Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Rakyat jadi korban

Wawancara tempo dengan pangdam i/bukit barisan mayjen pramono tentang situasi keamanan di aceh. pembinaan terhadap bekas gpk melalui beberapa tahap. masyarakat diizinkan membunuh gerombolan gpk.

17 November 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

UNTUK lebih mengetahui situasi keamanan Aceh saat ini, Syahril Chili dan R. Fadjri dari TEMPO menemui Pangdam I/Bukit Barisan Mayor Jenderal Pramono. Waktu itu, 20 Oktober silam, Pramono, 51 tahun, sedang berkunjung ke Yogyakarta. Sebagian wawancara tersebut: Bagaimana situasi keamanan di Aceh saat ini? Kehidupan sehari-hari sudah semakin baik, kembali seperti semula. Bukan sudah lebih enak, tapi lebih baik dibandingkan beberapa waktu lalu. Secara konsepsional kami melakukan tugas untuk pemantapan, pembinaan masyarakat, agar kondisinya betul-betul baik, toto tenterem loh jinawi. Tapi, bukan berarti kami kendur dalam beroperasi, khususnya untuk mencari tokoh-tokoh intelektualnya. Apa memang di GPK ada tokoh intelektualnya? Anda tahu ada selebaran-selebaran itu, kan. Wartawan juga diancam. Kalau bukan seorang intelektual, tidak mungkin mampu membuat selebaran semacam itu. Apakah ada sasaran waktu untuk operasi itu? Dulu rencananya -- sesuai dengan perintah Pangab -- saya harapkan pada bulan Desember tahun ini operasi yang bersifat represif dapat selesai. Tapi semua terserah pada Yang Mahakuasa. Kalau Yang Mahakuasa menghendaki selesai, ya selesai. Sekarang kita utamakan operasi yang represif, sedang yang lain -- operasi pembinaan -- itu mendukung. Apa dampak kegiatan GPK di Aceh? Bagi masyarakat sendiri, mereka bisa membedakan mana perbuatan yang benar dan mana yang tidak benar. Sedang aparat pemerintah juga bisa melihat kekurangan dalam melaksanakan tugas mereka. Masyarakat Aceh juga perlu menyadari bahwa semua itu tidak mungkin bergantung pada Pemerintah. Jadi, harus berupaya. Bukan terus pasrah, saya harus dapat ini, dapat itu. Mana mungkin. Di sana kan sudah ada tujuh proyek vital nasional yang besar-besar. Itu harus bisa dimanfaatkan untuk segala-galanya. Tapi, bukan berarti semua masyarakat Aceh harus ditampung. Nggak mungkin, kan, karena sekarang yang penting kualitas. Dari Minang, dari Jawa, dari Bugis, dari Irian, dan dari Aceh sendiri. Siapa pun boleh. Silakan, asalkan memenuhi persyaratan kualitas. Kalau tidak begitu, mana ada profit. Jadi, tidak membeda-bedakan? Ya, tapi masalah itu yang selalu dilemparkan sebagai alat oleh sekelompok manusia tertentu untuk mempengaruhi masyarakat. Padahal, kondisi di sana tidak ada bedanya dengan daerah-daerah lain. Bahkan yang jauh lebih susah dari keadaan di Aceh lebih banyak, seperti di Kalimantan. Atau Irian. Tapi mereka kan tidak pernah berontak. Nggak pernah macam-macam. Dalam hal ini, kesadaran politik masyarakat Aceh perlu ditingkatkan. Khususnya kesadaran tentang bela negara, dan berbangsa. Pada pertemuan yang berlangsung awal Oktober kemarin saya berdialog dengan tokoh-tokoh masyarakat Aceh, termasuk yang berada di luar Aceh, dari Jawa Tengah, dari Jawa Timur, bahkan ada yang dari Malaysia. Saya katakan, kalau kita beragama, jangan terlalu piciklah, dan juga jangan terlalu indoktriner. Begitu juga soal budaya, kita jangan terlalu primordial. Kita serap nilai-nilai yang baik, yang tidak bertentangan. Jangan terlalu kaku, deh, Pancasila saja kan terbuka. Apa Bapak tidak melihat ketimpangan sosial ekonomi di Aceh? Kalau melihat kehidupan di dalam dan di luar, jelas ada perbedaan. Tapi, dikatakan tinggi tidak juga. Tapi wajar, dong, kehidupan masyarakat yang lebih maju dengan masyarakat yang tradisional mesti ada perbedaannya. Jadi, kesenjangan yang terjadi sebenarnya adalah kesenjangan komunikasi. Kalau ada komunikasi, tak akan terjadi keresahan. Industri-industri besar di Aceh juga ternyata banyak melakukan upaya di bidang sosial untuk masyarakat Aceh. Jadi, kesenjangan sosial ekonomi itu yang menjadi penyebab adanya gerakan GPK itu? Seperti yang saya katakan tadi, itu merupakan lahan untuk dimanfaatkan sebagai alat sesuatu. Sesuatunya itu yang perlu kita cari bersama-sama. Tindakan kriminal apa saja yang dilakukan oleh GPK di Aceh? Ada transmigran yang digergaji lehernya oleh GPK, Juli lalu. Pendatang yang bermukim di Aceh Timur dan Aceh Utara juga diancam dan disuruh keluar dari Aceh. Ada puluhan korban transmigran sehingga aparat keamanan terpaksa kita masukkan ke daerah transmigrasi untuk menjaga mereka. Perbuatan mereka itu macam-macam, kok. Yang namanya santri saja baru selesai salat langsung dibunuh. Bahkan sewaktu 17 Agustus kemarin, mereka mengancam tidak boleh upacara. Makanya, sejak awal Agustus kita pasang bendera merah putih di seluruh Provinsi Aceh. Jadi, tidak cuma tiga hari, 16 sampai 18 Agustus. Semua rumah penduduk kita tempel dengan bendera kertas merah putih. Di beberapa tempat mereka berhasil menurunkan bendera merah putih itu, tapi ketika kepergok masyarakat, lalu dikejar. Masyarakat di Aceh sekarang sudah berani mengahadapi GPK. Makanya, sekarang GPK sudah terjepit karena sudah keluar dari lingkungan masyarakat. Mereka sudah tidak berani karena masyarakat sudah tidak mendukung mereka. Apakah masih ada anggota GPK yang akan dilepaskan, s-eperti yang Bapak lakukan di Lhokseumawe itu? Atau mereka akan diseret ke pengadilan? Bagaimana pula kriterianya? Hukum kan ada juga yang tidak tertulis. Jadi, mereka yang ikut karena ancaman, atau pelaksana-pelaksana yang tidak penting, akan kami lepaskan. Yang dinilai berat akan kami ajukan ke pengadilan. Mereka yang dilepas bukan diawasi, tapi kami bina sehingga sadar. Mereka juga bisa kita manfaatkan untuk membantu. Bagaimana dengan sejumlah mayat yang diidentifikasi sebagai anggota GPK? Ya, saya baca itu di TEMPO. Jadi, sebenarnya, mereka itu malah korban dari pihak GPK sendiri. Kadang-kadang begini, mereka yang menyerah atau mereka yang membantu kita dibunuh oleh GPK. Betul itu, saya tidak mengada-ngada. Kalau Anda katakan mayat-mayat itu diikat begini (lalu Mayjen. Pramono menakupkan dua ibu jarinya), yang Anda katakan bukan dilakukan orang awam. Bagaimana, wong mereka juga tahu tentang ikat mengikat, sebab mereka juga ada yang desertir. Mereka kan banyak juga yang pakai doreng, padahal dia itu GPK. Tapi, doreng itu kan mudah diperoleh, di Bandung misalnya. Yang desertir itu 1-2 orang, tapi kan tahu teknik-tekniknya, dan -- mereka bisa mengajarinya. Jadi, mereka lakukan seperti itu, biar dikira kami yang melakukannya. Jadi, mereka berusaha juga memanfaatkan kelemahan kita, dan mendiskreditkan kita, agar masyarakat jadi benci sama tentara. Itu kalau tidak dilakukan oleh seorang intelektual, kan nggak mungkin. Jadi, yang terjadi adalah ada anggota GPK yang menyerahkan diri sehingga mereka dianggap berkhianat oleh GPK. Setelah mereka kami bina, lalu dilepas. Tapi, di tengah jalan mereka di bunuh oleh GPK. Pernah ada transmigran lokal yang ikut GPK, tapi kemudian menyerahkan diri. Ketika melapor ke kami, ya sudahlah. Dia ikut GPK karena terpaksa, kami lepas dan disuruh pulang. Tapi, ketika mereka pulang, di tengah jalan dibunuh oleh GPK. Bagaimana pembinaan terhadap anggota GPK yang menyerahkan diri? Mereka dibina dengan Operasi Teritorial, Operasi Kamtibmas, Operasi Sospol, dan Operasi Tempur. Sedang yang menjadi operasi pokoknya adalah kegiatan intelijen. Berapa banyak anggota GPK yang menjadi korban dalam operasi yang sedang dilakukan saat ini? Banyak. Hampir tiap hari ada, dan itu karena mereka memberikan perlawanan. Kami kan mendapat informasi tentang tempat persembunyian mereka dari operasi intel. Ketika disergap, mereka melakukan perlawanan. Ya terpaksa, kan. Kalau tidak melawan, ya kami tangkap hidup-hidup, dan diproses. Dari mana mereka peroleh senjata api? Ya, mereka rampas dari aparat, dengan aksi penyerangan mereka ke pos-pos keamanan. Tidak ada sumber yang lain? Saya belum pasti, tapi pernah kami temukan bukan senjata organik ABRI berupa pistol. Saya tidak tahu dapat dari mana. Berapa banyak disita? Belum banyak, tapi sudah kami dapatkan beberapa. Makanya, kami prihatin. Situasinya kok begini, padahal kita mau tinggal landas. Cara berpikirnya bagaimana? Apa mau hidup sendiri. Apakah gerakan GPK ini sudah merupakan indikasi gerakan separatis? Saya tidak bisa memastikan, nanti saja lihat hasil pemeriksaan pengadilan. Kapan mereka yang tertangkap itu mulai diadili? Setelah Desember ini, supaya operasi kita tidak terganggu. Setelah itu operasinya kami ubah, kalau situasinya semakin baik. Jadi, mana yang pokok, dan mana operasi sebagai pendukung. Sekarang kan operasi pokok adalah operasi intelijen. Yang pasti, kami tidak mengendurkan intensitas operasi. Nanti, setelah berhasil, kami terapkan operasi teritorial (opster) sebagai operasi pokok. Yakni dengan membina masyarakat, agar kondisi sosial semakin baik, dengan memanfaatkan semua kekuatan. Seperti, Pemda yang sekarang dapat droping tambahan dari Bappenas sebesar Rp 65 milyar untuk kepentingan masyarakat, antara lain, pengadaan pompa air dan pesantren. Dan juga kegiatan AMD. Di mana mereka ditahan? Di tempat-tempat tertentu, di Aceh dan di Medan. Jumlah mereka yang ditahan ada sekitar 20 orang. Seperti kemarin ada yang dari Medan dikirim ke Lhokseumawe untuk dilepaskan. Lhokseumawe memang merupakan pusat operasi pengendalian. Dari anggota GPK itu ada juga yang motivasinya hanya mendompleng untuk mengisi perut. Orang semacam itu menguntungkan kita. Sebab, asal diberi makan saja sudah selesai, siapa yang menyuruh tidak peduli. Perutnya diisi, orang semacam ini kan langsung ngomong si A, si B, atau si C yang menjadi anggota GPK. Markas mereka di mana? Inilah yang sedang dicari. Yang pasti, di sekitar tiga kabupaten itu. Pentolannya sudah banyak yang kami tangkap. Pimpinan tertinggi belum, mudah-mudahan nantilah. Kekuatan GPK Aceh sekarang berapa? Sekitar 200 orang. Tapi, jumlah tersebut adalah jumlah waktu itu. Dan sekarang sudah banyak yang kami lepas. Secara pasti belum bisa diungkap karena mereka nggak habis-habis. Kalau saya bilang sekian jumlahnya, tapi ternyata yang saya lepas saja ada 140 orang. Kalau yang liar sekitar 10 sampai 15 orang, tapi itu yang inti. Bagaimana cara mereka mempengaruhi masyarakat? Kelihatannya hebat juga. Buktinya, ketika pada awal saya melaksanakan- operasi, Juli 1990, sulit sekali untuk menemukan mana yang GPK, dan mana yang bukan. Mereka tinggal di kampung bersama masyarakat, dan tidak ada yang mau melaporkan. Artinya, masyarakat tersebut sudah terpengaruh. Sekarang kami sudah bisa menyaring mana yang kasar, dan mana yang halus. Yang kasar sudah semakin kelihatan, sedang yang halus sudah semakin menyatu. Masyarakat saya suruh: pokoknya kalau ketemu GPK bunuh saja, nggak perlu diusut. Jadi, jangan sampai rakyat jadi korban. Mereka dipaksa begini-begini, kalau tidak mau, ditembak jeder..., atau disembelih. Masyarakat sekarang saya suruh bawa senjata tajam. Mau parang, mau apa, jadi kalau ketemu GPK bunuh saja. Tidak perlu diusut? Tidak perlu diusut. Sekarang itu masalahnya, bagaimana cara kita menumbuhkan keberanian masyarakat untuk membela dirinya. Yang penting kan itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus