Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SURAT perintah penyidikan untuk Sjamsul Nursalim menjadi dasar hukum bagi tim Unit Pelacakan Aset, Pengelolaan Barang Bukti, dan Eksekusi Komisi Pemberantasan Korupsi buat memulai penelusuran aset sang konglomerat. Hasil pelacakan kelak menjadi pedoman KPK dalam memetakan aset yang bisa dirampas negara dalam kasus dugaan korupsi penerbitan surat keterangan lunas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia yang menjerat Sjamsul. “Sudah berjalan pelacakannya,” ujar Wakil Ketua KPK Alexander Marwata, Selasa, 28 Mei lalu.
Menyiapkan skenario peradilan in absentia atau tanpa kehadiran terdakwa, komisi antikorupsi berharap hakim pengadilan bisa menetapkan perampasan aset Sjamsul untuk mengembalikan keuangan negara. Opsi peradilan ini disiapkan karena, selama pengusutan kasus BLBI oleh KPK, pria dengan nama asli Liem Tek Siong itu tak pernah memenuhi panggilan pemeriksaan. “Prioritasnya aset di Indonesia,” ujar Alexander.
Sejumlah obligor BLBI berstatus buron Kejaksaan Agung pernah diadili in absentia. Salah satunya pemilik Bank Harapan Sentosa, Hendra Rahardja, pada 2002. Selain menjatuhkan vonis penjara seumur hidup, pengadilan menghukum Hendra mengganti kerugian negara Rp 1,95 triliun. Sebelum sidang digelar, Kejaksaan mendata dan melacak 232 item aset Hendra di Jakarta dan luar negeri, yang sebagian berupa tanah dan bangunan. Setelah putusannya berkekuatan hukum tetap, Kejaksaan merampas aset tersebut.
Adapun untuk kasus Sjamsul, angka kerugian negara yang dipegang KPK merupakan hasil audit investigasi Badan Pemeriksa Keuangan pada Agustus 2017, senilai Rp 4,58 triliun. Angka ini dikuatkan putusan bekas Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional, Syafruddin Arsyad Temenggung, yang belakangan divonis 15 tahun di tingkat banding. Kerugian itu dihitung dari nilai piutang Bank Dagang Nasional Indonesia (BLBI) milik Sjamsul pada petambak udang Dipasena, Lampung, yang belakangan dianggap macet.
Menurut neraca penutupan BDNI yang disusun Badan Penyehatan Perbankan Nasional pada 1998, Sjamsul sebagai pemegang saham pengendali BDNI memiliki kewajiban BLBI Rp 30,9 triliun. Ada juga kewajiban kepada nasabah dan utang lain, sehingga totalnya Rp 47,25 triliun. Ia kemudian menyetujui skema pembayaran dengan menyerahkan aset bank tersebut. Tapi, setelah dihitung BPPN, termasuk piutang petambak udang Dipasena, nilainya hanya Rp 18,85 triliun.
Pada September 1998, Sjamsul meneken master of settlement and acquisition agreement dan menyepakati akan melunasi kewajibannya dengan pembayaran Rp 1 triliun dan penyerahan aset Rp 27,4 triliun. Penyerahan aset itu berupa tujuh grup perusahaannya. Dua di antaranya PT Gajah Tunggal Tbk, senilai Rp 1,95 triliun, dan PT GT Petrochem Industries Tbk, senilai Rp 3,8 triliun.
Aset tersebut menjadi sasaran prioritas KPK. Dalam persidangan Syafruddin pada 30 Juli 2018, penuntut KPK sempat meminta konfirmasi penyerahan aset ini kepada Wakil Presiden Direktur PT Gajah Tunggal Tbk Budhi Santoso Tanasaleh. Budhi membenarkannya. Melalui perusahaan yang berbasis di Singapura, Sjamsul kemudian membeli lagi saham Gajah Tunggal.
Gajah Tunggal merupakan produsen ban yang berdiri sejak 1951. Bisnis ini dirintis ayah Sjamsul. Perusahaan itu kini memproduksi 30 persen ban di pasar Afrika, Asia Tenggara, dan Timur Tengah. Menurut laporan perusahaan tersebut, salah satu pemegang saham Gajah Tunggal adalah Denham Pte Ltd, perusahaan Singapura. Denham merupakan anak usaha Giti Tire, yang disebut-sebut milik Sjamsul. Di kalangan pengusaha, Sjamsul kerap disebut “Raja Ban”.
Presiden Direktur PT Gajah Tunggal Sjamsul Nursalim di pabrik ban Gajah Tunggal, Tangerang, 1987.
Sjamsul dan istrinya, Itjih, 75 tahun, mengendalikan kerajaan bisnisnya dari Singapura. Sjamsul menetap di Singapura sejak Mei 2002. Kala itu, dia tersangka dugaan korupsi fasilitas diskonto pengajuan BLBI senilai Rp 10,1 triliun di Kejaksaan Agung. Ia meminta izin berobat ke Jepang, tapi tidak kembali ke Tanah Air, hingga akhirnya menetap di Singapura. Tak lama setelah terbit surat keterangan lunas untuk Sjamsul pada 2004, Kejaksaan menghentikan kasus tersebut.
Di Singapura, Sjamsul dan keluarganya tinggal di kawasan elite, yakni di 20 Victoria Park Road, 192 Ocean Dr, dan 55 Greenleaf Road. Dari Singapura, Sjamsul mengendalikan perusahaannya di banyak negara, termasuk Indonesia.
Di Tanah Air, Gajah Tunggal memiliki sejumlah anak usaha, antara lain PT Softex Indonesia, yang memproduksi pembalut wanita, PT Filamendo Sakti, yang memproduksi benang, dan PT Dipasena Citra Darmaja, yang kini bermain di bisnis sewa gudang. Gajah Tunggal juga memiliki saham PT GT Petrochem Industries Tbk. Ini adalah induk usaha Mitra Adiperkasa, yang mengelola gerai retail dengan merek terkemuka: Zara, Topshop, Steve Madden, SOGO, Starbucks, Marks & Spencer, Burger King, dan toko lain di Indonesia.
Sjamsul mengendalikan pula Tuan Sing Holdings Limited. Berdiri sejak 1969, Tuan Sing juga menguasai jaringan distribusi ban Gajah Tunggal di seantero Asia. Divisi propertinya membangun pelbagai kawasan permukiman, pusat komersial, serta jaringan hotel di Singapura, Cina, dan Australia.
Melalui perusahaan itu, Sjamsul menguasai sejumlah gedung pencakar langit dan hunian mewah di jantung Kota Singapura, di antaranya 18 Robinson, The Oxley, Sennett Residence, Cluny Park Residence, Seletar Park Residence, dan Robinson Point. Tuan Sing juga memiliki saham Grup Grand Hotel yang mengoperasikan Grand Hyatt di Melbourne dan Perth, Australia. Di sepanjang pantai timur Australia, dari Cairns sampai Adelaide, jejak Sjamsul tampak pada kepemilikan 25 jaringan hotel, dengan bendera Chifley Hotels dan Country Comfort.
Di Amerika Serikat, Sjamsul mendirikan Seven Investment. Perusahaan itu antara lain membawahkan East-West Bank, jaringan bank Cina-Amerika terbesar di Negeri Abang Sam. Kerajaan bisnis Sjamsul-Itjih kini diteruskan anak-anaknya. Putra bungsunya, William Nursalim alias William Liem, misalnya, duduk sebagai Chief Executive Officer Tuan Sing sejak 2008.
Karena gurita bisnisnya itu, nama Sjamsul masuk daftar 50 orang terkaya di Indonesia versi majalah Forbes pada 2018. Nilai kekayaannya mencapai US$ 810 juta atau sekitar Rp 11,75 triliun. Sjamsul memperoleh kekayaannya itu dari bisnis properti, tambang batu bara, dan sektor retail.
Dua tahun terakhir, seperti tercantum dalam laporan tahunan Tuan Sing, 2018, imperium bisnis Sjamsul ini tengah berupaya menghidupkan kembali Batam Marina City. Kawasan di Tanjung Riau, Sekupang, Batam, itu dulu gemerlap dan menjadi pusat judi. Di lahan seluas 85 hektare yang terbagi dalam empat blok itu, kerajaan bisnis Sjamsul akan membangun hotel, pusat hiburan, retail, dan lainnya.
Pengacara Sjamsul, Maqdir Ismail, membenarkan kabar bahwa kliennya beserta keluarga sudah lama tinggal di Singapura. “Tapi saya sudah lama tak bertemu dengan beliau,” ujarnya. Ihwal status tersangka Sjamsul serta upaya KPK memburu asetnya, Maqdir mengaku belum mengetahuinya. “Saya belum ada informasi mengenai penetapan tersangka itu,” katanya.
LINDA TRIANITA, ANTON A. SUMBER: WAWANCARA, PDAT
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo