Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Perma penuntas ganjalan

Perma no.1 memutuskan bahwa permohonan eksekusi keputusan arbitrase asing bisa dilakukan di indonesia. hanya berlaku untuk bidang hukum dagang. sebuah prestise di lingkungan internasional.

23 Juni 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DIAM-diam Mahkamah Agung (MA) telah menuntaskan masalah tata cara pelaksanaan keputusan arbitrase asing, yang selama bertahun-tahun selalu mengganjal. Melalui Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 1/1990, badan tertinggi peradilan itu memutuskan bahwa permohonan eksekusi keputusan arbitrase asing kini bisa dilakukan setelah didaftarkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, untuk kemudian memperoleh persetujuan (exequatur) dari MA. "Sebagai lembaga yang memberikan exequatur, MA nanti akan menyaring: Apakah pelaksanaan keputusan arbitrase asing itu bertentangan atau tidak dengan ketertiban umum," kata Wakil Ketua MA, Purwoto Gandasubrata. Dalam Perma No. 1 itu, yang sampai pekan ini jadi pembicaraan hangat di kalangan praktisi hukum, juga ditegaskan hanya keputusan arbitrase asing di bidang hukum dagang saja yang bisa dieksekusi di sini. Kelahiran Perma pertama tahun 1990 itu boleh dibilang memberikan angin segar bagi perkembangan hukum perdata Indonesia -- sekaligus merupakan prestise Indonesia di lingkungan internasional. Pasalnya, selama bertahun-tahun pihak internasional sering mengkritik Indonesia sebagai negara yang bersikap international wrong, karena tak kunjung melaksanakan berbagai keputusan arbitrase di luar negeri. Padahal, sejak Keppres No. 34/1981, yang meratifikasi Konvensi New York 1958, Indonesia sudah mengakui dan mengesahkan pelaksanaan keputusan arbitrase asing. Tapi konvensi ini menjabarkan bahwa pelaksanaannya menurut hukum acara yang berlaku di negara masing-masing. Belakangan, soal itu jadi polemik berkepanjangan. Beberapa pengamat menganggap Konvensi New York 1958 itu belum cukup jelas: Apakah eksekusi itu harus diajukan ke pengadilan negeri atau ke MA? Pengacara kawakan Prof. Sudargo Gautama berpendapat, keputusan arbitrase asing sudah bisa diberlakukan dan dilaksanakan (self executing) menurut hukum acara perdata sebagaimana eksekusi vonis perkara perdata. Tapi pengadilan menyatakan bahwa harus ada dulu peraturan pelaksanaan untuk memastikan soal tersebut. Sikap ini tercermin lewat keputusan MA, 29 November 1984, dalam perkara kelebihan waktu sewa kapal antara PT Nizwar (Indonesia) dan Navigation Maritime Bulgare (NBG). Semula, dewan arbitrase di London menghukum Nizwar membayar ganti rugi sekitar US$ 73.000, dan ternyata keputusan tersebut tak dilaksanakan. Sikap penolakan tersebut menimbulkan reaksi keras di lingkungan internasional. Kecaman itu kembali terungkap dalam Kon~erensi ke-5 ASEAN Law Acsociati~on (ALA) di Denpasar, Desember silam. Tak heran bila di kalangan pengusaha asing timbul keragu-raguan terhadap Indonesia atas manfaat membuat perjanjian dagang maupun soal penanaman modal asing. Padahal, selama ini mereka sering mencantumkan klausula arbitrase menurut ketentuan ICC Paris, ICSID, atau konvensi UNCITRAL. Munculnya Perma No. 1, yang berlaku sejak 1 Maret lalu, kesimpang-siuran selama ini terjawab sudah. "Perma ini membuka lembaran baru setelah begitu lama kita ra~u-ra~u," ujar H.J.R. Abubakar, Wakil Ketua BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia). "Sebaiknya pemerintah membuat juga black list pengusaha yang tak mau menaati keputusan arbitrase asing." Pengacara Hotman Paris Hutapea menganggap Perma No. 1 itu masih belum tuntas. Masih diperlukan semacam Perma lagi untuk memperjelas batasan "ketertiban umum", tata cara pengiriman dokumen hukum, dan pemanggilan tergugat WNI di forum arbitrase luar negeri. "Supaya lubang itu jangan dijadikan dalih untuk mengulur-ulur atau membatalkan eksekusi," katanya. Alasan seperti itu, lanjut Hotman, pernah terjadi dalam kasus PT Bakrie & Brothers melawan Trading Corporation of Pakistan (TCP) Ltd. Semula, arbitrase di London menghukum Bakrie untuk membayar sejumlah ganti rugi kepada TCP. Tapi sewaktu eksekusi keputusan itu diajukan dua tahun lalu, MA menolaknya. Pertimbangannya, ya, soal prosedur teknis pemanggilan itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus