hukum. Soalnya, sudah ada ketetapan Pengadilan Negeri Pontianak pada 20 Juni 2012 yang menyebutkan dana itu bisa dipakai untuk operasional perusahaan.

Dua tahun setelah menyatakan Budiono buron, pada awal Januari lalu, Polda Kalimantan Barat kembali melayangkan surat panggilan kepada Budiono. Bekas anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat itu diminta menghadap penyidik setelah berkas perkara dia dinyatakan lengkap oleh Kejaksaan Tinggi Kalimantan Barat. "Penyerahan berkas perkara kepada jaksa lazimnya disertai penyerahan tersangka," ujar Brigadir Jenderal Arief Sulistyanto.

Menurut beberapa polisi, setelah Budiono ditangkap, beberapa kawan politik dia berusaha bernegosiasi dengan aparat. Salah satunya seorang jenderal dari Jakarta. Merasa terganggu, kata seorang penyidik, "Saya sampai mematikan telepon."

Yuliawati, Aseanty Pahlevi (Pontianak)


Bisnis-Politik Jawara Kayu

Perayaan tahun baru 2015 dilakukan dengan meriah di rumah berlantai dua di Blok GII, perumahan Taman Kebon Jeruk, Jakarta Barat, itu. Halaman rumah seluas 800 meteran dipadati kendaraan. "Banyak tamu yang datang," kata Yunus Yosfiah, ketika ditemui Tempo, Jumat pekan lalu. Seminggu kemudian, rumah itu dikepung polisi. Sang pemilik rumah, Budiono Tan, ditangkap.

Rumah Yunus berseberangan dengan kediaman Budiono. Meski bertetangga, Menteri Penerangan era Presiden B.J. Habibie itu mengaku tak mengenal pengusaha kebun sawit tersebut. "Dia jarang bergaul dengan tetangga," ujar Yunus, yang sudah tinggal sekitar tiga tahun di kompleks itu. Meski tertutup kepada tetangga, Budiono punya banyak relasi. Setiap hari, kata Yunus, tamu hilir-mudik di rumah yang ditempati Budiono sejak tujuh tahun lalu itu.

Mantan kuasa hukum Budiono, Habibburohman, mengaku masih sering berdiskusi dengan bekas kliennya itu. Habib heran terhadap polisi yang menyebutkan Budiono masuk daftar pencarian orang. "Dia tidak pernah melarikan diri," ucapnya.

Menjadi anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (1999-2004), pergaulan Budiono lumayan luas. Bukan hanya politikus senior yang kerap bertandang ke rumah dia. Sejumlah politikus muda yang sedang naik daun pun banyak yang kenal dekat dengan Budiono. Salah satunya Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Yuddy Chrisnandi.

Kepada Tempo, Yuddy mengatakan mengenal Budiono sejak awal masa reformasi. Setelah lima tahun tak bertemu, mereka bersua kembali setelah Yuddy dilantik sebagai menteri. "Dia punya banyak teman," kata Yuddy.

Budiono pernah berjaya di bisnis kayu di Kalimantan pada 1980-an. Kala itu, divisi perkayuan PT Benua Indah Group mempekerjakan hingga 3.500 orang. Menurut mantan pegawai Budiono, sebut saja namanya Rahmi, kayu-kayu Budiono tak semuanya halal. Kayu legal diberi nomor dengan cat dan datang dari area penebangan siang hari. Adapun kayu curian tak bernomor dan tiba setelah hari gelap. Sepanjang bekerja di perusahaan Budiono, Rahmi kerap melihat tentara berseragam mengunjungi pabrik.

Ketika menjabat Menteri Kehutanan, Malem Sambat Kaban pernah meminta Kepala Kepolisian RI Jenderal Da'i Bachtiar menangkap Budiono. Menurut Kaban, Budiono memiliki utang Rp 68 miliar kepada Kementerian. Dia pun menuding Budiono terlibat kasus pembalakan liar di Kalimantan Barat. Juni 2005, kepada peserta Pra-Kongres Dewan Kehutanan Nasional di Senggigi, Lombok Barat, Kaban mengeluh. "Orang itu seperti tak tersentuh hukum. Orangnya ada, rumahnya ada, tapi tak kunjung ditangkap."

Pada 2005, Budiono berselisih dengan ribuan karyawan karena tak membayar gaji dan pesangon. Kini pabrik kayu di Jalan Adi Sucipto, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat, itu tak terurus.

Bisnisnya terpuruk, Budiono menjual beberapa aset. Gedung PT Benua Indah Group di Jalan Teuku Umar, Pontianak, baru-baru ini dijual kepada Simon Bahar, pengusaha Kalimantan Barat. Pernah menjadi salah satu bangunan tertinggi di Kalimantan Barat, gedung itu akan dibongkar untuk dibangun hotel.

Yuliawati, Aseanty Pahlevi (Pontianak), Dimas Siregar, Dewi Suci

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus