SUDAH 12 hari ini, Nyi Raden Dewi Roro Djulaeha berkemah di teras rumahnya sendiri. Seperti pertapa, nenek berusia 77 tahun itu mengisi hari-harinya dengan duduk di ranjang kayu di teras tersebut. Di sekelilingnya teronggok perabot rumah tangga dan hartanya yang tak seberapa. Ditumpuk begitu saja. Untuk menangkal angin di malam hari, bagian muka teras itu ditutupi kerai bambu, kantong terigu, dan bekas spanduk iklan rokok. Makan Nyi Jeje -- begitu panggilan si nenek -- sehari-hari terpaksa disuplai para tetangga. Selangkah pun Nyi Jeje tak mau meninggalkan rumahnya di Jalan Palasari Nomor 54, Sumedang, Jawa Barat. Ia terikat pada rumah yang sudah dihuninya sejak tahun 1950-an ini. Ajakan para tetangga tak melunturkan aksi unjuk rasanya. "Saya akan mempertahankan rumah ini," ujar janda almarhum Tubagus Nono Sumawikata, bekas kepala Kantor Pos Sumedang. Nyi Jeje terusir dari rumah seluas 128 meter persegi di atas tanah seluas 500 meter persegi itu Kamis dua pekan lalu. Waktu itu, sekitar 20 orang pegawai pengadilan, dibantu petugas keamanan, mengosongkan rumah tersebut secara paksa. Nyi Jeje, yang tinggal seorang diri, mencoba menghalangi eksekusi itu. "Allahu Akbar ... Allahu Akbar. Ini rumah saya, kenapa dibeslah?" teriak Nyi Jeje. Keruan saja, para petugas menjadi tak sabar. Beberapa dari mereka menggodam tembok rumah dan menggergaji kusen jendela. Sementara itu, Nyonya Tati dan Yetty segera pergi ke Ketua Pengadilan Negeri Sumedang, Basoeki Mangoendimedjo. Menantu dan tetangga Nyi Jeje itu men coba memohon penangguhan eksekusi. Ditolak. Dan terjadilah peristiwa itu. Dengan sigap petugas menggotong nenek itu ke luar rumah, mengeluarkan semua perabot rumah dan menumpuknya di teras rumah. Inilah awal kisah Nyi Jeje terdesak ke teras rumahnya. Nestapa itu tak lain akibat ulah anaknya, Tubagus Mohamad Ali Sunaryo alias Agus. Agus adalah anak sulung Nyi Jeje dari empat anaknya. Dari keempat anak itu, dua sudah meninggal, dan yang seorang ikut suami di Jakarta. Hatta, pada 1985, Agus, yang pegawai Dinas Penerangan di Sumedang, berutang 30 ton beras kepada Oman, pedagang beras dan genting di Jatiwangi. Karena utang senilai Rp 6 juta tak kunjung bisa dibayar, Agus terdesak dan menjaminkan tanah di Jalan Palasari 54 kepada Oman. Agus ternyata telah lama menyulap hak pemilikan tanah dan rumah ibunya itu menjadi miliknya. Tanah itu sebelumnya dijaminkan Agus sewaktu berutang Rp 6,4 juta pada Bank Pembangunan Daerah. Untuk memiliki rumah itu, Oman, yang menang di pengadilan, masih harus menebusnya melalui Badan Urusan Piutang Negara. Tapi nilai rumah Nyi Jeje, berikut tanahnya, sekarang ini diperkirakan Rp 40 juta. Namun, upaya Oman menduduki rumah itu tetap terhalang. Nyi Jeje bertahan. Ia tak tahu-menahu soal utang Agus, yang sudah meninggal. Namun, ia memang tak bisa menyangkal keabsahan surat-surat rumah yang ada di tangan Oman. Upaya selanjutnya, Oman membawa urusan ini ke pengadilan. Sampai tingkat kasasi, pedagang beras ini memenangkan perkara. "Sudah tujuh tahun saya menunggu kembalinya hak saya," katanya ketika eksekusi. Ia akan segera membongkar rumah itu. Entah bagaimana nasib Nyi Jeje. Sembari menatap kosong ke bekas rumahnya, nenek itu bergumam, "Seharusnya utang itu impas dengan meninggalnya Agus." Happy Sulistyadi dan Ahmad Taufik (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini