Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Bisnis Sepekan

6 November 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ZTE dan Huawei Menang Tender Flexi

Setelah sempat tertunda dan memicu kontroversi, tender pembangunan jaringan Flexi milik PT Telekomunikasi Indonesia Tbk. berlangsung pekan lalu. Dua perusahaan telekomunikasi asal Cina, yakni ZTE dan Huawei, menang tender senilai Rp 722 miliar itu. Keduanya mengajukan penawaran harga paling rendah US$ 7 per satuan sambungan telepon (SST).

"Harga yang diajukan jauh lebih rendah dibanding perkiraan Telkom sebesar US$ 16-18,5 per SST," ujar Direktur Utama Telkom, Arwin Rasyid. Dalam proyek serupa di Sumatera pada Agustus 2005, Huawei juga menang tender dengan harga US$ 18,5 per SST. Sedangkan tender di Sumatera dan Jawa pada Agustus 2006 dimenangkan oleh Samsung dengan harga US$ 16 per SST. "Harganya lebih murah karena teknologi yang digunakan semakin murah," kata Arwin.

Telkom membangun jaringan Flexi untuk menambah kapasitas 9,8 juta SST hingga 2010, dari saat ini yang cuma 6 juta SST. Huawei akan mengembangkan jaringan Flexi di Divisi Regional II (Jabotabek) dengan kapasitas 5,7 juta SST dan Divisi Regional III (Jawa Barat dan Banten) dengan kapasitas 2,1 juta SST. Sedangkan ZTE akan mengembangkan jaringan di Divisi Regional VI, yang meliputi wilayah Kalimantan, dengan kapasitas 1,9 juta SST. n

Pendapatan per Kapita US$ 1.500

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono optimistis pendapatan per kapita penduduk Indonesia bisa mencapai US$ 1.500 (sekitar Rp 13,6 juta) pada akhir tahun ini. Itu berarti naik 15,4 persen dari akhir tahun lalu yang masih US$ 1.300 (sekitar Rp 11,8 juta).

Syaratnya, laju inflasi tahun ini di bawah 7 persen dan pertumbuhan ekonomi 5,6 persen. Selain itu, tiga sektor prioritas harus dikembangkan, yakni investasi, pertumbuhan sektor riil yang bisa menambah kesempatan kerja, serta pembangunan pedesaan dan pertanian. "Daerah punya potensi besar untuk dikembangkan," kata Presiden dalam Indonesian Regional Investment Forum di Jakarta pekan lalu.

Menurut ekonom Universitas Indonesia, M. Chatib Basri, pendapatan per kapita US$ 1.500 bisa tercapai asalkan pemerintah fokus pada pertumbuhan investasi. Namun, menurut Iman Sugema, ekonom Tim Indonesia Bangkit, pencapaian level pendapatan per kapita tersebut bukan hal luar biasa. Angka itu pun tidak berarti jika tidak disandingkan dengan angka kemiskinan yang masih tinggi sebesar 18 persen. "Jadi, kalau angka itu tercapai, jangan ditafsirkan berlebihan," tuturnya.

Jepang Danai Proyek Subway

Pemerintah Jepang dan Indonesia akhirnya sepakat untuk menjalin kerja sama dalam pembangunan angkutan umum mass rapid transit (MRT) atau subway yang bisa mengangkut ratusan ribu penumpang dalam sehari. "Menteri Keuangan kedua negara akan meneken kontrak kerja sama pinjaman pada akhir November," ujar Menteri Perhubungan Hatta Rajasa pekan lalu.

Pinjaman yang ditawarkan Jepang senilai US$ 800 juta atau sekitar Rp 7,2 triliun. Kedua pihak sepakat komponen proyek dari Jepang 30 persen, dari Indonesia 30 persen, dan 40 persen sisanya ditenderkan secara terbuka. "Jadi, Jepang tidak lagi sesuka hati memasok orang-orangnya," ujar Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Paskah Suzetta. Ditargetkan proyek kereta bawah tanah ini sudah bisa dikerjakan pada akhir 2008.

Negosiasi kedua pemerintah sebelumnya sempat mentok pada Maret lalu karena terbentur soal proporsi kandungan lokal. Dengan sifat pinjaman yang murah, yaitu suku bunga 0,4 persen dan jangka waktu 40 tahun, Jepang mensyaratkan kandungan lokal nol. Artinya, semua perangkat pembangunan proyek mulai dari desain, pemasok barang, kontraktor, teknologi, dan lainnya dari Negeri Sakura. Namun, Indonesia minta kandungan lokal minimal 30 persen.

Bapepam Tak Restui Lapindo

Keinginan Grup Bakrie memisahkan Lapindo Brantas Inc. dari induknya, PT Energi Mega Persada Tbk., sementara ini terganjal. Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) belum merestui rencana pelepasan Lapindo kepada Lyte Limited, perusahaan yang berlokasi di Kepulauan Jersey, Eropa Barat.

Dalam suratnya kepada Energi Mega pada 1 November, otoritas pasar modal itu menyatakan tidak ada kepastian siapa nantinya yang akan bertanggung jawab atas bencana lumpur yang menimpa Sidoarjo. "Demi melindungi kepentingan masyarakat, Bapepam perlu berkoordinasi dengan pihak terkait dan meminta dilakukan penelitian," ujar Ketua Bapepam Fuad Rahmany dalam suratnya. Atas dasar itu, rapat umum pemegang saham luar biasa Energi Mega diminta tidak dilakukan sampai ada kejelasan.

Fuad mengatakan, kendati semburan lumpur berasal dari sumur Banjar Panji-1 milik Lapindo Brantas, sampai kini masih belum jelas sejauh mana tanggung jawab anak perusahaan Grup Bakrie itu. "Kita perlu lihat semua pihak yang terlibat, tak hanya Energi Mega saja, tapi apakah pemegang saham turut bertanggung jawab," katanya. "Ini masalah besar dan sensitif, jadi harus disikapi hati-hati."

Kepada Yuliawati dari Tempo, Sekretaris Perusahaan Energi Mega, Herwin Hidayat, membenarkan adanya surat itu. "Kami menerimanya pada Kamis (2/11)," katanya. Semula pemisahan itu dimaksudkan untuk menyelamatkan Energi Mega. Keluarga Bakrie mengklaim Lyte dikendalikan sepenuhnya oleh grup bisnis ini.

Singapore Petroleum Makin Ekspansif

Perusahaan minyak Singapura terus ekspansi di Indonesia. Pekan lalu, Singapore Petroleum Company Limited (SPC) meneken kerja sama dengan PT Pertamina untuk mengembangkan delapan lapangan minyak dan gas di Sumatera. Dalam kerja sama ini, SPC menyiapkan dana US$ 1 miliar (Rp 9,1 triliun), sedangkan Pertamina yang akan melakukan eksplorasi.

"Kami punya banyak lapangan yang harus dieksplorasi, namun tidak punya dana," ujar Direktur Utama Pertamina, Ari Soemarno, pekan lalu. Bagi Singapura, kerja sama investasi ini bukan hal baru di Indonesia. Menurut Chief Executive Officer SPC, Koh Ban Heng, perusahaannya memiliki sebagian penyertaan saham di beberapa lapangan migas di Indonesia seperti di Blok Kakap, Blok West Natuna, dan Blok Sampang.

Cina Geser Jepang di Indonesia

Cina semakin digdaya menembus pasar ekspor di berbagai negara. Tak terkecuali di Indonesia. Posisi Jepang yang selama ini selalu menjadi eksportir terbesar untuk Indonesia, untuk pertama kalinya digeser oleh Cina.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) awal bulan ini menyebutkan nilai impor Indonesia dari Cina mulai melebihi Jepang. Secara kumulatif, pada Januari hingga September, nilai impor 10 komoditas dari Negeri Tirai Bambu mencapai US$ 4 miliar. Jumlah ini naik 16,5 persen dibanding periode yang sama tahun lalu (US$ 3,4 miliar).

Dalam kurun waktu yang sama, impor dari Jepang sekitar US$ 3,9 miliar-turun US$ 1,5 miliar dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang masih US$ 5,4 miliar. Padahal, Agustus lalu, barang-barang Jepang masih merajai pasar Indonesia. "Produk Cina mulai menguasai 12,9 persen pangsa pasar di sini," ujar Kepala BPS, Rusman Heriawan, pekan lalu.

Produk Cina bisa menguasai pasar Indonesia karena harganya yang jauh lebih murah dibandingkan produk dari negara lain. Bahkan harga barang buatan Cina hanya separuh harga barang dari negara lain. Barang-barang impor dari Cina itu umumnya barang jadi, seperti mesin, peralatan elektronik, kimia organik, buah-buahan, sayuran, dan barang plastik.

Ekspor Melambat

Tren kenaikan ekspor Indonesia selama tujuh bulan terakhir mulai melambat. Pada September lalu, nilai ekspor menurun 1,2 persen dari bulan sebelumnya. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pada Agustus nilai ekspor mencapai US$ 8,9 miliar, sedangkan pada September US$ 8,8 miliar.

Menurut Kepala BPS, Rusman Heriawan, penurunan itu akibat turunnya nilai ekspor minyak dan gas sebesar 13,7 persen dari US$ 1,9 miliar menjadi US$ 1,6 miliar. "Itu terjadi karena harga minyak dunia turun dari US$ 72,8 menjadi US$ 62,5 per barel," ujarnya.

Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu mengingatkan, tren perlambatan ekspor kemungkinan akan berlanjut hingga tahun depan seiring dengan perlambatan ekonomi dunia dan turunnya harga komoditas. "Karena itu, kita harus mendorong diversifikasi produk nonkomoditas, meningkatkan daya saing, dan upaya penetrasi pasar ke Cina dan India," katanya.

Kendati melambat, pertumbuhan ekspor selama 2006 diperkirakan mencapai 14-15 persen. Dengan pertumbuhan sebesar itu, ekspor Indonesia diperkirakan mencapai US$ 90-94 miliar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus