Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Institute for Criminal Justice Reform atau ICJR menyikapi pernyataan Presiden Prabowo Subianto yang menyebut Polri perlu diberi kewenangan yang cukup. Sementara rancangan draf revisi undang-undang atau RUU Polri yang beredar menurut mereka justru akan menambah wewenang korps bhayangkara itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Peneliti ICJR Iqbal Muharam Nurfahmi mengatakan, kecenderungan pembuat kebijakan saat ini terlihat hanya fokus pada bagian memperbesar kewenangan polisi. "Padahal di sisi lain, Prabowo meyakini bahwa kewenangan yang absolut pasti korup, atau dalam istilah populernya dikatakan Absolute Power, Corrupt Absolutely," kata Iqbal dalam keterangan resminya, Sabtu, 12 April 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Iqbal mengatakan, potensi penambahan kewenangan kepolisian saat ini tidak hanya dimuat dalam RUU Polri, dalam konteks peradilan pidana kewenangan kepolisian juga akan ditambah dalam draft Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP). "Sebagai contoh, dalam Pasal 90 ayat (2) RUU KUHAP menyebutkan penangkapan dapat dilakukan dalam waktu yang tidak terbatas pada keadaan tertentu," kata Iqbal.
Pada bagian penjelasan pasal tersebut kemudian disebutkan salah satu contoh keadaan tertentu yakni jika jarak antara tempat Tersangka ditangkap dengan kantor Penyidik terdekat memiliki waktu tempuh lebih dari satu hari. Dalam hal ini, tidak ada jaminan bahwa pembatasan akan tetap berlaku dalam praktik.
"Kasus penangkapan yang berpotensi melanggar HAM sulit dicegah, terutama karena RUU KUHAP ini tidak mengatur kewajiban menghadapkan tersangka secara fisik ke hadapan hakim," katanya.
Padahal, lanjut Iqbal, standar HAM internasional menetapkan bahwa penangkapan hanya dapat dilakukan selama 48 jam, setelah itu tersangka harus dihadapkan kepada hakim untuk menilai keabsahan penangkapan dan kebutuhan penahanan.
Lebih lanjut, terdapat beberapa pasal bermasalah lainnya dalam RUU Polro yang masuk ke RUU KUHAP seperti Pasal 16 yang mengatur terkait kewenangan melakukan teknik investigasi khusus, sebelumnya secara detail hal ini diatur dalam Pasal 6 ayat (1) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana (Perkap Nomor 6 Tahun 2019).
Peraturan ini memberikan kewenangan pada tahap penyelidikan, meskipun saat itu peristiwa pidana belum dapat dipastikan. "Dengan adanya kewenangan ini di tahap penyelidikan, yang tidak diawasi oleh lembaga lain, risiko penjebakan menjadi sangat tinggi," katanya.
Untuk itu, kata Iqbal, alih-alih memperbesar kewenangan Polri dan berpotensi menjadikannya institusi superbody, agenda reformasi Polri melalui RUU Polri perlu memprioritaskan penguatan mekanisme pengawasan (oversight mechanism).
"Kedepannya perlu ada pengawasan dari lembaga yang independen dan imparsial, salah satunya ialah pengawasan yudisial (judicial scrutiny) oleh lembaga pengadilan, khususnya terhadap kewenangan penyidikan dan pelaksanaan upaya paksa, saat ini belum ada pengawasan yang efektif," kata Iqbal.
Iqbal mengatakan, pada periode 2023 dan 2024, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mencatat Polri sebagai pemuncak klasemen institusi yang paling sering diadukan terkait dugaan pelanggaran HAM. Hal ini mencerminkan bahwa sebagai institusi Polri seringkali menunjukan abuse of power, hal ini terlihat dalam beberapa kasus yang melibatkan anggota kepolisian, seperti kasus kekerasan seksual oleh polisi, korupsi dan kasus-kasus kekerasan.
"Dalam proses legislasi di DPR yang berjalan saat ini yakni RUU KUHAP harus ada jaminan bahwa penangkapan dan penahanan hanya dapat dilakukan berdasakan izin pengadilan, serta seluruh upaya paksa dan tindakan lain sebelum persidangan dapat diuji ke pengadilan dalam mekanisme keberatan dengan mekanisme pemeriksaan yang substansial," katanya.
Pilihan Editor: Mengapa Judi Online Sulit Diberantas: Cerita Para Operator