SIENY Tanjung sial. Sudah hidungnya rusak, perkaranya mental di pengadilan. Ibu satu anak berusia 38 tahun itu gagal menuntut dokter yang mengoperasi hidungnya, Lee Kay Seng. Ketua Majelis Hakim Pengadilan Negeri Surabaya, Sri Mardinah, Senin dua pekan lalu membebaskan dokter berusia 61 tahun itu. "Segala tuduhan tak terbukti," kata Sri Mardinah. Jaksa M. Tabrani dalam persidangan sebelumnya menuduh Lee melakukan tindak pidana malapraktek, yang menyebabkan rusaknya hidung saksi pelapor Sieny Tanjung. Operasi plastik itu dilakukan pada Agustus 1990 hingga akhir 1991 sebanyak empat kali. Akibat operasi itu, hidung Sieny membengkak dan terkena infeksi. Bentuknya pun semakin rusak. Untuk memperkuat tuduhannya, jaksa menyertakan visum et repertum berisi rincian kerusakan medis akibat operasi plastik itu. Visum itu dibuat dokter ahli bedah plastik terkenal, Djohansyah Marzoeki, yang belakangan menangani Sieny. Lee, sebagai dokter umum, dinilai jaksa juga menyalahi aturan, melakukan pekerjaan dokter spesialis operasi bedah plastik. Maka, Lee melanggar Pasal 360 Ayat 2 KUHP (Barang siapa karena kesalahannya menyebabkan luka-luka, diancam dengan pidana paling lama 9 bulan). Jaksa Tabrani menuntut hukuman 3 bulan penjara dengan masa percobaan 6 bulan. Di persidangan, terungkap bahwa, sebelum ditangani Lee, Sieny sudah mengoperasikan hidungnya ke dokter lain. Kisahnya, "sekitar dua puluh tahun lalu hidung saya disuntik silikon," kata Sieny. Silikon yang ditanam dua puluh tahun silam ini mencair. Kalau ia berjalan, hidung itu bergoyang-goyang. Karena itu, ia berobat ke Lee, dan silikon tersebut diambil. Tapi hidung Sieny tidak sembuh. Sieny lalu pindah ke seorang dokter ahli di Ujungpandang. Karena tidak sembuh juga, ia kembali lagi ke Lee, yang di Surabaya kondang sebagai ahli kosmetik. Lee kembali mencoba mengatasi kondisi hidung Sieny. Karena sulit, Lee terpaksa melakukannya berulang-ulang. Belakangan hidung Sieny malah bengkak dan infeksi. Dok ter terakhir yang didatangi Sieny adalah Djohansjah Marzoeki. "Setelah itu, berangsur-angsur luka hidung saya sembuh," tutur Sieny. Hakim Sri Mardinah berpendapat, untuk menentukan siapa yang bersalah sangat sulit, karena tak cuma terdakwa Lee yang menangani hidung Sieny. "Jaksa tak bisa mem buktikan 'barang siapa' yang dimaksud dalam pasal 360 itu? Sebab, satu hidung diutak-atik orang banyak," kata hakim. Visum yang dibuat Dokter Djohansyah Marzoeki juga dinyatakan hakim sebagai visum yang cacat. "Bagaimana bisa Djohansyah membuat visum, sementara Sieny waktu itu bukan pasiennya?" Menurut hakim, yang dilakukan Lee (sebagai dokter umum melakukan operasi bedah) tak melanggar kode etik kedokteran. Karena, dalam kode etik kedokteran, tidak ada peraturan dokter umum dilarang membedah pasien. "Dalam kode etik malah dianjurkan agar dokter memberikan pelayanan setinggi-tingginya sebatas kemampuan dokter bersangkutan." Dalam hal ini, penilaian hakim tidak tepat. Aneh, mengapa tak dipanggil saksi ahli untuk menerangkan hal ini. Ketentuan dokter melakukan pembedahan tidak diatur pada kode etik kedokteran, tapi pada standar profesi keahlian. Prosedur pada standar profesi inilah yang biasanya dikaji untuk mengukur apakah dokter melakukan malapraktek atau tidak. Dalam standar profesinya, dokter umum tidak diperkenankan melakukan pembedahan, kecuali dalam keadaan darurat, untuk menyelamatkan nyawa. Ini dikemukan Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dr. Kartono Mohamad, beberapa waktu lalu. "Operasi hidung itu bukan keadaan darurat," katanya. Pernyataan hakim yang tidak tepat itu bisa berdampak. Ini terasa pada pendapat Lee, begitu memenangkan perkara. Lee tak menyangkal ia dokter umum, tapi ia tak ragu mengemukakan, "Hikmah dari kasus ini, persaingan antara dokter umum dan dokter bedah menjadi mencuat." Batas keahlian dokter, dalam pernyataan itu, tak menentu. Lee seperti merasa mendapat hak dari pengadilan untuk melakukan pembedahan. Moga-moga, sikap Lee ini tak meluas. Bisa gawat. Aries Margono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini