Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Intervensi Dini bagi Autisme

Terapi ABA saat ini dianggap yang terbaik untuk mengatasi autisme. Dengan intervensi sejak dini, penyandang autisme bisa tertolong. Ada yang berhasil mendapat gelar doktor.

18 Juli 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

APAKAH anak Anda tertarik kepada anak-anak lain? Apakah mereka juga suka seolah-olah melakukan sesuatu, misalnya membuat teh, dengan menggunakan cangkir dan teko mainan? Atau sering menunjuk-nunjuk sesuatu untuk menyatakan ketertarikannya terhadap sesuatu? Senang bermain cilukba atau petak umpet? Atau mereka sering membawa dan memperlihatkan barang kepada Anda? Jika dua atau lebih jawabannya tidak, patut dicurigai anak Anda menderita autisme. Autisme adalah suatu jenis gangguan perkembangan pada anak yang mengakibatkan anak tidak mampu berkomunikasi, tidak dapat mengekspresikan perasaan dan keinginannya, sehingga perilaku dan hubungannya dengan orang lain terganggu. Anak seakan-akan hidup dalam dunianya sendiri. Dibandingkan dengan sepuluh tahun lalu, jumlah penderita autisme sekarang makin meningkat. Dulu cuma 2-4 di antara 10 ribu anak, sedangkan sekarang meningkat menjadi 15-20. Seandainya peningkatan seperti ini terus berlangsung, setiap tahun diperkirakan bakal lahir 6.900 anak autistik di Indonesia. Sekarang saja diperkirakan terdapat 400 ribu penyandang autisme. Memprihatinkan. Apalagi masih banyak profesional yang belum bisa mengenali gangguan tersebut sejak dini dan mendiagnosisnya. Akibatnya, sering terjadi kesalahan diagnosis yang membuat salah pengobatan dan kekeliruan dalam pemberian terapi. Berangkat dari keprihatinan itulah pekan lalu Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menggelar seminar "Autisme Masa Anak", di Solo, Jawa Tengah. Seminar itu diselenggarakan dalam pertemuan ilmiah dua tahunan IDAI. Tampil sebagai pembicara antara lain Ika Widyawati, psikiater anak di Bagian Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, dan Rudy Sutadi, Direktur Program Klinik Intervensi Dini (KID) Autis Jakarta Medical Center. Autisme, kata Ika, bisa terjadi pada siapa saja tanpa mengenal ras, etnis, tingkat sosial ekonomi, dan tingkat pendidikan. Para ahli menduga, autisme merupakan gangguan yang timbul karena faktor genetis. Jadi, ada gen tertentu yang mencetuskan kelainan ini yang muncul akibat kerusakan khas pada sistem limbik (pusat emosi), yakni pada bagian otak yang disebut hipokampus dan amigdala. Amigdala bertugas mengendalikan fungsi emosi dan agresi seseorang. Karena bagian itu terganggu, penyandang autisme umumnya tidak dapat mengendalikan emosinya. Mereka acap agresif terhadap orang lain ataupun dirinya sendiri, atau sebaliknya sangat pasif seolah-olah tidak memiliki emosi. Bagian ini sangat peka terhadap rangsangan sensoris, seperti suara, sinar, dan bau. Amigdala juga peka terhadap emosi yang berhubungan dengan rasa takut. Sedangkan bagian hipokampus bertanggung jawab mengelola fungsi belajar dan daya ingat. Kerusakan pada bagian ini menyebabkan seseorang kesulitan menyerap dan mengingat informasi baru. Sebagai sebuah gangguan perkembangan anak, autisme merupakan masalah yang kompleks dan berat. Karena itu, perlu dilakukan intervensi sedini mungkin serta terapi yang tepat dan terpadu. "Intervensi setidaknya harus sudah dilakukan sebelum anak berusia tiga tahun. Sebab, pada tiga tahun pertama, perkembangan otak mencapai 70 persen," kata Ika. Setiap kerusakan sel otak sebenarnya tak dapat disembuhkan dalam pengertian sehat atau normal. Namun, bila otak anak yang sedang berkembang diberi rangsangan sedini mungkin secara intensif dan terpadu, fungsi sel yang rusak bisa diambil alih oleh sel otak yang lain. Hasilnya tentu tak sempurna. Karena itu, anak autistik dikatakan sembuh bila telah keluar dari dunianya sendiri, bisa membaur dan mandiri dalam masyarakat. Menurut Rudy, kalau dilakukan intervensi dini dengan terapi 40 jam seminggu, penelitian yang ada menunjukkan bahwa 47 persen hasilnya baik sekali—fungsi kognitifnya normal—sedangkan sebanyak 42 persen mengalami kemajuan tapi tidak bisa bersekolah di sekolah reguler. "Dia bisa saja sangat pintar, menjadi ahli komputer, tapi dia menarik diri dari lingkungan," kata Rudy kepada Yayi Ichram dari TEMPO. Sementara itu, sisanya, 11 persen, hanya sedikit mengalami kemajuan. Terapi untuk autisme yang dianggap paling bagus, baik menurut Rudy maupun Ika, adalah applied behavior analysis (ABA). Kelebihan terapi ini dibandingkan dengan banyak terapi lain adalah penanganannya sistematis (programnya tersusun dari yang paling dasar hingga tingkat lanjut), terstruktur (ada proses menentukan cara pengajaran), terukur, serta didukung penelitian dan pengalaman puluhan tahun. Urut-urutan terapi dalam ABA bisa dibolak-balik, tergantung kondisi setiap anak. Intinya terdiri atas terapi wicara, okupasional (contohnya mengajari anak memegang pulpen), dan medikamentosa (menggunakan obat-obatan). Anak yang bermasalah dengan pendengarannya, misalnya, akan lebih baik bila diberi terapi auditori lebih dulu. Sedangkan anak yang hiperaktif lebih cocok diberi obat-obatan dulu, baru disusul terapi lain. Dengan intervensi dini yang intensif, Rudy yakin, autisme kini bukan lagi sesuatu yang absolut. Penyandang autisme bisa mencapai taraf sembuh. Dan bahkan, ketika berhasil berbaur di masyarakat, ia seolah tidak lagi mempunyai gejala sisa karena bisa menguasainya sehingga tak terlihat orang lain. Gejala sisa itu sendiri pasti masih ada. Ingat film Rainman? Dalam film itu, ada adegan Dustin Hoffman, yang memerankan penyandang autisme, yang tengah menyeberang, secara spontan tiba-tiba berhenti di tengah jalan karena lampu bertuliskan "don't walk " menyala di depannya. Orang yang normal pasti akan berjalan bergegas menyeberangi jalan. Menurut Rudy, gejala sisa itu bentuknya macam-macam. Penderita bisa terfiksasi dengan sesuatu. Rudy menunjuk contoh dari dunia nyata. Adalah Temple Gramblin, penyandang autisme dari Amerika Serikat yang berhasil memperoleh gelar Ph.D. Gramblin terfiksasi pada sesuatu—orang lain tidak akan tahu kalau tidak diberi tahu—sehingga ke mana pun ia pergi, ia senang mengenakan pakaian koboi lengkap dengan sepatu boot-nya yang khas. Keberhasilan semacam itu membutuhkan campur tangan orang tua, yang harus menerima kenyataan bahwa anaknya menyandang autisme. Orang tua pulalah yang harus tegas memutuskan metode yang dijalankan. Soalnya, pemilihan terapi tidak bisa coba-coba. Sekali memilih satu metode terapi, orang tua harus berkomitmen menjalankan metode itu sampai akhir. Wicaksono, R. Fadjri (Yogyakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus