CERITA tentang kepala manusia dijadikan tumbal untuk pembangunan suatu proyek sekarang tidak lagi sekadar isu. Setidaknya terbukti di Pengadilan Negeri Pangkep (Pangkajene Kepulauan), Sulawesi Selatan. Lima orang penduduk setempat dihukum karena terbukti mengambil kepala seorang gadis, La Iccu, yang menurut tuduhan jaksa dipakai untuk tumbal pembangunan menara listrik tegangan tinggi. Majelis hakim yang diketuai Hardani Hadisiswojo mempercayai tuduhan jaksa. Sebab itu, dalam sidang akhir November lalu, dua terdakwa utama, Mustari dan Bedusilla, dihukum 14 dan 13 tahun penjara. Tiga orang lain yang membantu mereka, Wainca, Juma, dan Tarike, diganjar 5 tahun. Padahal, tidak seorang pun di antara kelima terhukum yang mengaku, dan tidak seorang saksi pun dengan meyakinkan membuktikan tuduhan jaksa itu. Sebab itu, salah seorang pembela menyebutkan bahwa putusan itu cuma, "Berdasarkan tenggang rasa antara instansi pengadilan, kejaksaan, dan kepolisian." Pada 26 Januari lalu, La Iccu, 25, menghilang dari rumahnya di Kampung Sela, Pangkep. Tiga hari kemudian, seorang ipar si gadis menemukan mayatnya, tanpa kepala, terapung-apung dl sungal - sampal sekaran kepala itu tidak pernah ditemukan. Lalu muncul cerita yang aneh tapi biasa Seorang pemborong yang tengah mengerja kan 70 buah menara listrik tegangan tinggi antara pabrik semen Tonasa I dan Tonasa - senilai Rp 50 juta - telah menggunakar kepala La Iccu untuk tumbal. Si pemborong direktur CV Akhyat, Haji Achmad Saila konon menugasi Jarni mencari kepala manu sia untuk ditanam di fondasi menara. Jarn menghubungi bawahannya, Abdul Hafi Dg Rani dan Rani, meneruskan order ini pada seorang tukang, Mustari. Mustari me laksanakan pesanan itu bersama Bedusilla dua anak di bawah umur, Juma dan Tarik serta seorang kakek berumur 80 tahun Wainca. Menurut skenario polisi, setelah membu nuh La Iccu, Mustari menyerahkan kepal gadis itu kepada Rani, dan menerima upal Rp 250 ribu yang kemudian dibagikanny kepada keempat temannya. Kepala La Iccu yang dibungkus kain, diteruskan Rani kepada Jarni. Menurut polisi lagi, kepala itu dititipkan Jarni kepada tukang masak, Homang, sebelum ditanam di fondasi menara ke-70. Berdasarkan berita acara polisi itu, Jaksa Idris Ruddin menyusun tuduhannya. Kelima pelaku pembunuhan disidangkan sekaligus. Homang, Jarni, dan Rani diadili tersendiri Haji Saila akan menyusul ke sidang pekan-pekan ini. Tapi, yang membuatJaksa repot, di persidangan semua terdakwa mencabut kembali pengakuannya. "Biar sampai mati, saya tidak akan mengaku, karena saya memang tidak tahu apa-apa," ujar Homang, yang dituduh menyimpan kepala manusia di dapurnya. Semua terdakwa menyatakan disiksa sehingga terpaksa mengikuti pengakuan yang didiktekan polisi. Di persidangan, Mustari dapat memperlihatkan bekas pukulan martil dan sundutan rokok di tangannya. Tuduhan Jaksa hampir saja mentah. Tapi polisi mengajukan saksi baru. Kapolsek Bungoro, Y.M. Tandirerung, mengungkapkan cerita bahwa seorang penggembala, Muchtar, 9, menyaksikan Wainca dan Mustari menyeret La Iccu. Tapi, malangnya bagi polisi, di persidangan Muchtar membantah cerita itu. Polisi tidak kehabisan akal. Seorang teman Muchtar, La Russe, dihadapkan sebagai saksi. La Russe, yang rumahnya sekitar 4 km dari tempat kejadian, mengaku melihat Mustari dengan parang terhunus menggiring La Iccu, sekitar pukul 11 WIT, pada 27 Januari itu. Entah kenapa kesaksian itu dipercaya jaksa dan hakim, walau, menurut visum, La Iccu terbunuh pukul 21. Baik Jaksa maupun Hakim menjadikan kesaksian La Russe sebagai bukti utama dalam perkara itu. Selain itu, kataJaksa Idris, ia mempunyai berbagai petunjuk, di antaranya rekaman pengakuan para terdakwa di pemeriksaan polisi. Idris tidak peduli para terdakwa mencabut kembali pengakuan itu. "Itu hak mereka - mana ada pencuri yang mengaku?" ujar Idris. Bukti bahwa tuduhan itu benar, kata Jaksa, tiga dari terhukum, Wainca, Tarike, dan Juma, yang masing-masing dihukum 5 tahun penjara, ternyata menerima putusan hakim. "Kalau mereka tidak bersalah, kenapa mereka menerima putusan itu?" ujar Idris. Dua terhukum yang naik banding, Mustari dan Bedusilla - masing-masing kena 14 dan 13 tahun - dianggap Idris wajar saja. "Kalau yang dua itu dihukum ringan, juga akan menerima putusan," katanya. Hakim Hardani sependapat dengan Idris. "Saya yakin mereka yang membunuh," ujar Hardani. Apalagi, kata hakim itu ketika mayat La Iccu dikuburkan, tidak seorangpun di antara terhukum yang datang melayat. "Itu hal yang aneh bagi orang Timur," kata Hardani. Pembela kelima terhukum, Suradi, bekas panitera di Pengadilan Negeri Pangkep yang diminta pengadilan secara cuma-cuma mengurus perkara itu, yakin bahwa orang yang dibelanya tidak bersalah. "Seharusnya mereka bebas," ujar Suradi. Pengacara lain, Betjtje Nurlina Nuhung, pembela Rani, Jarni, dan Hamong, lebih keras komentarnya. "Vonis itu bukan berdasarkan kebenaran, tapi karena menenggang rasa antara hakim, polisi, dan jaksa," katanya. Selain vonis itu tanpa bukti-bukti, menurut Betjtje, motif pembunuhan yang diyakini polisi - cerita tentang tumbal fondasi menara - sungguh tidak masuk akal. Sebab, kata Betjtje, menara ke-70 itu sudah dicor pada 24 Januari, sementara La Iccu hilang 26 Januari. Apalagi, Haji Saila menantang polisi agar membongkar saja menara yang dicurigai itu, untuk membuktikan benar tidaknya kepala La Iccu tertanam di sana. Wainca, Tarike, dan Juma menerima putusan hakim, karena "tidak punya uang untuk naik banding", seperti dikatakan Juma, 15, yang tetap membantah sebagai pelaku pembunuhan. "Nanti saja di akhirat dibuat perhitungan lagi," kata Juma, yang masih duduk di bangku kelas VI SD, pasrah. Sementara rekannya, Mustari dan Bedusilla, bertekad untuk meneruskan perkaranya sampal ke mana pun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini