Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUDAH tujuh bulan Sinufa Zebua didera pusing. Sebagai kepala rumah tangga kini ia tak berpenghasilan. Padahal, segunung tanggungan ada di depan hidung. Selain harus memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, ia harus mengongkosi dua anaknya yang kuliah di perguruan tinggi. Satu di Jakarta, satu di Bandung.
Uniknya, Zebua bukan pria pengangguran. Lulusan Fakultas Hukum Universitas Parahyangan, Bandung, ini punya jabatan mentereng: hakim ad hoc Pengadilan Hubungan Industrial. ”Sekarang saya jadi ’mantab’ alias makan tabungan,” ujar bekas pegawai swasta bidang perhotelan dan perkebunan ini kepada Tempo, dua pekan lalu. Zebua tak sendirian. Ada 158 hakim Pengadilan Hubungan Industrial lainnya yang bernasib seperti dia. Sejak dilantik pada April silam mereka belum menerima gaji sepeser pun.
Lihatlah nasib Jilun. Sejak dilantik sebagai hakim Pengadilan Hubungan Industrial Sumatera Selatan, tabungannya yang tak lebih dari Rp 10 juta sudah ludes. ”Sekarang utang sana, utang sini,” ujarnya. Bahkan bagi pria 37 tahun ini, Idul Fitri kemarin merupakan Lebaran paling menyedihkan. Jangankan beli baju baru untuk kedua anaknya, memasak opor ayam pun ia tak mampu lagi.
Sebelum menjadi hakim, Jilun adalah buruh di PT Musi Hutan Persada. Penghasilannya sekitar Rp 2 juta per bulan. Sejak bekerja di sana, lulusan Sekolah Tinggi Hukum Sumpah Pemuda, Palembang, ini memang sudah aktif di Serikat Buruh. Saat mendengar ada lowongan menjadi hakim ad hoc, ia langsung mendaftarkan diri. Alasannya jadi hakim: ”Agar buruh mendapat kepastian hukum dan keadilan.”
Sejak dilantik menjadi hakim, sudah sekitar 60 perkara yang diputus Jilun. Yang terbanyak kasus pemutusan hubungan kerja (PHK). Salah satu perkara kakap yang pernah dipegangnya adalah kasus PHK tiga karyawan Bank Danamon Palembang. ”Tuntutannya sampai Rp 9 miliar,” ujarnya.
Nah, untuk memenuhi kebutuhan operasional sebagai hakim, Jilun dan kawan-kawan sesama ”hakim kaum buruh” ini terpaksa gali lubang tutup lubang. ”Hakim karier tidak ada masalah karena mereka bergaji. Kalau kami, karena sudah melepas pekerjaan lama, otomatis tidak punya penghasilan,” ujar Jilun.
Jilun hanya berharap pemerintah cepat tanggap terhadap nasib diri dan rekan-rekannya. Ia mengaku tidak tahu berapa gaji yang bakal diterimanya. Menurut Jilun, jika gajinya di bawah Rp 2 juta, ia akan cari pekerjaan lain. ”Saya tidak munafik. Itu lebih baik ketimbang saya membentuk mafia peradilan baru di pengadilan ini,” ujarnya.
Hakim ad hoc di Pengadilan Hubungan Industrial Jawa Timur, Djoko Ismono, 34 tahun, bernasib lebih mujur. Ia tak ”sepanik” Jilun sebab istrinya memiliki toko kelontong yang bisa menopang kehidupan keluarganya sehari-hari. Djoko juga mendapat ”gaji” dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah Rp 3 juta per bulan. Jumlah yang terhitung kecil dibanding tugas yang diembannya. Namun, karena sifatnya bantuan, jelas itu tidak gratis. Duit tersebut, kata bekas karyawan hotel ini, harus dikembali-kan jika gajinya sebagai hakim sudah cair.
Bukan hanya Djoko yang untuk sementara menggantungkan hidup kepada istri. Edgar M. Parinussa, hakim Pengadilan Hubungan Industrial Sulawesi Barat, bernasib sama. Hanya, nasib Edgar lebih bagus ketimbang Djoko. Selain mengaku memiliki tabungan lumayan, istrinya juga bekerja di sebuah badan usaha milik negara. ”Sekarang ini saya menumpang makan sama istri,” katanya.
Sebagai orang yang berlatar pendidikan hukum, Edgar mengaku bercita-cita bekerja di lembaga hukum. Empat kali pria 45 tahun ini ikut tes menjadi jaksa, empat kali juga gagal. Ia menyerah dan kemudian bekerja di bagian personalia PT Gimex di Makassar. Di luar itu ia aktif menjadi konsultan di beberapa perusahaan.
Hidup Edgar berubah ketika pada Juni 2004 dia ikut tes dan terpilih sebagai hakim Pengadilan Hubungan Industrial. Ayah tiga anak tersebut, sesuai dengan aturan, kini melepaskan semua pekerjaan yang sebelumnya ia pegang. Edgar menyatakan tak menyesal melakukan itu. Dengan menjadi hakim, katanya, statusnya terangkat. ”Saya ingin mengabdi.” Ia mengaku penghasilan-nya sebulan sebelumnya lebih dari Rp 10 juta. ”Kalau tunjangan kehormatan hakim katanya Rp 3.750.000. Itu pun belum diterima,” ujarnya.
DIBENTUK pada 14 Januari 2005, Pengadilan Hubungan Industrial lahir sebagai amanah Undang-Undang Penyelesaian Hubungan Industrial. Walau sudah berdiri setahun silam, toh pengadilan ini baru berjalan sejak April 2006, setelah muncul Keputusan Presiden tentang Pengangkatan 155 Hakim Ad Hoc. Para hakim itu, selain tersebar di 33 provinsi, empat orang di antaranya diangkat menjadi hakim ad hoc di Mahkamah Agung.
Seperti yang diamanatkan undang-undang, pengadilan ini memang dibentuk untuk menggantikan lembaga Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah dan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat. Harapannya, pengadilan ini bisa lebih adil dalam menyelesaikan sengketa antara buruh dan industri.
Layaknya pengadilan ad hoc, majelis hakimnya yang terdiri tiga orang merupakan campuran hakim karier dan hakim ad hoc: satu hakim karier, dua hakim ad hoc. Pengadilan ini memakai hukum acara perdata dan setiap kasus harus sudah diputus paling lama 50 hari. Bedanya dengan pengadilan umum, pengadilan ini tak mengenal banding. Jika tak puas, langsung ”meloncat” ke tingkat kasasi.
Namun, seperti nasib hakim nonkarier pengadilan ad hoc lainnya—misalnya, hakim tindak pidana korupsi—hakim ad hoc selalu keteteran dalam soal gaji. Penyebab utamanya, selain lambannya birokrasi, juga belum adanya aturan penggajian mereka. ”Para hakim Pengadilan Hubungan Industrial belum bisa mendapat haknya karena keppres gaji mereka sampai sekarang belum turun,” ujar Sekretaris Mahkamah Agung, Rum Nessa.
Lantaran gaji yang tak kunjung mengucur itulah, para hakim kaum buruh itu kini tengah membuat surat pernyataan. Surat itu, dalam waktu dekat, akan segera dikirim kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Sebelumnya, dua bulan lalu, mereka sudah berkirim surat ke Presiden. ”Tapi, tak ada jawaban,” kata Zebua. Kepada Tempo, pria 55 tahun itu menunjukkan konsep surat pernyataan itu. Intinya, mereka minta Presiden secepatnya menerbitkan keppres yang bisa membuat mereka lepas dari kondisi ”mantab”, makan tabungan, atau ”matang”, makan dari utangan.
Poernomo Gontha Ridho, Arif Ardiansyah (Palembang), Irmawati (Makassar), Kukuh S. Wibowo (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo