BELUM pernah terjadi, keputusan grasi dari Presiden tidak dllaksanakan aparat penegak hukum. Tapi Soewarno Manoek, seorang tokoh PKI yang dihukum 12 tahun penjara, ternyata mengalaminya. Berdasarkan keputusan grasinya, seharusnya Soewarno telah menjadi orang bebas sejak Oktober tahun lalu. Tapi putusan itu, sampai pekan lalu, tidak dilaksanakan. Sampai-sampai pengacaranya, Pamoedji, putus asa dan mengirim surat ke Menteri Kehakiman, 3 Desember lalu, meminta perhatian petinggi hukum itu. "Selama 15 tahun saya menggeluti profesi ini, baru kali ini saya bertemu kasus yang menusuk perasaan sebangsa dan senegara," kata Pamoedji. Pada 1977, Soewarno masuk penjara karena dinyatakan terbukti bersalah melakukan tindak subversi di Blitar Selatan: berusaha mendirikan kembali organisasi terlarang PKI dan hendak menggulingkan pemermtah yang sah. Yang menarik, keputusan hakim itu - tak seperti biasanya - tidak dipotong masa tahanan, yang sudah dijalani Soewarno sejak 1968. Soewarno, 55, yang ditahan di LP Pamekasan, Madura, tidak menggunakan haknya untuk banding. Tapi, 17 Maret 1981, ia memohon pengampunan presiden. Permohonan itu ternyata dikabulkan, 6 Oktober 1983, berupa: hukuman Soewarno dipotong selama masa tahanannya. Berarti, pada saat itu juga, demi hukum, Soewarno sudah harus dilepaskan dari tahanan. "Ayah bersyukur kepada Tuhan dan berterima kasih kepada Presiden atas putusan itu," ujar Anggraini, salah satu dari enam putra Soewarno. Namun, yang kemudian membuat Soewarno bertanya-tanya, kenapa keputusan tahun lalu itu baru sampai kepadanya November lalu. Apalagi petugas kejaksaan, yang seharusnya segera melaksanakan keputusan itu, tidak kunjung muncul. Sebab itu, bekas pegawai Depot Logistik (Dolog) Jawa Timur itu mengutus keluarganya menemui Pengacara Pamoedji, yang sudah lama dikenalnya. Upaya Pamoedji untuk melepaskan kliennya itu dari LP mula-mula berjalan lancar. Dari Asisten Operasi Kejaksaan Tinggi Surabaya, Daulay, pengacara itu mendapat kabar bahwa fiat eksekusi untuk Soewarno sudah ditandatangani kepala Kejaksaan Tinggi, akhir November. "Malahan saya ditawari untuk menghadiri eksekusi yang rencananya akan dilaksanakan Sabtu, 1 Desember lalu," ujar Pamoedji. Kabar akan ada eksekusi itu segera disampaikan Pamoedji kepada keluarga Soewarno. Sukacita memenuhi rumah keluarga Soewarno, yang hanya berukuran 4 x 8 meter di bilangan Kali Kepiting Surabaya ItU, karena semua anggota keluarga hadir. "Malam itu, ada yang ke pasar dan ada yang meracik bumbu di dapur, karena kami ingin merayakan kebebasan Ayah dengan tumpengan," tutur Anggraim, yang mengaku tidak bisa tidur malam 30 November lalu itu. Dua saudara lakilaki Anggraini, Anto dan Didik, malam itu berangkat ke Pamekasan untuk menjemput sang ayah. Anto bahkan melengkapi dirinya dengan kamera. "Kami berniat berfoto bersama Ayah di depan pintu LP, untuk kenangan keluarga," kata Anto. Tapi kegembiraan anak-anak Soewarno itu segera sirna keesokan harinya. Pagi itu, mereka disapa penuh keheranan oleh ayahnya, "Lho, kok kalian bezuk pada hari Sabtu?" Soewarno bertambah heran, ketika anak-anaknya bercerita bahwa hari itu ia dibebaskan. Sebab, tidak ada pemberitahuan apaapa dari petugas LP. "Mbok ya sabar," bujuk Soewarno, ketika sampai malam Minggu tidak ada kabar tentang eksekusi itu. Seorang petugas LP membenarkan bahwa sehari sebelumnya mereka sudah mendapat pemberitahuan dari kejaksaan tentang eksekusi yang akan dilaksanakan Sabtu itu. Tapi, sampai pukul 11 malam, petugas kejaksaan yang ditunggu-tunggu tidak muncul. "Barangkali eksekusinya nyangkut di Laksusda," kata seorang petugas LP kepada TEMPO. Di Laksusda? "Saya hanya bisa meminta kejaksaan untuk melaksanakan eksekusi itu. Sebab, instansi itu yang bertanggung jawab," ujar Pamoedji. Tapi, sampai pekan lalu, Pamoedji belum mendapat jawaban, baik dari Kejaksaan Tinggi Jawa Timur maupun Kejaksaan Negeri Surabaya. "Saya tidak berhak memberikan keterangan. Tanyakan ke Kejaksaan Tinggi," ujar kepala Kejaksaan Negeri Surabaya, Yunan Sawidji, kepada TEMPO. Tapi ia tidak membantah bahwa halangan muncul dari Laksusda. "Mungkin Laksusda lagi meneliti kemungkinan Soewarno terlibat perkara lain," ujar Yunan. Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Timur Soesandhi, yang biasanya terbuka, kali ini bersikap tertutup. "Silakan tanya Laksusda - saya lagi tidak punya waktu untuk diwawancarai," jawab Soesandhi melalui telepon kepada TEMPO. Anehnya, Laksusda membantah menghambat pembebasan Soewarno. "Tidak ada rintangan apa-apa dari kami. Saya cenderung menganggap penundaan itu hanya soal yundis formal semata-mata dan silakan tanya kejaksaan atau pengadilan," ujar kepala Penerangan Laksusda, Sony Baksono, S.H. Sony juga membantah bahwa pihaknya pernah memhuat surat yang melarang eksekusi pembebasan, Soewarno karena alasan keamanan. "Pokoknya, keterlambatan eksekusi itu tidak ada kaitannya dengan kami," ujar Sony tegas. Kepala Kejaksaan Tinggi Soesandhi, yang dihubungi kembali oleh TEMPO, kali ini menunjuk Jaksa Agung tempat bertanya. "Saya menerima edaran dari Jaksa Agung bahwa saya tidak dlbenarkan memberikan keterangan tentang kasus-kasus G-30-S/ PKI. Itu wewenang jaksa agung, katanya menutup pembicaraan telepon. Persoalan lain yang tidak terungkap adalah keterlambatan pemberitahuan keputusan grasi itu. Ketua Pengadilan Negeri Surabaya, Soejadi, membenarkan bahwa keputusan grasi itu terbit 6 Oktober 1983. Tapi, katanya, ia baru menerima putusan itu 26 November 1984, dengan surat pengantar dari Departemen Kehakiman tertanggal 29 Oktober 1984. "Saya sendiri tidak mengerti kenapa bisa lama, kata Soejadi. Yang jelas, tutur Soejadi, dua hari setelah keputusan itu diterimanya, ia langsung mengirimkan pemberitahuan kepada Soewarnodan kejaksaan untuk dilaksanakan. "Ternyata, saya baca di koran, keputusan itu belum dilaksanakan," ujar Soejadi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini