Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Bukti Minim Menjerat Tom Lembong

Kejaksaan Agung tak kunjung membuka bukti kasus impor gula yang menjerat Tom Lembong. Kerugian negara masih sumir.

10 November 2024 | 08.30 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENDATANGI kantor Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung di Gedung Bundar, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, pada Selasa, 29 Oktober 2024, Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong merasa percaya diri. Ia tak didampingi pengacara. Sejak Selasa, 8 Oktober 2024, Menteri Perdagangan periode 2015-2016 itu menjadi saksi kasus korupsi impor gula. Hari itu merupakan pemeriksaan keempatnya sebagai saksi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebelumnya, pertanyaan jaksa selalu dijawab dengan lancar. Di akhir pemeriksaan, penyidik menyodorkan surat baru: penetapannya sebagai tersangka perkara impor gula. Jaksa menjeratnya dengan Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Pasal 2 mengatur perbuatan memperkaya diri sendiri dan orang lain serta merugikan keuangan negara. Sedangkan Pasal 3 mengatur penyalahgunaan kewenangan jabatan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tom, kini 53 tahun, kaget. “Temuan apa yang menyebabkan Tom jadi tersangka, tidak bisa dijelaskan jaksa sampai hari ini,” kata kuasa hukum Tom Lembong, Ari Yusuf Amir, pada Senin, 4 November 2024. Apalagi saat itu jaksa ujug-ujug menyerahkan surat penunjukan penasihat hukum untuk mendampingi Tom sebagai tersangka. Surat sebanyak dua lembar itu berisi dua nama pengacara dari Kejaksaan Agung.

Jaksa akhirnya tetap menjerat Tom. Ia dituduh merestui izin impor di saat Indonesia sedang mengalami surplus gula. Apalagi jatah impor itu diberikan kepada pihak swasta, bukan badan usaha milik negara, sesuai dengan peraturan. Persetujuan impor gula itu juga disebut tak melewati rapat koordinasi dengan kementerian dan lembaga terkait.

Selain menjerat Tom, jaksa menetapkan Direktur Pengembangan Bisnis PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) Charles Sitorus sebagai tersangka. Berbeda dengan Tom, Charles dituduh membuat kesepakatan yang melanggar ketentuan dengan delapan perusahaan swasta untuk mengimpor gula kristal mentah (GKM) agar diolah menjadi gula kristal putih (GKP). “Seharusnya, untuk pemenuhan stok dan stabilisasi harga, yang diimpor GKP,” ujar Direktur Penyidikan Jampidsus Abdul Qohar.

Jaksa menganggap Tom dan Charles merugikan negara kurang-lebih Rp 400 miliar. Angka ini merupakan nilai keuntungan yang diperoleh delapan perusahaan swasta yang seharusnya menjadi milik PT PPI yang tercatat sebagai BUMN. Tapi di sinilah kejanggalan kasus ini bermula. Tuduhan kepada Tom dianggap berbeda dengan fakta.

Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong (kanan) bersama Presiden Joko Widodo melihat stan pameran Trade Expo Indonesia Ke-30 di Jakarta International Expo, Kemayoran, Jakarta, 21 Oktober 2015./Dok.Tempo/Aditia Noviansyah

Kejaksaan Agung mengklaim ada rapat koordinasi antarkementerian pada 12 Mei 2015. Mereka menyebutkan rapat itu menyimpulkan Indonesia mengalami surplus sehingga impor gula tidak diperlukan.

Dua orang yang berada di lingkungan industri gula menyatakan cerita itu janggal karena Indonesia tak pernah mengalami surplus gula. Pemerintah selalu mengimpor gula untuk menutup kekurangan stok. Pada 2015, jumlah konsumsi gula masyarakat mencapai 5 juta ton per tahun. Sementara itu, angka produksi nasional hanya 2 juta ton. Musim giling tebu juga biasanya baru berakhir pada September-Oktober 2015. Jadi kecil kemungkinan ada rapat yang menyebutkan terjadinya surplus gula.

Tempo meminta konfirmasi soal pembahasan gula dalam rapat koordinasi tersebut kepada Menteri Perdagangan dan Menteri Perindustrian saat itu, Rachmat Gobel dan Saleh Husin. Namun mereka tak merespons permintaan wawancara hingga Jumat, 8 November 2024. Adapun Menteri Koordinator Perekonomian pada masa itu, Sofyan Djalil, mengaku tak mengingatnya. “Saya sama sekali lupa tentang rapat tersebut,” tuturnya.

Perihal rapat penentuan impor gula juga muncul dalam temuan audit Badan Pemeriksa Keuangan. Pada 2 Maret 2018, BPK merilis Laporan Hasil Pemeriksaan atas Perencanaan, Pelaksanaan, dan Pengawasan Tata Niaga Impor Tahun 2015 sampai Semester I Tahun 2017. Temuan itu tetap disampaikan dalam laporan meski auditor tidak memperoleh notula rapat koordinasi soal impor gula pada 2015 tersebut.

Audit BPK juga sama sekali tidak menuliskan frasa kerugian negara. Mereka tak menyebutkan soal kerugian negara Rp 400 miliar. Sementara itu, jaksa belum mau menjelaskan asal-usul angka tersebut. “Kerugian negara baru mau dihitung, nanti dikoordinasikan dengan ahlinya, apakah BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan) atau BPK,” ujar Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Harli Siregar pada Rabu, 30 Oktober 2024.

Saat dimintai konfirmasi, pihak BPKP belum mengaudit impor gula periode 2015-2023, apalagi mengeluarkan angka kerugian Rp 400 miliar. Saat ini Kejaksaan Agung baru sekadar meminta bantuan BPKP untuk menghitung kerugian negara. Kepala BPKP Muhammad Yusuf Ateh mengkonfirmasi hal tersebut. “Benar (kami diminta membantu),” ucapnya. 

•••

OPERASI pasar untuk mengendalikan harga gula berjalan sejak Juni 2015 di masa Menteri Perdagangan Rachmat Gobel. Operasi ini melibatkan sejumlah pihak, dari PT Perusahaan Perdagangan Indonesia sampai Induk Koperasi atau Inkop Kartika di bawah Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat dan koperasi Kepolisian RI. Sejak 2013, ada nota kesepahaman distribusi gula antara Kementerian Perdagangan dan TNI Angkatan Darat untuk stabilisasi harga.

Mulanya Inkop Kartika yang menggelar operasi pasar menggunakan stok gula yang mereka miliki. Mereka memang mendapat penugasan dari Kementerian Perdagangan. Pada 27 Juli 2015, Inkop Kartika bersurat lagi kepada Kementerian Perdagangan guna meminta perpanjangan masa operasi pasar. Rachmat tak sempat membalas surat itu karena digantikan Thomas Trikasih Lembong pada 12 Agustus 2015.

Tom membalas surat Inkop Kartika dan menyetujui permintaan itu dengan lima syarat. Di antaranya Inkop diminta bekerja sama dengan produsen dalam negeri serta operasi hanya dilakukan di luar Jawa dan daerah perbatasan. Operasi pasar ini ditetapkan berlangsung sampai 31 Desember 2015. Surat tersebut ditembuskan kepada Menteri Perindustrian Saleh Husin dan Menteri Koordinator Perekonomian yang saat itu dijabat Darmin Nasution.

Masalahnya, Inkop Kartika harus mencari stok baru. Mereka lantas mendatangi PT Angels Products, entitas bisnis di bawah Artha Graha Group. “Kami ditawari kerja sama untuk menyediakan gula konsumsi dalam rangka penugasan tersebut,” kata Sekretaris Perusahaan PT Angels Products Benardi Dharmawan.

Inkop Kartika tak bisa mengimpor langsung karena tak punya angka pengenal impor produsen (API-P), khusus untuk barang impor menjadi bahan baku. Inkop Kartika pula yang meminta Kementerian Perdagangan menerbitkan izin impor gula kristal mentah kepada PT Angels Products sebanyak 105 ribu ton.

Tom Lembong menyanggupi permintaan itu dan persetujuan impor 105 ribu ton GKM untuk PT Angels Products terbit pada 12 Oktober 2015. Pabrik PT Angels Products di Serang, Banten, lalu mengolah GKM impor itu menjadi gula kristal putih. Sesuai dengan kesepakatan awal, Inkop Kartika akan membeli gula tersebut seharga Rp 9.000 per kilogram. Gula lalu dikemas dalam karung ukuran 50 kilogram berlogo Inkop Kartika dengan harga jual yang tertera Rp 12.500 per kilogram. Karung-karung gula di gudang lalu diambil oleh truk milik distributor dari Inkop Kartika untuk didistribusikan.

Tempo mengirimkan surat permohonan wawancara kepada Ketua Umum Inkop Kartika Kolonel Infanteri Haris Panca. Namun, hingga Jumat, 8 November 2024, surat itu tak direspons.

Izin impor 105 ribu GKM untuk PT Angels Products itu yang kini menjerat Tom. Tim penyidik Jaksa Muda Tindak Pidana Khusus merujuk pada Keputusan Menteri Perdagangan dan Perindustrian Nomor 527 Tahun 2004 yang mengklaim bahwa hanya badan usaha milik negara yang boleh mengimpor gula.

Klaim ini ditentang karena aturan soal impor gula hanya boleh dilakukan BUMN justru terbit di era Menteri Perdagangan Tom Lembong lewat Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 117/M-DAG/PER/12/2015 tentang Ketentuan Impor Gula. Tom mengatur GKM dan gula kristal rafinasi hanya bisa diimpor perusahaan pemilik API-P. Sedangkan yang boleh mengimpor GKP hanyalah BUMN pemilik angka pengenal impor umum, khusus untuk barang impor yang langsung dijual kembali.

Sementara itu, hingga akhir 2015, harga gula masih terus naik. Pada masa itu PT PPI sudah terlibat dalam operasi pasar. Direktur Pengembangan Bisnis PT PPI Charles Sitorus memerintahkan bawahannya mengumpulkan delapan produsen gula di Equity Tower di Sudirman Central Business District atau SCBD, Jakarta Selatan. Kejaksaan Agung mengatakan pertemuan itu empat kali digelar sepanjang November-Desember 2015.

Delapan perusahaan ini berasal dari lima grup bisnis. Yang pertama adalah PT Permata Dunia Sukses Utama dan PT Makassar Tene di bawah FKS Group. Kemudian PT Andalan Furnindo, PT Sentra Usahatama Jaya, dan PT Medan Sugar Industry di bawah Samora Group. Lalu PT Angels Products di bawah Artha Graha Group. Selanjutnya PT Duta Sugar International di bawah Wilmar Group. Yang terakhir adalah PT Berkah Manis Makmur di bawah Far East Agri Pte Ltd yang menginduk kepada Mitr Phol Group, produsen gula asal Thailand.

Lewat surat tertanggal 12 Januari 2016, Tom kemudian menugasi PT PPI menstabilkan harga dan menyediakan stok gula dalam negeri. Mekanismenya adalah menggandeng produsen gula dalam negeri yang dapat memasok gula atau industri yang dapat mengolah GKM menjadi GKP. Surat penugasan kepada PT PPI itu turut ditembuskan kepada Presiden Joko Widodo dan beberapa kementerian.

Dari situlah PT PPI mengikat kerja sama dengan delapan perusahaan itu yang belakangan mendapat persetujuan impor dari Tom Lembong untuk mengimpor GKM. Sama seperti Inkop Kartika, para produsen gula ini sebatas mengolah GKM menjadi GKP, lalu menjualnya kepada PT PPI dengan harga Rp 9.000 per kilogram.

Selanjutnya, PT PPI mendistribusikan gula ke daerah yang mengalami kenaikan harga. “Kami hanya menjual gula sesuai dengan kesepakatan jual-beli dengan PPI,” tutur Sekretaris Perusahaan FKS Group Praja Darma.

Sebaliknya, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus menganggap tindakan Tom dan kongsi PT PPI dengan para produsen gula itu keliru. Penyidik menganggap gula yang diimpor seharusnya berbentuk gula kristal putih yang siap jual, bukan mentah. Jaksa menyatakan PT PPI seolah-olah membeli gula tersebut, padahal gula dijual oleh perusahaan swasta kepada masyarakat melalui distributor dengan harga Rp 16 ribu per kilogram. Harga ini lebih tinggi dari harga eceran tertinggi saat itu yang sebesar Rp 13 ribu per kilogram. Atas kebijakan ini, jaksa menyebut PT PPI mendapat fee dari delapan perusahaan yang mengimpor GKM sebesar Rp 105 per kilogram. 

Sekretaris Perusahaan PT Angels Products Benardi Dharmawan membantah tuduhan itu. “Tidak ada kesepakatan fee dari perjanjian kerja sama antara PT PPI dan delapan perusahaan produsen gula,” ujarnya.

Sama seperti FKS Group, PT Angels Products sedari awal hanya menerima harga pembelian Rp 9.000 per kilogram sesuai dengan kontrak dengan PT PPI. Perusahaan-perusahaan itu mengklaim tidak menjual gula langsung kepada masyarakat seperti tuduhan jaksa. Perkara jalur distribusi dan harga akhir ke konsumen sepenuhnya ada di tangan PT PPI.

Thomas Lembong saat menjadi Co-Captain Tim Nasional Pemenangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar di Jakarta, 9 Februari 2024./Antara/Agatha Olivia Victoria.

Tempo mengirimkan surat permohonan wawancara kepada Direktur Utama PT PPI Soegeng Hernowo. Surat itu tak direspons hingga Jumat, 8 November 2024. Namun di berbagai media massa Soegeng mengatakan perusahaan berjanji bersikap kooperatif atas proses hukum di Kejaksaan Agung.

Proses impor gula ini yang menjadi temuan dalam audit BPK. Auditor memang menemukan penerbitan persetujuan impor GKM tidak melalui rapat koordinasi. Tapi masalah ini berlangsung hingga semester I 2017. Saat itu kursi Menteri Perdagangan sudah beralih ke Enggartiasto Lukita sejak 27 Juli 2016. Tapi, berbeda dengan jaksa, BPK tidak menyimpulkan temuan itu sebagai kerugian negara.

Setelah delapan tahun berlalu, tim Jaksa Muda Tindak Pidana Khusus baru menerbitkan surat perintah penyidikan kasus korupsi impor gula pada 3 Oktober 2023. Ketika itu Tom Lembong sedang sibuk membantu pasangan calon presiden dan wakil presiden, Anies Rasyid Baswedan dan Muhaimin Iskandar, dalam pemilihan presiden 2024. Tom didapuk menjadi co-captain Tim Nasional Pemenangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar pada 14 November 2023.

Tom ditengarai sudah tahu mengenai surat perintah penyidikan yang diterbitkan Jampidsus. Pada Maret 2024, kepada Ari Yusuf Amir yang saat itu menjabat ketua tim hukum gugatan hasil pemilihan umum kubu Anies-Muhaimin ke Mahkamah Konstitusi, Tom meminta bantuan. “Pak Ari, nanti sewaktu-waktu saya minta bantu,” ujar Ari, menirukan ucapan Tom. Tapi Tom tak menjelaskan bantuan hukum yang dimaksud.

Belakangan, Ari memahami ternyata bantuan hukum yang tersebut menyangkut tuduhan korupsi impor gula oleh Kejaksaan Agung. Sebagai langkah awal mendampingi Tom, Ari mendaftarkan gugatan praperadilan untuk kliennya itu ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Selasa, 5 November 2024. “Kalaupun Tom mengambil kebijakan yang salah, ini bukan pidana. Ini ranah administrasi negara,” tutur Ari.

Setelah gugatan praperadilan itu diajukan, Kejaksaan Agung mulai irit bicara. Apalagi sejak sejumlah pihak mengatakan jerat hukum kepada Tom sarat muatan politik. Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Harli Siregar langsung membantah tudingan itu. “Ini murni penegakan hukum,” ucapnya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Moh. Khory Alfarizi dan Lani Diana berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Pidana di Musim Giling Tebu"

Fajar Pebrianto

Fajar Pebrianto

Meliput isu-isu hukum, korupsi, dan kriminal. Lulus dari Universitas Bakrie pada 2017. Sambil memimpin majalah kampus "Basmala", bergabung dengan Tempo sebagai wartawan magang pada 2015. Mengikuti Indo-Pacific Business Journalism and Training Forum 2019 di Thailand.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus