Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SINYAL Komisi Pemberantasan Korupsi bakal segera mengumumkan tersangka baru kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia dilontarkan salah satu komisionernya, Alexander Marwata, pada Selasa, 28 Mei lalu. Menurut Alex—begitu Alexander Marwata biasa disapa—komisi antikorupsi sudah meningkatkan status penyelidikan kasus BLBI ke penyidikan. “Sudah naik. Nanti diumumkan,” ujar mantan hakim ad hoc korupsi tersebut di kantornya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seperti lazimnya penanganan perkara di KPK, status dimulainya penyidikan satu paket dengan penetapan tersangka. Sejak September 2018, KPK secara khusus menyelidiki keterlibatan bekas pemilik Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI), Sjamsul Nursalim, dan istrinya, Itjih S. Nursalim, dalam perkara dugaan korupsi penerbitan surat keterangan lunas BLBI. Alex, Wakil Ketua KPK, membenarkan info bahwa kasus yang naik ke penyidikan tersebut berkaitan dengan Sjamsul dan istrinya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mengusut perkara BLBI sejak 2008, lembaga antirasuah baru menyeret bekas Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Syafruddin Arsyad Temenggung, ke kursi pesakitan. KPK mengalungkan status tersangka kepada Syafruddin pada akhir April 2017. Tujuh belas bulan kemudian, ketika perkaranya diadili Pengadilan Korupsi Jakarta, Syafruddin divonis 13 tahun penjara. Pengadilan Tinggi Jakarta memperberat hukumannya menjadi 15 tahun penjara pada awal Januari lalu. Syafruddin kemudian mengajukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung.
Mengacu pada surat keterangan lunas Sjamsul yang diterbitkan pada 26 April 2004, jangka waktu kedaluwarsa maksimal perkara ini, sesuai dengan Pasal 78 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, adalah 18 tahun atau jatuh pada 2022. Selain Sjamsul, ada 21 obligor BLBI yang mendapat surat keterangan lunas pada 2003-2004. Adapun masa kedaluwarsa maksimal kasus pengucuran dan penyaluran BLBI kepada 48 bank jatuh pada Februari 2017.
Dalam putusan Syafruddin, nama Sjamsul dan Itjih disebut bersama-sama terdakwa melakukan korupsi yang merugikan negara Rp 4,58 triliun. Putusan menyebutkan perbuatan Kepala BPPN 2002-2004 itu menguntungkan Sjamsul karena menghapuskan utang BDNI ke petambak udang Dipasena di Lampung dan menerbitkan surat pemenuhan kewajiban, padahal sang taipan belum melunasi utangnya. Nama lain yang disebut turut serta dalam putusan Syafruddin adalah bekas Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan, Dorodjatun Kuntjoro-Jakti.
Putusan Syafruddin menjadi amunisi KPK untuk penyelidikan kasus Sjamsul dan Itjih. Tim KPK juga sudah meminta keterangan setidaknya 37 saksi. Penyelidikan ini mengacu pada hasil audit investigasi Badan Pemeriksa Keuangan yang terbit pada 25 Agustus 2017. Hasil audit menyebutkan ada kerugian negara Rp 4,58 triliun akibat penerbitan surat keterangan lunas untuk Sjamsul. Selama penyelidikan, tim KPK sudah dua kali melayangkan surat panggilan pemeriksaan Sjamsul dan istrinya, tapi mereka tak pernah datang.
Sejak Mei 2002, Sjamsul dan istrinya tinggal di Singapura. Selain ke alamat rumah dan kantor Sjamsul di Singapura, tim KPK mengantarkan langsung surat panggilan pemeriksaan bos Gajah Tunggal, produsen ban, itu ke alamat rumah dan perusahaannya di Jakarta.
Februari lalu, pimpinan dan satuan tugas kasus BLBI melakukan gelar perkara. Mereka bersepakat sudah ada dua bukti permulaan yang cukup untuk menetapkan Sjamsul dan Itjih sebagai tersangka. “Gelar perkara memutuskan keduanya akan dipanggil sekali lagi untuk pemeriksaan,” ujar seorang petinggi KPK. ”Penetapan tersangka setelah panggilan pemeriksaan itu. Hadir atau tidak hadir.”
Karena Sjamsul dan istrinya kembali tak memenuhi panggilan pemeriksaan, KPK memutuskan menggunakan Pasal 38 ayat 1 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ketentuan ini mengatur bahwa seseorang bisa diseret ke pengadilan secara in absentia jika tak pernah memenuhi panggilan tanpa alasan yang jelas. “Ini dimungkinkan dalam hukum acara. Kami juga sudah minta pendapat ahli,” kata Alex tanpa bersedia menyebut ahli hukum yang diundang lembaganya.
Pada Senin, 13 Mei lalu, pimpinan KPK meneken surat perintah penyidikan Sjamsul dan istrinya. Sampai pekan lalu, KPK belum mengumumkan peningkatan status hukum orang terkaya Indonesia ke-36 versi majalah Forbes pada 2018 tersebut dan sang istri. “Nanti diumumkan. Tunggu saja,” ujar Saut Situmorang, Wakil Ketua KPK.
Senyampang melakukan penyidikan terhadap Sjamsul dan istrinya, KPK akan memburu aset sang konglomerat dalam rangka penggantian kerugian negara. Unit Pelacakan Aset, Pengelolaan Barang Bukti, dan Eksekusi KPK sudah melacak aset pria yang kini berusia 77 tahun itu di dalam dan luar negeri. “Ini untuk mengganti kerugian negara,” kata Alexander Marwata.
Pengacara Sjamsul, Maqdir Ismail, mengaku belum mengetahui penetapan tersangka kedua kliennya tersebut. Menurut Maqdir, urusan dana talangan Sjamsul seharusnya sudah selesai saat diterbitkannya surat keterangan lunas. “Semestinya sudah tidak ada lagi kasus hukum,” ujarnya.
Melalui pengacaranya yang lain, Otto Hasibuan, Sjamsul menggugat hasil audit investigasi BPK yang menyatakan pemberian surat keterangan lunas untuk dia merugikan negara Rp 4,58 triliun. Gugatan ini diajukan ke Pengadilan Negeri Tangerang pada Februari lalu. Tuntutannya adalah hakim memutuskan hasil audit BPK itu tidak sah. “Sidangnya masih berlangsung,” ujar Otto, awal Juni lalu.
•••
NAMA Sjamsul Nursalim sesungguhnya sudah diusulkan penyidik sebagai tersangka pada pertengahan 2015 atau dua pekan sebelum masa kerja pimpinan KPK periode ketiga berakhir. Usul penetapan tersangka Sjamsul satu paket dengan Syafruddin Temenggung. Penyidik menyampaikan usul tersebut dalam gelar perkara yang dipimpin pelaksana tugas Ketua KPK, Taufiequrachman Ruki—menggantikan Abraham Samad, yang mundur lantaran kasus kriminalisasi di kepolisian.
Gelar perkara menyepakati bulat keduanya tersangka. Karena usia tugas pimpinan tinggal sehari, Ruki cs belum sempat meneken surat perintah penyidikan keduanya. Menurut salah satu pelaksana tugas pemimpin KPK ketika itu, Johan Budi, perkara BLBI masuk daftar prioritas untuk dituntaskan. “Dalam gelar itu, kami sepakat menuntaskan sejumlah kasus lawas, termasuk BLBI,” ujar Johan.
Satu pekan setelah pimpinan baru dilantik, yang diketuai Agus Rahardjo, penyidik kembali mengusulkan penetapan Syafruddin dan Sjamsul sebagai tersangka. Tapi pimpinan ketika itu meminta waktu untuk mempelajari kasus tersebut sebelum menyetujuinya.
Pada akhir 2016, penyidik kembali mengusulkan penetapan dua orang itu sebagai tersangka dalam gelar perkara yang dihadiri lima pemimpin KPK. “Tapi lagi-lagi komisioner dan pemimpin lain meminta waktu untuk mempelajari kasus itu,” ujar seorang penegak hukum. “Mereka bilang kasusnya rumit.”
Baru pada Maret 2017, pimpinan memberikan lampu hijau. Tapi hanya namaSyfruddin yang disetujui kasusnya naik ke penyidikan dan dijadikan tersangka. Pada 25 April 2017, Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan mengumumkan penetapan Syafruddin sebagai tersangka. Adapun untuk Sjamsul, pimpinan meminta penyidik memeriksanya agar tak terhambat oleh putusan Mahkamah Konstitusi pada 2015 yang mewajibkan pemeriksaan kepada calon tersangka.
Ketika itu, KPK menyatakan setidaknya tiga kali melayangkan surat panggilan ke kediaman Sjamsul di Singapura dan Jakarta. Penyidik KPK juga sudah meminta bantuan Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB) atau KPK Singapura, tapi hasilnya tetap nihil.
Nasib Sjamsul kembali dibahas pimpinan dan tim satuan tugas menjelang vonis Syafruddin pada Agustus 2018. Dalam gelar perkara, ada penyidik dan pemimpin yang ngotot bahwa Sjamsul bisa menjadi tersangka tanpa perlu diperiksa karena KPK sudah tiga kali memanggilnya. “Kelompok ini meminta penyidikan dilakukan secara in absentia,” kata seorang peserta rapat.
Sebagian peserta gelar perkara berpendapat proses penyelidikan Sjamsul harus diulang dan penyidik diberi kesempatan kembali memanggilnya untuk diperiksa. “Opsi penyelidikan ulang ini yang dipilih,” ujarnya. Ketua KPK Agus Rahardjo tidak menampik adanya tarik-ulur pembahasan nasib Sjamsul. “Ini karena kami harus hati-hati,” katanya.
Selain memeriksa saksi, menurut juru bicara KPK, Febri Diansyah, penyelidikan ini mempertimbangkan sejumlah keterangan saksi dan fakta di persidangan Syafruddin. Terutama fakta persidangan yang menguatkan dugaan keterlibatan Sjamsul dan istrinya. “Termasuk pertimbangan hakim dalam putusan Syafruddin,” ujar Febri.
Salah satu saksi yang menguatkan keterlibatan Sjamsul dan Itjih adalah Mohammad Syahrial. Saat bersaksi di persidangan Syafruddin, bekas Deputi Aset Manajemen BPPN itu mengungkap peran Itjih dalam dua rapat di kantor BPPN pada Oktober 2003. Dua rapat itu khusus membahas nasib penyelesaian utang Rp 4,8 triliun petambak Dipasena kepada BDNI. Aset ini diserahkan ke BPPN sebagai bagian pemenuhan kewajiban Sjamsul.
Saat meneken master of settlement and acquisition agreement (MSAA) atau perjanjian penyelesaian BLBI dengan BPPN pada September 1998, Sjamsul membuat pernyataan bahwa utang petambak itu lancar. Ketika itu, ia bersama BPPN menyepakati jumlah kewajiban setelah bank ini dinyatakan sebagai bank beku operasi. Total kewajibannya Rp 47,25 triliun. Setelah dikurangi asetnya, BDNI memiliki kewajiban Rp 28,4 triliun. Sjamsul menutup sisa kewajibannya itu dengan membayar Rp 1 triliun, sementara selebihnya diselesaikan dengan penyerahan aset Grup Gajah Tunggal dan tambak Dipasena.
Setelah dilakukan audit keuangan dan keabsahan hukum oleh sebuah kantor akuntan publik dan satu kantor hukum, BPPN mendapat informasi bahwa Sjamsul tidak mengungkapkan kondisi sebenarnya (misrepresentasi) utang petambak ke BDNI yang dijamin PT Dipasena Citra Darmaja dan PT Wachyuni Mandira—dua perusahaan Sjamsul—yang ternyata kredit macet.
Dalam dua rapat di kantor BPPN, menurut Syahrial, Itjih menyampaikan bahwa suaminya tidak pernah memberikan pernyataan tak benar atas utang petambak. Belakangan diketahui dalam dua rapat ini Syafruddin memutuskan utang petani tambak Dipasena dianggap aset lancar sehingga Sjamsul tidak perlu menambah aset. Setelah menganggap tidak ada masalah pada utang petambak, Syafruddin meneken surat keterangan lunas untuk Sjamsul atas kewajibannya sebagai obligor BLBI.
Pengacara Syafruddin, Hasbullah, membenarkan adanya rapat yang dihadiri istri Sjamsul. Menurut dia, rapat itu pertemuan resmi dalam rangka financial due diligence utang petani tambak. “Hasilnya disimpulkan tidak ada misrepresentasi karena sudah diungkapkan di MSAA,” ujarnya.
Maqdir Ismail mengatakan kliennya tidak mengingat lagi pertemuan tersebut karena peristiwanya sudah lama. “Karena waktunya sudah cukup lama dan banyak pertemuan, klien kami tentu tidak bisa mengingat setiap pembicaraan dan pertemuan,” tuturnya. Maqdir juga mengatakan, kalaupun Itjih hadir, ia mendapat kuasa dari Sjamsul.
LINDA TRIANITA, ANTON APRIANTO, M. ROSSENO AJI
Tersudut Audit Investigasi
SJAMSUL Nursalim dan istrinya menjadi tersangka karena diduga melaporkan piutang pada petani petambak Dipasena di Lampung sebesar Rp 4,8 triliun sebagai aset lancar. Menurut hasil audit investigasi Badan Pemeriksa Keuangan, piutang pembayaran kewajiban Bantuan Likuiditas Bank Indonesia tersebut macet.
1997-1998
Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) milik Sjamsul Nursalim menerima dana BLBI Rp 30,9 triliun.
14 Februari 1998
Bank Indonesia menyerahkan pembinaan dan pengawasan BDNI kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional.
Awal September 1998
BPPN bernegosiasi dengan Sjamsul Nursalim. Disepakati, jumlah kewajiban Rp 47,25 triliun dikurangi jumlah aset Rp 18,85 triliun, sehingga jumlah kewajiban akhirnya Rp 28,4 triliun.
Jumlah Kewajiban
BLBI Rp 30,9 triliun
Simpanan nasabah dan utang Rp 7,066 triliun
Utang kredit likuiditas Bank Indonesia Rp 4,7 triliun
L/C dan utang lain Rp 4,59 triliun
Jumlah kewajiban Rp 47,256 triliun
Kas dan ekuivalen kas Rp 1,3 triliun
Pinjaman kepada petani Rp 4,8 triliun
Aktiva tetap, investasi, dan lain-lain Rp 4,6 triliun
Pinjaman pihak ketiga Rp 8,15 triliun
Jumlah aktiva Rp 18,85 triliun
Jumlah kewajiban pemegang saham Rp 28,408 triliun
21 September 1998
Sjamsul Nursalim sebagai pemilik BDNI meneken master of settlement and acquisition agreement. Disepakati, Sjamsul akan melunasi kewajibannya dengan pembayaran Rp 1 triliun dan penyerahan aset Rp 27,4 triliun.
Aset
PT GT Petrochem Industries Tbk Rp 3,8 triliun
PT Filamendo Sakti Rp 963 miliar
PT Sentra Sintetikajaya Rp 584 miliar
PT Gajah Tunggal Tbk Rp 1,95 triliun
PT Meshindo Alloy Wheel Rp 164,3 miliar
PT Langgeng Bajapratama Rp 58,8 miliar
PT Dipasena Citra Darmaja Tbk Rp 19,96 triliun
Total Rp 27,4 triliun
10 Agustus 1999
BPPN menemukan Sjamsul Nursalim melakukan misrepresentasi dengan menyatakan piutang kepada petani petambak Rp 4,8 triliun, bagian dari Rp 18,85 triliun aktiva perusahaan, sebagai aset lancar. Kenyataannya, piutang macet.
22 April 2002
Syafruddin Arsyad Temenggung menjadi Kepala BPPN.
Mei 2002
Sjamsul Nursalim, yang kala itu berstatus tersangka dugaan korupsi fasilitas diskonto untuk pengajuan BLBI senilai Rp 10,1 triliun di Kejaksaan Agung, terbang ke luar negeri. Kini ia tinggal di Singapura.
Desember 2002
Presiden Megawati Soekarnoputri menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002 tentang kepastian hukum bagi obligor BLBI yang sudah melunasi kewajibannya. BDNI masuk daftar 20 bank calon penerima surat keterangan lunas.
29 Oktober 2003
Rapat kesekian BPPN yang dipimpin Syafruddin Temenggung di kantor BPPN dengan Itjih S. Nursalim, istri Sjamsul. Syafruddin, setelah mendengarkan penjelasan Itjih, memutuskan Sjamsul tidak melakukan misrepresentasi.
26 April 2004
Kepala BPPN Syafruddin Temenggung mengeluarkan surat keterangan lunas Sjamsul Nursalim. Surat itu menyatakan Sjamsul telah menyelesaikan kewajiban Rp 28,4 triliun.
25 Agustus 2017
BPK merampungkan audit investigasi surat keterangan lunas untuk Sjamsul. Hasilnya, ditemukan kerugian negara Rp 4,58 triliun.
Nilai piutang BDNI kepada petambak Rp 4,8 triliun
Hasil penjualan piutang itu pada 2007 Rp 220 miliar
Kerugian negara Rp 4,58 triliun
LINDA TRIANITA, ANTON A. SUMBER: WAWANCARA, PDAT
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo