Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Harga sebuah surat dokter

Alasan sakit bagi tahanan merupakan senjata yang paling ampuh untuk mendapat tahanan luar, seperti pada kasus djerman hamid. nur usman juga mulai menggunakan alasan sakit. (hk)

7 Desember 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ALASAN sakit ternyata menjadi senjata ampuh bagi tahanan untuk mendapat tahanan luar atau dirawat di rumah sakit. Terhukum perkara "penyelundupan Kemayoran", Direktur PT Multi Episode, Ir. Djerman Hamid, misalnya, sempat bolak-balik antara Rumah Tahanan Salemba dan Rumah Sakit (RS) Persahabatan, sebelum vonisnya dikukuhkan Mahkamah Agung. Barulah, sejak pertengahan November lalu, ia secara resmi dieksekusi selaku narapidana di Rutan Salemba. Djerman Hamid menjadi terkenal karena dituduh menjadi penyelundup pertama yang tidak sekadar memalsukan dokumen dalam kejahatannya. Ia, dengan pesawat carteran milik Sempati, melakukan penyelundupan "tembak langsung" dari Singapura ke pelabuhan udara Kemayoran Jakarta pada 6,7, dan 9 November 1983. Berkat kerja samanya dengan petugas-petugas Kemayoran, termasuk Letkol (Pol.) Abdul Hakam, ia berhasil mengeluarkan barang-barang kelontong dan elektronik, tanpa dokumen apa pun. Bersama Abdul Hakam, Djerman diadili di peradilan koneksitas di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Tapi, ketika majelis hakim memvonisnya 10 tahun penjara (5 1/2 tahun untuk kejahatan korupsi dan 4 1/2 tahun untuk kejahatan ekonomi) selain denda Rp 20 juta, Djerman tidak hadir di sidang. Ia, yang waktu itu berstatus tahanan di Rutan Salemba, dikabarkan sakit radang limpa dan dirawat di RS Persahabatan. Rekannya, Abdul Hakam, dihukum 9 tahun penjara serta denda Rp 20 juta. Kedua terhukum menyatakan banding. Tapi, selama perkaranya dalam proses banding dan kasasi, ia bisa beristirahat total di RS Persahabatan. "Ketika itu Djerman Hamid memang perlu dirawat di rumah sakit ini - tentang itu diputuskan oleh sebuah majelis dokter yang terdiri dari tujuh orang dokter ahli," ujar dr. Edi Wibowo, Wakil Direktur RS Persahabatan. Djerman dinyatakan menderita penyakit liver kronis atau hepatitis B. Selama ia dirawat di rumah sakit, perkaranya pun diputuskan Pengadilan Tinggi Jakarta. Dalam vonis peradilan banding, Januari lalu, Djerman memang mendapatkan penurunan masa hukuman menjadi 6 tahun 6 bulan penjara. Sementara itu, Abdul Hakam diganjar hukuman 5 tahun penjara. Atas vonis itu kedua terhukum naik kasasi ke Mahkamah Agung. Masa penahanannya pun dilanjutkan oleh peradilan kasasi itu. Ketika itulah, 13 Agustus lalu - setelah lebih dari setahun Djerman dirawat - petugas Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat datang menjemputnya dari RS Persahabatan dan membawanya kembali ke Rutan Salemba. "Sebab, ketika itu belum ada perpanjangan izin perawatan dari Mahkamah Agung," ujar Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat, Bob Nasution. Tapi, baru sehari Djerman masuk Rutan Salemba, Majelis Hakim Agung yang diketuai Soegiri menetapkan agar masa perawatan Djerman di RS Persahabatan diperpanjang sampai September. Menurut pertimbangan hakim kasasi, berdasarkan permintaan keluarga terdakwa dan surat-surat dokter, Djerman dianggap perlu "diisolasikan" agar tidak menulari orang lain. Penetapan itu segera dilaksanakan kejaksaan. Djerman dibawa kembali ke RS Persahabatan. Tapi, ternyata, majelis dokter yang menangani perawatan Djerman itu menolak pasiennya dengan alasan terdakwa sudah selesai menjalani pemeriksaan medis. "Jadi, kami telah melaksanakan penetapan Mahkamah Agung itu, tapi rumah sakit yang menolak menerimanya," tutur Bob lagi. Ketua Majelis Hakim Agung Soegiri ternyata tidak tersinggung akibat penetapannya ditolak RS Persahabatan itu. "Surat penetapan itu sebenarnya sama saja dengan surat izin. Kalau tidak dapat dilaksanakan, ya tidak apa-apa," ujar Soegiri. Ternyata, kata Soegiri, setelah penetapannya keluar, ia menerima surat dari rumah sakit bahwa Djerman tidak perlu di rawat lagi. "Kami baru tahu itu setelah penetapan keluar. Padahal, sebelumnya para dokter menyebutkan terdakwa sakit liver, diabetes, dan berbagai penyakit lainnya," tambah Soegiri. Namun, kata Soegiri, pihaknya pada 24 September mengeluarkan izin berobat ke rumah sakit di luar Rutan Salemba buat Djerman. Sebab, katanya, ia menerima surat dari dokter Rutan Salemba bahwa terdakwa harus berobat keluar. "Sebenarnya aneh juga: orang yang sudah dinyatakan tidak sakit, kok masih perlu berobat. Tapi, ya, bagaimana, kami 'kan percaya dokter, dan kami 'kan tidak tahu soal penyakit," tambah Soegiri. Soal sakit atau tidak sakitnya Djerman itu akhirnya diselesaikan dengan vonis Mahkamah Agung dalam perkara penyelundupan itu. Peradilan tertinggi itu memperkuat putusan Pengadilan Tinggi Jakarta. Berdasarkan vonis itu, dan karena Djerman tidak meminta grasi, kejaksaan melaksanakan eksekusi di Rutan Salemba, bulan lalu. "Walau ia sudah terhukum, karena ditahan di Salemba kami eksekusi di sana. Terserah Rutan Salemba, apakah terhukum akan menjalani hukuman di sana atau di tempat lain," ujar Kepala Seksi Pidana Umum Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat, Djokobudihardjo. Di Rutan Salemba, Djerman kini menempati sebuah kamar khusus, bersebelahan dengan kamar Nur Usman. Kamarnya itu, kata Djerman, dilengkapi kipas angin agar ia tidak berkeringat. "Sebenarnya, saya itu dari luar saja kelihatan sehat, tapi badan saya sakit semua," ujar Djerman. Sakitnya itu, katanya, sudah dibenarkan oleh dokter Rutan Salemba, walau dibantah tim dokter RS Persahabatan. "Sebenarnya tidak etis kalau diagnosa dokter itu bertentangan. Mereka 'kan teman sejawat," ujar Djerman. Dokter Rutan Salemba, Wunardi, membantah bahwa diagnosanya dibantah RS Persahabatan. "Berdasarkan hasil pemeriksaan kami, jelas Djerman Hamid itu terkena penyakit liver kronis. Kami minta konsul ke rumah sakit. Ternyata, oleh rumah sakit ia malah dirawat," ujar Wunardi. Tapi bukan hanya dalam kasus Djerman hasil pemeriksaan Wunardi diragukan. Dalam kasus Nur Usman, yang dituduh mendalangi pembunuhan anak tirinya, Roy Irwan Bharya, keterangan Wunardi bahwa terdakwa sakit diragukan banyak pihak. Berdasarkan surat Wunardi, Nur Usman sampai pekan lalu telah 10 kali tidak datang ke sidang pengadilan. Padahal, menurut informasi yang diterima Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat, Bob Nasution, Nur sehat-sehat saja di dalam Rutan Salemba. Sebab itu, dua pekan lalu, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengizinkan Nur Usman diperiksa tim dokter RSPAD (TEMPO, 30 November). Tapi, sampai sidang pekan lalu, surat tim dokter RSPAD itu belum muncul. Sementara itu, Nur, yang menurut keterangan Wunardi tampak sakit, juga tidak datang. Padahal, jika persidangan tetap terkatung-katung, Nur Usman, yang ditahan sejak 9 Agustus, akan lepas dari tahanan demi hukum pada 5 Januari mendatang. Sebab itu, ketua majelis, Oemar Sanusi, meminta kepastian tentang kesehatan Nur sesegera mungkin. "Sidang tidak bisa ditunda terus-menerus. Wibawa peradilan harus dijaga," ujar Oemar Sanusi. Karni Ilyas Laporan Agus Basri, A. Luqman (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus