Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta -Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan atau Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto resmi ditahan Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK) pada Kamis, 20 Februari 2025. Hasto ditetapkan sebagai tersangka pada Desember 2024 lalu, salah satunya terkait dugaan obstruction of justice dalam perkara Harun Masiku.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Hasto dengan sengaja mencegah, merintangi atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan perkara dugaan tindak pidana korupsi penetapan anggota DPR RI terpilih 2019-2024 yang dilakukan oleh tersangka Harun Masiku,” kata Ketua KPK Setyo Budiyanto saat jumpa pers di Gedung Merah Putih KPK, Kamis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setelah 59 hari berstatus sebagai tersangka sejak 23 Desember, kini Hasto akan ditahan selama 20 hari terhitung mulai pada 20 Februari 2025 sampai dengan 11 Maret 2025. Penahanan tersebut dilakukan di Cabang Rumah Tahanan Negara atau Rutan dari Rutan Klas I Jakarta Timur.
Adapun Hasto disangka melanggar Pasal 21 Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) terkait tindakannya diduga bersama Harun menyuap bekas anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan. Dia juga dikenai pasal Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHPidana) soal obstruction of justice.
Apa itu Obstruction of Justice dan Beleidnya?
Dilansir dari Antikorupsi.org, obstruction of justice yang disingkat OOJ, secara leksikal adalah tindakan menghalang-halangi proses hukum. Dalam konteks hukum pidana, istilah ini merujuk pada tindakan menghalang-halangi proses hukum yang sedang dilakukan oleh aparat penegak hukum (polisi, jaksa, hakim, dan advokat), baik terhadap saksi, tersangka, maupun terdakwa.
Ada tiga unsur penting suatu tindakan dinyatakan sebagai obstruction of justice. Pertama, menyebabkan tertundanya proses hukum (pending judicial proceedings). Kedua, pelaku menyadari perbuatannya (knowledge of pending proceedings). Ketiga, pelaku melakukannya bertujuan untuk mengintervensi proses hukum (acting corruptly with intent).
Dalam perundang-undangan Tanah Air, istilah obstruction of justice tercantum dalam Pasal 21 UU Tipikor— salah satu pasal yang dijeratkan kepada Hasto Kristiyanto. Beleid ini mengatur tentang pidana bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan perintangan hukum terhadap pengungkapan perkara korupsi.
“Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan disidang pengadilan terhadap tersangka atau terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 12 tahun dan atau denda paling sedikit Rp150 juta dan paling banyak Rp600 juta,” demikian bunyi Pasal 21 UU Tipikor.
Istilah obstruction of justice juga terdapat pada Pasal 221 KUHPidana. Regulasi ini digunakan menjerat siapapun yang sengaja menyembunyikan kejahatan orang lain, membantu pelaku kejahatan menghindari hukum, mempersukar proses hukum, hingga menghilangkan barang bukti. Pelaku bisa dipidana maksimal 9 bulan penjara atau denda Rp400 ribu.
Berikut bunyi Pasal 221 KUHPidana:
1. Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah;
(1) Barangsiapa dengan sengaja menyembunyikan orang yang melakukan kejahatan atau yang dituntut karena kejahatan, atau barangsiapa memberi pertolongan kepadanya untuk menghindari penyidikan atau penahanan oleh pejabat kehakiman atau kepolisian, atau oleh orang lain menurut ketentuan undang-undang terus-menerus atau untuk sementara waktu diserahi menjalankan jabatan kepolisian.
(2) Barangsiapa setelah dilakukan suatu kejahatan dan dengan maksud untuk menutupinya, atau untuk menghalang-halangi atau mempersukar penyidikan atau penuntutannya, menghancurkan, menghilangkan, menyembunyikan benda-benda terhadap mana atau dengan mana kejahatan dilakukan atau bekas-bekas kejahatan lainnya, atau menariknya dari pemeriksaan yang dilakukan oleh pejabat kehakiman atau kepolisian maupun oleh orang lain, yang menurut ketentuan undang-undang terus-menerus atau untuk sementara waktu diserahi menjalankan jabatan kepolisian.
2. Aturan di atas tidak berlalu bagi orang yang melakukan perbuatan tersebut dengan maksud untuk menghindarkan atau menghalaukan bahaya penuntutan terhadap seorang keluarga sedarah atau semenda garis lurus atau dalam garis menyimpang derajat kedua atau ketiga, atau terhadap suami/istrinya atau bekas suami/istrinya.
Kakak Indra Purnama, Ni Made Sukmasari, dan Mutia Yuantisya berkontribusi dalam penulisan artikel ini.