Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Indonesia digoyang dewan arbiter

Pemerintah ri dihukum ganti rugi sebesar 2,6 juta dolar as oleh badan arbitrase (icsid). dianggap tidak bisa melindungi investor asing, amco indonesia, dalam kasus pengelolaan hotel kartika plaza, jakarta.

23 Juni 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PEMERINTAH RI juga para konglome~rat di sini, agaknya kini harus benar-benar memberi perlindungan yang cukup baik kepada para penanam modal asing. Kalau tidak, bisa-bisa harus menanggung ganti rugi. Buktinya: badan arbitrase International Centrefor Settlement of Investment Dispute (ICSID) di Washington, 31 Mei lalu, mengharuskan Pemerintah RI membayar ganti rugi US$ 2,6 juta kepada perusahaan modal asing, PT Amco Indonesia, anak perusahaan joint venture Amco Asia Corp. (Hong Kong) dan Pan American Development Ltd. (USA). Menurut keputusanmajelis arbiter, yang diketuai Praf. Rosalyn Higgins, Indonesia dianggap secara sepihak "mendepak" Amco Indonesia dari kedudukan selaku pemodal dan pengelola Hotel Kartika Plaza di Jalan M.H. Thamrin 10, Jakarta Pusat, pada 1980. Selain itu, pemerintah Indonesia dipersalahkan karena mencabut izin usaha Amco Indonesia. Semula, Kartika Plaza, hotel berbintang empat dan berkamar 370 buah itu milik PT Wisma Kartika, anak perusahaan Induk Koperasi Angkatan Darat (Inkopad). Pada 1968, Wisma Kartika menandatangani kerja sama dengan Amco Asia, dan melahirkan Amco Indonesia. Waktu itu, Amco Asia setuju membangun Kartika Plaza dengan modal US$ 4 juta. Kemudian kedua pihak membuat perjanjian pembagian keuntungan dan kontrak manajemen Kartika Plaza. Amco Indonesia akan mengelola hotel itu, dan menyetorkan separuh keuntungan kepada Wisma Kartika. Tapi kerja sama itu, yang mestinya berakhir pada 1999, retak di tengah jalan. Kedua pihak bertikai soal keuntungan dan modal yang harus disetor. Puncaknya, pada Maret 1980, Wisma Kartika mengambil alih pengelolaan Kartika Plaza. Amco Indonesia dinilai pimpinan Wisma Kartika telah "salah urus" dan melakukan kecurangan keuangan. Tentu saja, Amco Indonesia tak bisa menerima "kudeta" itu. Perusahaan tersebut mengaku sudah menanam dana untuk Kartika Plaza hampir US$ 5 juta. Kecuali itu, Anlco Indonesia juga menyatakan bahwa mereka, sejak 1969, telah menyetorkan keuntungan kepada Wisma Kartika sebanyak Rp 400 juta. Begitu pula pembagian keuntungan untuk Wisma Kartika pada 1979, sebesar Rp 35 juta, sudah dibayarkan. Pada Juli 1980. Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencabut izin usaha Amco Indonesia. Karena mereka dinilai tidak memenuhi kewajiban permodalan. Perusahaan itu, yang seharusnya menanam modal US$ 4 juta, kenyataannya cuma menyetor sekitar US$ 1,4 juta. Buntut dari pengambilalihan pengelolaan Kartika Plaza itu akhirnya dimajukan ke meja hijau. Wisma Kartika menggugat Amco Indonesia di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Sampai tingkat kasasi (30 April 1985), Amco Indonesia masih tetap kalah, dan diharuskan membayar ganti rugi hampir Rp 800 juta. Pelaksanaan ganti rugi tersebut dikabarkan belum sampai dilaksanakan, karena Amco Indonesia, waktu itu, disebut-sebut sudah bubar. Betulkah? Pada 15 Januari 19~81, Amco Indonesia ternyata menggelar perkara itu di lembaga arbitrase ICSID. Mereka menuntut pemerintah RI membayar ganti rugi US$ 12 juta -- berdasarkan kurs masa itu sekitar Rp 15 milyar. Penggugatan terhadap pemerintah RI sesuai dengan Undang-undang No 5 tahun 1968, tentang penanaman modal asing, yang meratifikasi Konvensi Washington. Setelah hampir tiga tahun di persidangan, dewan arbiter akhirnya menghukum Indonesia untuk membayar ganti rugi US$ 3,2 juta pada 19 November 1984. Pemerintah Indonesia, melalui Pengacara Prof. Sudargo Gautama dan Kantor Pengacara White & Case di Washington, menyatakan banding atas keputusan dewan arbiter tersebut. Pada 16 Mei 1986 keputusan membayar ganti rugi kepada Amco Indonesia itu dibatalkan pengadilan. Kendati demikian, pem~erintah RI - dalam hal in~i diwakili Departemen Keuangan -- konon sudah telanjur mengeluarkan biaya sekitar US$ 4 juta~ untuk meladeni arbitrase~~ itu. Uang tersebut antara lain ~untuk on~kos arbiter, para saksi, dan biaya persidangannya, yang berpindah-pindah dari Washington, Paris, Kopenhagen, dan Wina. Merasa dirugikan oleh keputusan itu, Amco Indonesia kembali menggelar gugatan di ICSID. Pada 31 Mei 1990, majelis arbiter -- yang dipimpin H~iggins, guru besar pada London School of Economics -- menghukum Indonesia~ untuk membanyar ~~~ganti rugi US$ 2,6 juta plus bunga 6% per tahun terhitung sejak keputusann dewan arbiter diucapkan. Angka ganti rugi itu, menurut n~ajelis arbiter, merupakan keuntungan yang bisa diperoleh Amco Indonesia sampai 15~99 seandainya mereka tak didepak. Menulut pengacara kantor pusat Amco di New York, Robert H~ornick, pemerintah Indonesia sepatutnya m~enaati keputusan itu. Sebab, tambahnya, selain pihaknya sudah menunggu lama sekali, ganti rugi itu juga praktis lebih kecil ketimbang keputusan pertama IC~SID. "Kami berharap, pemerintah Indonesia bisa mengakui keputusan itu dalam waktu dekat ini," kata Hornick. Menurut bos Amco Kanada. Tan Tjin Kan, kelahiran Indonesia, pemerintah RI sebagai anggota Bank ~Dunia selayaknya menghormati keputusan itu. Ia menambahkan bahwa Amco kecewa dengan ganti rugi yang ditetapkan dewan arbitrase. Karena ongkos ~yang mereka keluarkan untuk kasus itu sebesar US$ 1,5 juta. Di Jakarta, sampai pekan lalu, Direktur Utama Wisma Kartika BrigJen. Suratman Hadi men~gaku belum mengetahui ~~keputusan itu. Kuasa hukum Wisma Kartika, Anis Idham, menambahkan bahwa pihaknya sama sekali tak ada kaitan lagi dengan Amco Indonesia dalam sengketa arbitrase itu. Menurut Anis, justru yang menjadi masalah sekarang tak kunjung bisa dieksekusinya kemenangan Wisma Kartika di pengadilan kita, karena Amco Indone~si~a sudah tak ada lagi. Sementara itu, Kepala Bidang Hukum dan Humas Departemen Keuangan Ba~celius Ruru menyatakan bahwa instansin~ya kini masih mengkaji keputusan dewa arbiter tersebut. "Soalnya bukan murah tidaknya ganti rugi itu. Tapi, apakah keputusan itu wajar? Dan, yang penting, bagaimana menjaga kehormatan pemerintah RI~" kata Ruru. Happy Sulistyadi, Yudhi SOerjoatmodjo (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus