Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Hari Antihukuman Mati Sedunia: Mengapa Hukuman Mati Masih Berlaku di Indonesia?

Pada 10 Oktober ditetapkan sebagai Hari Antihukuman Mati Sedunia. Peringatan ini bertujuan untuk menyeru penghapusan hukuman mati secara universal.

10 Oktober 2023 | 14.10 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Hari ini, 10 Oktober 2023 ditetapkan sebagai Hari Antihukuman Mati Sedunia. Peringatan ini bertujuan untuk menyeru penghapusan hukuman mati secara universal. Mengingat hukuman mati merupakan pelanggaran hak atas hidup, yang kemudian diakui oleh Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) sebagai hukuman paling kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat manusia.

Momentum Hari Antihukuman Mati Sedunia mendorong kesadaran politik untuk menentang hukuman mati. Hari Antihukuman Mati Sedunia pertama kali diperingati oleh The World Coalition Against the Death Penalty (Koalisi Dunia Anti Hukuman Mati).

Hari Antihukuman Mati Sedunia

Hari Antihukuman Mati Sedunia dicetuskan oleh Koalisi Dunia Menentang Hukuman Mati (WCADP) dalam sebuah kongres di Roma pada Mei 2002. Dilansir dari hmsejarah.fib.undip.ac.id, Hari Antihukuman Mati Sedunia merupakan tindak lanjut dari Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang sudah ada sejak 10 Desember 1948. 

DUHAM dinyatakan dan diadopsi oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam pasal 3. Adapun pasal tersebut berbunyi: “every human being has the right to life. This right shall be protected by law. No one shall be arbitrarily deprived of his life”. (Setiap orang mempunyai hak atas penghidupan, kemerdekaan dan keselamatan seseorang).

Lahirnya Hari Antihukuman Mati Sedunia juga tak lepas dari aturan negara Eropa yang terlebih dahulu menghapus hukuman mati. Seperti Protokol Opsional Kedua pada Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, Protokol No. 6 Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia, Protokol Konvensi Amerika tentang Hak Asasi Manusia untuk Menghapus Hukuman Mati, dan Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia yang melarang penggunaan hukuman mati setiap saat, dikutip dari gicj.org

Dikutip dari worldcoalition, Hari Antihukuman Mati Sedunia bermula dengan diadakannya World Congress Against the Death Penalty, kongres pertama tentang anti hukuman mati, pada 22 Juni 2001. Kongres ini diprakarsai dan diselenggarakan oleh LSM Perancis Together Against the Death Penalty (ECPM) yang mengadopsi Deklarasi Strasbourg Dewan Eropa pada 22 Juni 2001.

Dalam paragraf 9, para penandatangan berjanji untuk mengoordinasikan asosiasi dan juru kampanye penghapusan hukuman mati di seluruh dunia. Dengan tujuan utamanya meluncurkan hari penghapusan hukuman mati sedunia.

Setelah beberapa pertemuan persiapan di Paris dan Brussel, sebagian besar tokoh utama inisiatif ini bertemu di Roma pada 13 Mei 2002. Kemudian secara resmi membentuk The World Coalition Against the Death Penalty. Komite Pengarah yang beranggotakan 11 orang dipilih, kemudian diperbarui setiap Sidang Umum dua tahun sekali.

Pada 2003, The World Coalition Against the Death Penalty menetapkan Hari Antihukuman Mati Sedunia yang pertama. Inisiatif ini sampaikan melalui lebih dari 180 inisiatif lokal di seluruh dunia. Belgia, Kanada, Perancis, Italia, Meksiko, Komisi Hak Asasi Manusia Afrika dan Hak-hak Rakyat dan Uni Eropa secara resmi mendukungnya.

Sejak itu, 10 Oktober terus menarik berbagai inisiatif baru. Sejak 2005, Hari Antihukuman Mati Sedunia telah menyoroti tema tertentu setiap tahunnya. Pada 2007 Dewan Eropa dan Uni Eropa secara resmi mengakui Hari Sedunia sebagai Hari Eropa Antihukuman Mati.

Saat ini, 112 negara telah menghapuskan hukuman mati untuk semua kejahatan. Termasuk 7 negara yang menghapus untuk kejahatan biasa dan 47 negara telah memberlakukan moratorium eksekusi, baik berdasarkan hukum maupun praktik.

Meskipun hukuman mati sepenuhnya dilarang, hukuman yang dianggap melanggar HAM ini masih diterapkan di 52 negara bagian dan teritori antara lain Afghanistan, Bahrain, Bangladesh, Belarus, Botswana, Tiongkok, Mesir, India, Indonesia, Iran, Irak, Jepang, Yordania, Kuwait, Libya, Nigeria, Oman, Pakistan, Korea Utara, Otoritas Palestina, Arab Saudi, Singapura, Somalia, Selatan Sudan, Sudan, Suriah, Taiwan, Thailand, Uni Emirat Arab, Vietnam, dan Yaman, dikutip dari diplomatie.gouv.fr.

Selanjutnya: Mengapa Hukuman Mati Masih berlaku di Indonesia?


Mengapa Hukuman Mati Masih berlaku di Indonesia?

Menurut Dosen Filsafat Politik, Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM), Agus Wahyudi penerapan hukuman mati di Indonesia didominasi oleh dua argumen utama. Pertama, pencegahan. Argumen pertama ini berlandaskan dari gagasan suatu kelompok untuk menghilangkan kejahatan. Kelompok tersebut membutuhkan cara untuk dapat menekan angka kejahatan sehingga kejahatan serupa tidak terulang. 

Kedua, retributivisme. Argumen kedua menyatakan bahwa perbuatan yang salah harus dihukum apa pun konsekuensinya. Pada argumen kedua terdapat alasan membalas dendam kepada pelaku kejahatan untuk menegakkan keadilan di mata hukum.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lebih lanjut, Agus Wahyudi menjelaskan, berbeda dengan Indonesia yang menerapkan hukuman mati untuk menekan angka kejahatan, di  Belanda, tidak menerapkan hukuman mati, tetapi angka kejahatannya justru menurun. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Alih-alih hukum di Indonesia menerapkan hukuman mati untuk menekankan angka kejahatan, tetapi angka tersebut tidak kunjung menurun. Berbeda dengan negara lain yang tidak menerapkan hukuman mati, tetapi angka kejahatannya sangat kecil,” kata Agus Wahyudi kepada Tempo.co, pada 16 Mei 2023.

Hukuman mati akan dijatuhkan pada jenis perbuatan yang dianggap berbahaya. Namun, siapa yang menentukan sesuatu atau suatu perbuatan itu dianggap berbahaya atau tidak. Nantinya, permasalahan ini akan sesuai dengan cara berpikir seseorang, suatu kelompok, atau lembaga penegak hukum. 

Hukuman mati diterapkan sebagai perwujudan rasa hormat seseorang terhadap keputusan sadar dari pelaku kejahatan. Artinya, seorang pelaku kejahatan berhak menerima hukuman atas tindakannya. Terdapat konsekuensi atas tindak kejahatan yang dilakukan. Selain itu, hukuman mati juga menjadi pembalasan hukuman yang dilakukan atas tindakan kesalahan pelaku. Balas dendam dalam kacamata retributivisme ini dianggap sebagai sebuah keadilan. Namun, balas dendam perlu dibatasi dalam hukum karena dapat mengotori rasa keadilan. 

Menurut Agus Wahyudi, dalam diskusi etik, melihat hak asasi manusia atas hukuman mati menjadi hal berbeda yang membutuhkan pertimbangan moral lain. Menentukan suatu perbuatan salah adalah satu hal yang berbeda dengan merespons atau memberikan reaksi kepada seseorang atas tindak kejahatannya. Misalnya, dalam kasus kejahatan narkoba, efek dari narkoba akan membuat kematian dan penderitaan bagi pelaku. Tindakan tersebut merupakan perbuatan yang salah. Namun, apakah pelaku tersebut harus dihukum mati? 

Atas dasar tersebut, Dosen Filsafat Politik ini meyakini bahwa hukuman mati tidak dapat dibenarkan dari sisi moral. Ia berharap Indonesia dapat menghapuskan hukuman mati, meskipun sulit untuk direalisasikan. Namun, jika masih diberlakukan hukuman mati, perlu memeriksa alasan realisme mengapa hukuman mati masih tetap diterapkan. Hukuman penjara seumur hidup jauh lebih efektif daripada penerapan hukuman mati.

KHUMAR MAHENDRA  I  RYZAL CATUR ANANDA 

Pilihan Editor: Hari Antihukuman Mati, HATI: Pemerintah Masih Cacat Hukum

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus