Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Polisi belum menjerat Achiruddin Hasibuan dengan pasal gratifikasi.
Memiliki harta tak wajar.
Dituduh mengelola gudang penimbunan solar ilegal.
BAU solar menyeruak di sepanjang aliran selokan gudang penimbunan bahan bakar minyak di Jalan Karya Dalam, Kota Medan, Sumatera Utara. Pintu gerbangnya digembok dan tersegel garis polisi. Berdiri di atas lahan seluas 50 x 25 meter, bisnis yang dikelola Ajun Komisaris Besar Achiruddin Hasibuan itu ditengarai ilegal dan beraroma korupsi.
Lokasi gudang tersebut berada tak jauh dari rumah kediaman Achiruddin di Kelurahan Helvetia Timur, Kecamatan Medan Helvetia. Polisi mensinyalir ia menerima gratifikasi secara rutin dari seorang pengusaha. “Ada aliran uang Rp 7,5 juta per bulan,” ujar Direktur Reserse Kriminal Khusus Kepolisian Daerah Sumatera Utara Komisaris Besar Teddy Marbun.
Achiruddin merupakan mantan Kepala Bagian Pembinaan Operasi Direktorat Narkoba Polda Sumatera Utara. Ia memiliki beberapa rekening berisi puluhan miliar rupiah. Profil kekayaannya menjadi sorotan warganet bersamaan dengan kasus penganiayaan yang dilakukan oleh anaknya, Aditya Hasibuan, terhadap Ken Admiral. Motif penganiayaan itu berlatar perebutan kekasih.
Gudang milik AKBP AChiruddin Hasibuan di Medan, Sumatera Utara, 27 April 2023/Tempo/ Sahat Simatupang
Kasus Achiruddin mirip dengan penyidikan harta mantan pejabat Direktorat Jenderal Pajak, Rafael Alun Trisambodo. Rafael disorot selepas kasus penganiayaan Cristalino David Ozora Latumahina oleh anak kandungnya, Mario Dandy Satriyo. Komisi Pemberantasan Korupsi menelusuri kejanggalan sumber kekayaan Rafael tak lama setelah ramai dipergunjingkan oleh warganet. Kini Rafael berstatus tersangka penerima gratifikasi dan ditahan KPK.
Baca: Asal-usul Transaksi Janggal Rp 349 Triliun di Kementerian Keuangan
Seperti Rafael, gaya hidup Achiruddin dan keluarganya ikut digunjingkan. Misalnya, ia kerap memamerkan kendaraan mewah seperti sepeda motor Harley-Davidson dan mobil jip Rubicon. Kedua aset itu tak tercantum dalam laporan harta kekayaan penyelenggara negara Achiruddin.
Saat menyetorkan LHKPN pada 2021, Achiruddin mencatatkan total kekayaan Rp 467,5 juta. Dalam laporan itu ia mencatat kepemilikan tanah seluas 566 meter persegi di Kota Medan bernilai Rp 46,3 juta, mobil Fortuner keluaran 2006 seharga Rp 370 juta, dan uang kas Rp 51 juta. Laporan itu dibuat ketika Achiruddin masih bertugas di Direktorat Narkoba Polda Sumatera Utara.
Deputi Pencegahan dan Monitoring KPK Pahala Nainggolan mengaku telah menerjunkan tim untuk menelusuri laporan harta tersebut. KPK mensinyalir laporan harta Achiruddin menyalahi prosedur lantaran tak berubah sejak 2011. Saat itu Achiruddin menjabat Kepala Satuan Narkoba Kepolisian Resor Binjai.
Menurut Pahala, KPK menyerahkan penanganan kasus ini kepada Polda Sumatera Utara yang lebih dulu menemukan dugaan gratifikasi. “Saya sudah berkoordinasi dengan Kapolda dan Irwasum (Inspektur Pengawasan Umum),” katanya.
Meski sudah muncul kejanggalan, Achiruddin belum menjadi tersangka penerima gratifikasi. Penyidik hanya menjerat Achiruddin karena dianggap membiarkan anaknya menganiaya Ken Admiral. Dalam berbagai kesempatan, termasuk saat polisi menggelar reka ulang, Achiruddin terlibat penganiayaan Ken.
Ketika dimintai konfirmasi lewat panggilan telepon, Inspektur Pengawasan Umum Kepolisian RI Komisaris Jenderal Ahmad Dofiri tak memberi tanggapan. Saat hendak ditemui di pelataran kantornya di Markas Besar Kepolisian RI pada Jumat sore, 19 Mei lalu, perwira tinggi yang pernah memimpin sidang Komisi Kode Etik Polri terhadap Ferdy Sambo itu langsung masuk mobil dan bertolak meninggalkan halaman kantor.
Achiruddin kini dipecat setelah Direktorat Profesi dan Pengamanan Polda Sumatera Utara menggelar sidang pelanggaran kode etik. Ia terbukti bersalah lantaran membiarkan anaknya menganiaya Ken Admiral. “Ini adalah kasus etik dia yang kelima,” ucap Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Utara Inspektur Jenderal R.Z. Panca Putra Simanjuntak.
Tak terima atas keputusan itu, Achiruddin mengajukan permohonan banding. Kepala Bidang Profesi dan Pengamanan Polda Sumatera Utara Komisaris Besar Dudung Adijono mengaku sudah menyampaikan permohonan itu kepada Divisi Propam Polri. “Sudah kami sampaikan sebelum tenggat pengajuan memori banding. Sekarang tergantung Mabes,” tuturnya.
Ihwal kejanggalan laporan harta, Panca mengaku telah menelusuri sejumlah aset tersebut. Temuan polisi, sepeda motor Harley seharga lebih dari Rp 1 miliar itu diketahui tak tercatat surat kepemilikannya alias bodong. Sepeda motor itu juga sudah dijual pada 2017. “Ada aset lain seperti mobil yang kami sita untuk menelusuri dugaan gratifikasi,” ujarnya kepada wartawan.
Rumah milik AKBP Achiruddin di Medan/Tempo/ Sahat Simatupang
Penyidikan kasus itu juga mengandalkan petunjuk Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Kepala PPATK Ivan Yustiavandana mengatakan lembaganya sudah memblokir rekening milik Achiruddin dan anaknya. Kedua rekening itu terindikasi menjadi sarana praktik pencucian uang lantaran tak sesuai dengan profil. “Jumlahnya cukup signifikan,” katanya.
Seorang penegak hukum menjelaskan, Achiruddin terindikasi terlibat pencucian uang lantaran menggunakan nama anaknya sebagai nomine. Ia mengendalikan rekening itu untuk menampung sejumlah transaksi, khususnya yang terkait dengan bisnis BBM ilegal. Ia juga menerima sejumlah pemberian untuk kepentingan pribadi.
Menurut dia, setoran Rp 7,5 juta yang diterima Achiruddin dari bisnis BBM ilegal masih terbilang “receh”. Jika dikalkulasikan, sejak 2018, total setoran yang diterima hanya sekitar Rp 400 juta. Padahal nilai transaksi di rekening anak Achiruddin mencapai Rp 26 miliar.
Kepada penyidik, Achiruddin mengklaim setoran Rp 7,5 juta itu merupakan imbalan sebagai pengawas gudang. Ia menerima upah dari PT Almira Nusa Raya selaku pemilik gudang. Tapi polisi tak begitu saja menerima alibi tersebut. Achiruddin dianggap menyalahgunakan kewenangan sebagai aparat hukum lantaran dituduh membekingi bisnis ilegal.
Bisnis BBM tersebut disimpulkan ilegal setelah polisi meminta penilaian PT Pertamina setelah penyegelan gudang dilakukan pada Kamis, 27 April lalu. Manajer Komunikasi PT Pertamina Patra Niaga Regional Sumatera Bagian Utara Susanto August Satria mengatakan bisnis itu ilegal lantaran Pertamina tak pernah memberi izin operasional pengelolaan gudang bahan bakar.
Dalam praktiknya, Susanto mengimbuhkan, Pertamina hanya mengeluarkan izin usaha seperti stasiun pengisian bahan bakar umum dan Pertashop. Pemanfaatan solar juga bermasalah dari sisi hukum jika merupakan solar subsidi dan dijual untuk kalangan industri. “Ada selisih harga antara solar untuk keperluan industri dan subsidi,” ucap Susanto.
Kesaksian warga setempat pun bertolak belakang dengan pengakuan Achiruddin. Salah satu tokoh masyarakat yang sudah 20 tahun bermukim di kawasan Jalan Karya Dalam mengatakan Achiruddin adalah pengelola gudang BBM di tempat itu dan beroperasi sejak 2018. “Ia menyewa gudang itu dari seseorang bermarga Siahaan,” ujar pria berinisial LS tersebut.
Aktivitas gudang itu nyaris tak pernah berhenti. Saban hari, LS menjelaskan, sedikitnya ada tiga mobil boks yang keluar-masuk gudang. Mobil tersebut dimodifikasi dengan menempatkan bak penampungan BBM berkapasitas ribuan liter. “Cek saja kamera pengawas dari rumah warga, berapa kali mobil itu keluar-masuk gudang,” tuturnya.
Seorang pekerja gudang, LS mengimbuhkan, pernah menyebutkan keuntungan dari bisnis itu mencapai Rp 20 juta per hari. Keuntungan tersebut diperoleh dari hasil pengepulan solar subsidi yang mereka beli dari sejumlah SPBU di Kota Medan. Mereka menjual solar itu untuk digunakan oleh pabrik pengolahan minyak goreng di sekitar Kelurahan Pulo Brayan, Medan.
Menurut LS, warga sekitar pernah menolak keberadaan usaha itu lantaran khawatir membahayakan permukiman penduduk. Mereka juga meminta area depan gudang diberi lampu untuk penerangan jalan. Tapi Achiruddin menolak. “Dia marah-marah kepada warga. Akhirnya warga yang berinisiatif memasang lampu,” ucapnya.
Penyidik Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Sumatera Utara ikut bergerak. Mereka menggeledah kantor PT Almira yang terletak di Jalan Mustang Villa Polonia Indah, Kecamatan Medan Kota. “Kami ingin mendalami dugaan gratifikasi,” ujar Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Sumatera Utara Komisaris Besar Hadi Wahyudi.
Istri Achiruddin dan pemimpin lingkungan setempat ikut menyaksikan proses penggeledahan yang berlangsung selama lima jam tersebut. Dari tempat itu, polisi menyita sejumlah dokumen, seperti izin usaha, rekening tabungan, buku catatan transaksi keuangan, serta kuitansi pembelian BBM dari sejumlah SPBU.
Direktur PT Almira, Edy, sudah diperiksa dua kali. Pengacara Edy, Fendi, enggan menanggapi dugaan gratifikasi dan pengelolaan gudang solar oleh Achiruddin. Ia membantah bila kliennya disebut menjalankan bisnis BBM ilegal. “Almira adalah perusahaan yang sah dengan izin keagenannya,” katanya selepas mendampingi pemeriksaan.
Kakak kandung Achiruddin, Ongku Parmonangan Hasibuan, membantah jika adiknya disebut berbisnis BBM ilegal. Ia berharap polisi berfokus pada penanganan kasus penganiayaan dengan mempertimbangkan masa depan mereka. “Jangan melebar ke mana-mana,” tutur anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang juga mantan Bupati Tapanuli Selatan itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Ihsan Reliubun dari Jakarta dan Sahat Simatupang dari Medan berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Jerat Gratifikasi Reserse Narkotik"